Ada
seorang murid mendatangi Gurunya dan berkata, “ Mengapa dalam budaya
Jawa pada bulan Suro/Muharram tidak boleh mengadakan pesta hajatan,
apakah gara-gara Nyai Roro Kidul setiap bulan Suro mantu (hajatan
kemanten)...?”
Lalu guru
tersebut menjawab, “ Orang Jawa itu unik dan memiliki tradisi dan budaya
dalam setiap menghormati sebuah peristiwa. Jadi tidak ada kaitannya
dengan Ratu Pantai selatan di pulau Jawa.
Pada
zaman kerajaan Singasari, dan Majapahit masih belum ada kepercayaan
adanya ratu Pantai Selatan, tetapi munculnya Kisah tersebut pada zaman
kerajaan Islam Mataram. Jadi tidak ada kaitanya tentang pelarangan
membuat pesta hajatan pernikahan dengan Ratu pantai selatan.”
Murid
tersebut bertanya kembali, “ Lalu apa alasannya orang-orang Jawa tidak
mau mengadakan Hajatan Pernikahan dalam bulan Muharram/Suro...?”
Guru
tersebut menjawab, “ Orang Jawa itu sangat menghormati Nabi Saw. dan
keluarganya, pada tanggal 10 Muharram cucu kanjeng Nabi Saw. yang
bernama Sayidina Husein orang Jawa menyebutnya Kusen, dibantai dan
disembelih di tanah Karbala.
Kemudian
kepala Cucu Nabi Saw. tersebut ditancapkan ke tombak dan arak dari
Karbala menuju kufah kemudian diarak lagi menuju istana Yazid bin
Muawiyyah di Suriah.
Sisa-sisa
keluarga Nabi Saw yang selamat tersebut membuat tradisi menganjurkan
setiap bulan Muharram dijadikan bulan duka cita, sehingga mereka tidak
mengadakan pesta hajatan, dalam rangka mengenang tragedi kematian
leluhurnya Sayidina Husein dan keluarganya.
Tradisi
tersebut dibawa oleh para penyebar agama Islam ke pulau Jawa yang
kebanyakan masih keturunan Nabi Saw. lewat jalur Sayidina Hasan dan
Sayidina Husein, dan tradisi tersebut diterima dan dikembangkan dengan
pemahaman orang Jawa yaitu dengan membuat simbol dengan Bubur Suro.
Adapun warna putih melambangkan Sayidina Hasan dan merah melambangkan
dan Husain sebagai simbol untuk mengenang cucu Kanjeng Nabi Saw.
Murid
tersebut berkata, “ Ternyata begitu asal usulnya, lalu apa kaitannya
dalam bulan Muharram ini orang Jawa dianjurkan laku prihatin dan
mencuci keris dan pusaka lainnya yang dimiliki...?”
Guru
tersebut menjawab, “ Anakku orang Jawa itu sangat arif dan bijaksana,
setiap tradisi pasti ada maksud dan tujuannya. Mengapa dianjurkan laku
prihatin dalam bulan Suro...? agar kita faham bahwa dalam bulan suro
itu keluarga Nabi Saw. menderita, Sayidina Husein di penggal kepalanya,
sedangan rombongan wanitanya di arak, dilempari, diludahi, dicaci dan
dihina mulai dari tanah Karbala menuju kantor Gubenur di Kufah Irak,
lalu menuju ke Istana Yazid di Syam (Suriah).
Jadi
bulan Muharram itu bulan duka citanya keluarga Nabi Saw., masak kamu
malah justru membuat pesta hajatan. Masak kita sebagai ummatnya nabi
saw. tidak menghargai dan menghormati keluarga Nabi Saw...?
Adapun
tradisi mencuci keris dan pusaka lainnya, itu juga sama mempunyai
makna dan pesan bahwa seakan-akan persiapan mau perang melawan musuh.
Hal
ini agar kita ingat dengan peristiwa Sayidina Husein dan beberapa
sahabat dan kerabatnya yang masih anak-anak dengan gigihnya melawan
musuh-musuhnya, sehingga mereka semuanya terbunuh menjadi Syahid di
Karbala.
Itulah cara
orang Jawa menghormati Sayidina Husein, orang Jawa itu tidak faham apa
itu Sunni apa itu Syi’ah. Yang dipikir orang Jawa adalah kok ada orang
yang mengaku Islam, pengikut Nabi Muhammad Saw., tetapi justru anak
keturunan Nabinya dibantai dan dihinakan.
Andaikata
Sayidina Husein dahulu hidupnya di Jawa, maka orang jawa akan
memuliakan dan menghormatinya. Oleh karena itu setiap bulan Muharram
orang jawa membuat Jenang Kasan dan Kusen (Hasan dan Husein).”