Kamis, 23 April 2015
Sumber : gusdurian.net
STAINU Jakarta misalnya, telah membuka sekolah pascasarjana dengan konsentrasi Islam Nusantara. Demikian pula Muktamar NU ke-33 di Jombang Agustus mendatang mengangkat tema yang kurang lebih sama. Dalam rangka untuk “memperlihatkan” sekaligus “menghadirkan” itulah, Panitia Muktamar NU, STAINU, Komunitas GusDurian dan Radio NU bekerjasama mengadakan forum diskusi secara publikdengan tema diatas. Digelar hari Jumat, 10 April 2015 lalu, diskusi dihadiri dua pembicara: Bisri Effendy dan Mahrus eL-Mawa.
Penulis sendiri dibuat kagum oleh banyaknya peserta terutama para remaja kita dan kaum muda perkotaan yang turut hadir dalam acara itu sepulang kerja.Kenyataannya, “apa itu Islam Nusantara?” dan “mengapa Islam Nusantara?” bukan hanya menjadi objek pertanyaan dari suatu pencarian akademis belaka, tapi juga gairah keingintahuan dari masyarakat kita, muda-mudi, akan suatu corak keberagamaan yang ingin mereka hidupi dan jadikan pegangan dalam hidup bersama sehari-hari. Bagaimanapun, keingintahuan macam ini bukannya tanpa sebab. Sebab-sebab itu pula yang ditangkap oleh cerdik cendekia, khususnya oleh para ulama dan kyai kita di pesantren-pesantren dan kampung-kampungyang karena “kepekaan”sosialnya lalu mereka dikenal sejak lama sebagai intelektual par excellent yang bersedia me-waqaf-kan diri bergulat bersama dengan gelisah hidup, jatuh-bangun dan suka-duka masyarakatwarga dan umatnya sehari-hari.
“Kepekaan” Ulama Islam Nusantara
Kata “kepekaan” dari kepekaan ulama tempo dulu yang dinyatakan sekilas diatas punya arti yang sifatnya khusus. Ia mencakup “kepekaan intuitif inderawi” terkait dengan kehidupan nyata masyarakat waktu itu dan di tempat itu, sekaligus yang dilengkapi “kepekaan intuitif-noninderawi” (kasyf, divine intuitive understanding)terkait situasi kehidupan di masa mendatang. Kedua jenis kepekaan ini telah mengilhami para ulama tempo dulu dalam memahami dan menafsirkan tradisi Islam yang panjang (mencakup ajaran-ajaran dalam Al-Quran danSunnah, hasil-hasil ijtihad ulama dalam bentuk keputusan hukum fiqh melalui seperangkat metodologi qowaidul fiqh dan ushul fiqh, lakutasawuf [sufisme], filsafat [disini yang dimaksud: filsafat sebagai “pengetahuan-sekaligus-praktek-jalan-hidup”; philosophia atau wisdom yang merupakan peninggalan Phytagoras atau Sokrates di masa Yunani Kuno; atau hikmah dalam filsafat Islam; dan bukan miso-sophia atau benci kebijaksanaan] dan praktekyang “hidup”, al-‘adah, dalam masyarakat Islam sepanjang sejarah) ke dalam konteks kehidupan masyarakat setempat, khususnya di wilayah nusantara yang begitu puspa ragamnya.
Bisri Effendy, mantan peneliti LIPI yang juga seorang antropolog yang pernah nyantri di Pesantren Ploso Kediri, yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi ini mengungkapkan fakta-fakta mengenai gerakan ulama maupun istinbathul hukm (kegiatan menarik kesimpulan hukum Islam)yang dilakukan para ulama nusantara tempo dulu, yang ternyata dirasakan kini berdimensi jangka panjang.
Umpamanya, pembentukan Komite Hijaz pada tahun 1926 yang dikirim ke Mekkah untuk mencegah penguasa Hijaz (Arab Saudi, sekarang) yang ditopang Wahabi agar tidak membongkar makam Nabi Muhammad SAW. Waktu itu Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi telah sukses menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah). Di satu pihak aliran Wahabi lalu menjadi sangat dominan di sana, sementara kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh. Terjadilah eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain. Mereka pindah atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia. Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar.
Dalam kondisi macam itu umat Islam Indonesia sangat prihatin lalu mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344), digelar rapat kepanitiaan kecil yang diketuai KH. Abdul Wahab Chasbullah yang dihadiri juga K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Nawawi, K.H. Ridwan, K.H. Maksum, K.H. Nahrawi, H. Ndoro Muntaha, K.H. Abdul Hamid Faqih, K.H. Abdul Halim Leuwimunding, K.H. Ridwan Abdullah, K.H. Mas Alwi, K.H. Abdullah Ubaid, Syaikh Ahmad Ghanaim al Misri, dan lain-lain. Mereka menggelar rapat komite dan menghasilkan rumusan yang disampaikan langsung kepada Ibnu Saud. Isi rumusan itu diantaranya adalah tuntutan pemberlakuan kebebasan bermadzhab di negeri Hijaz serta dipelihara dan diramaikannya tempat-tempat bersejarah umat Islam.
Fakta dan tuntutan para ulama Islam nusantara (dalam hal ini diwakili oleh ulama NU waktu itu) diatas tidak hanya dapat kita lihat sebagai suatu bentuk kepekaan mereka terhadap kenyataan hidup masyarakat yang beragam yang tak dapat dipaksakan menganut satu pikiran/mazhab. Tetapi juga, dalam perspektif masa kini,ia telah “mengantisipasi” sejak dini gejalapengerasan pemahaman keislaman yang tak dapat diterapkan dalam kehidupan yang begitu kaya dan dinamis.
Pemahaman keislaman yang secara sosial peka terhadap realitas kehidupan masyarakat (mencakup budaya, sejarah, ekonomi, politik, dll) inilah diantara hal yang dapat digarisbawahi dari buah perenungan para pembicara dalam diskusi ini menyangkut corak pemahaman keislaman di wilayah nusantara.Kepekaan itulah yang membuat Islam Nusantara memiliki ciri lentur, fleksibel, tidak kaku. Suatu kepekaan yang hanya dapat lahir dari suatu kearifan kultural sekaligus kearifan dalam cara beragama yang mendalam di tengah-tengah kehidupan.
Selain kasus diatas, Bisri Effendy juga mengajukan contoh yang lain yakni pendapat Kiai Ikhsan Jampes tentang polemik hukum merokok dan minum kopi. Pendapat ini dikajinya dalam kitab Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan, suatukaranganyang disusun dalam bentuk puisi prosa sekaligus syarah (penjelasan) dari kitab yang dikarang oleh sang gurunya KH. Ahmad Dahlan Semarang yang berjudul Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan.
Yang menarik dari judul kedua kitab itu adalah pengarangnya yang menyandingkan kopi dan rokok. Tak dapat disangkal lagi, bahwa kitab ini memang dikarang oleh penulis yang berlatar dunia pesantren dimana kopi dan rokok adalah pasangan sajian yang tak terpisahkan. Seakan sudah mentradisi, bahkan para kyai di pesantren dapat dipastikan adalah peminum kopi sekaligus perokok sejati.
Sebagaimana dituturkan oleh Bisri, dalam kitab itu Kiai Ikhsan digambarkan seperti sedang berpolemik dengan para ulama Timur-Tengah yang mengharamkan rokok. Di dalamnya ia mengutip pendapat para ulama klasik yang saling berbeda pendapat satu sama lain mengenai hukumnya. Nyaris tak ada kutipan ayat Al-Quran maupun Hadist kecuali satu, dua ayat saja, itu pun tak terkait langsung dengan masalah kopi dan rokok.
Masih kata Bisri, dipaparkan dalam kitab itu ada banyak pendapat baik yang menghukumi haram, halal, mubah, makruh bahkan bermanfaat hukumnya merokok dan meminum kopi. Hukum itu tergantung pada kebutuhan dan kondisi si perokok, sehingga ia dapat dihukumi haram bila tubuh perokok dan peminum kopi itu lemah atau memiliki penyakit, dan sebaliknya mubah dan bermanfaat bila dengan merokok itu pikiran menjadi segar dan tekanan psikis menjadi ringan. “Rokok, kopi itu boleh bahkan harus dilakukan, kalau tanpanya kita nggak bisa ngapa-ngapain”, ujarnya.
Bisri menyimpulkan bahwa hukum Islam itu akhirnya harus dikembalikan kepada kehidupan itu sendiri, karena memang dalam istinbathul hukm terdapat 5 pendapat hukum yang keputusannya tergantung pada kondisi atau konteksnya. “Selain kitab suci, di sana juga ada ‘kitab kehidupan’, yang menjadi pertimbangan,” katanya.Kehidupan yang dimaksud adalah realitas masyarakat nyata yang bukan hanya terdiri dari beragam bangsa, budaya dan pandangan hidup, tetapi juga sekaligus bersifat dinamis yang memungkinkan setiap orang dan masyarakat memberikan tafsir berbeda terhadap realitas kehidupan itu sendiri bahkan tafsir yang berbeda terhadap kitab suci. Tafsir ulama Timur-Tengah dapat berbeda dengan tafsir ulama nusantara. Kepekaan dalam membaca realitas kehidupan inilah yang membuat corak Islam Nusantara berbeda dengan corak Islam yang lain. Ia cenderung bersifat terbuka, fleksible, ramah, toleran, moderat, dan bersikap seimbang.
Bukti-bukti filologis juga dianggap meneguhkan kekhasan Islam Nusantara ini. Mahrus eL-Mawa, pembicara diskusi yang juga sedang menulis disertasi tentang filologi naskah Cirebon di FIB UI menyatakan bahwaberdasarkan data-data filologis (naskah catatan tulis tangan), keislaman orang Nusantara berciri lokal dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam. Karena tafsir kontekstualnya itu maka dakwah Islam tidak menimbulkan peperangan fisik maupun penolakan dari masyarakat.
Dicontohkan Mahrus, ajaran-ajaran Islam dikemas melalui adat dan tradisi masyarakat. Baik dalam bidang fikih (hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism), sebagian tafsirnya telah diadaptasi dengan aksara dan bahasa lokal. Oleh karena itu ada ungkapan di Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Ada pula catatan dari Buton tentang ajaran martabat tujuh dari tasawuf yang menjadi bagian tak terpisahkan dari undang-undang kesultanan Buton. Hal serupa di Jawa, baik melalui ajaran Walisongo ataupun gelar seorang raja dengan menggabungkan tradisi lokal dan tradisi Arab, seperti Senopati ing Alogo Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.
Secara umum dua pembicara kita ini menggarisbawahi adanya proses pribumisasi Islam yang menandai perkembangannya di tanah Jawi (sebutan untuk Nusantara dalam naskah Islam kuno).Terutama nampak dalam perpaduan antara unsur-unsur budaya lokal dengan pesan-pesan ajaran Islam.
Islam Nusantara sebagai Politik Kebudayaan
Berdasarkan deskripsi diatas, kiranya pertanyaan tentang “apa-nya” dari Islam Nusantara untuk sementara waktu kurang-lebih terjawab. Diskusi tentang “Islam Nusantara” di ruang akademis pada akhirnya akan sampai pada satu pertanyaan epistemologis: apakah ia adalah objek sudah ada disana dan menunggu ditemukan saja, ataukah iasebuah konstruksi sosial dan politis?
Bisri Effendy nampaknya condong pada jawaban yang kedua. “Islam Nusantara” adalah sebuah konstruksi politik. Meskipun dapat ditemukan tipe-tipe corak keberislaman yang peka social seperti diatas, dalam kenyataan sejarah dan masyarakat ada banyak corak Islam yang lain. Karena itu tipe-tipe yang sering dianggap sebagai khas bercorak Islam Nusantara juga merupakan konstruksi imajinasi, tepatnya “suatu imajinasi politik”.
Imajinasi politik yang demikian itu merupakan sebuah agenda bersama untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai khas Islam Nusantara itu. Suatu imajinasi yang absah statusnya untuk membangun kehidupan bersama yang menghargai keragaman dan menghormati martabat kemanusiaan. Islam Nusantara adalah sebuah politik kebudayaan.
Penulis sendiri setuju dengan pandangan Bisri Effendy. “Islam Nusantara” adalah sebuah konsep yang dihadirkan. Ia ada atau di-ada-kan atau dibutuhkan adanya, karena adanya itudalam suatu relasi dengan konsep (atau konsep-konsep) “Islam bercorak lain” yang berbeda. Corak lain itu dapat bermacam-macam, entah itu “Islam ala Timur-Tengah” yang cenderung ekstrim, kaku dan keras, ataukah “Islam Washingtoniah” (meminjam kosa katanya Bisri Effendy dalam suatu kesempatan) yang bercorak pro-pasar bebas yang liberalistik. Oleh karena itu Islam Nusantara dengan sendirinya bersifat politis; ia adalah suatu agenda.
Bisri Effendy mencontohkan, gerakan Komite Hijaz sebagaimana disinggung di muka sebenarnya adalah sebuah agenda atau sikap politik para ulama Islam NU yang mengambil posisi bertentangan dengan sikap pandangankeislaman dari para ulama Wahabi di tanah Hijaz. Begitu pula pilihan hukum bolehnya merokok dan minum kopi dari Kyai Ikhsan Jampes, itu merupakan ekspresi sikap politik keagamaan yang menentang otoritas yang lain. Dua contoh ini jadi cermin betapa sikap ulama nusantara begitu tegas dan memiliki independensi sekaligus berani meneguhkan diri tak kalah kualitas pemahaman dan otoritas keislamnya dengan pemahaman dan otoritas Islam yang lain. “Menurut saya, yang penting dari dua kasus diatas adalah bagaimana para ulama nusantara itu mengambil sikap dihadapan dominasi otoritas hukum para ulama Timur-Tengah,” katanya.
Bahkan Bisri memuji Kyai Ikhsan dan Kiai Ahmad Dahlan, karena memiliki intuisi tinggi yang meskipun belum terpikir secara jelas waktu menulis kitab itu, dapat dirasakan relevansinya pada masa kini di tengah perang dagang bisnis rokok kretek di dalam negeri yang mengancam kehidupan para petani.Dengan demikian untuk sebagian, “mengapa-nya” dari Islam Nusantara kurang-lebih terjawab dalam diskusi itu. []