pertama, adanya kekhawatiran dari sebagian umat Islam yang
berbasis pesanten terhadap gerakan kaum modernis yang meminggirkan mereka.
kedua, sebagai respons ulama-ulama berbasis pesantren
terhadap pertarungan ideologis yang terjadi di dunia Islam pasca penghapusan
kekhilafahan Turki, munculnya gagasan Pan- Islamisme yang
dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani dan gerakan kaum Wahabi di Hijaz. Gerakan kaum reformis yang mengusung isu-isu pembaruan dan purifikasi membuat ulama-ulama yang berbasis pesantren melakukan konsolidasi untuk melindungi dan memelihara nilai-nilai tradisonal yang telah menjadi karakteristik kehidupan mereka.
dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani dan gerakan kaum Wahabi di Hijaz. Gerakan kaum reformis yang mengusung isu-isu pembaruan dan purifikasi membuat ulama-ulama yang berbasis pesantren melakukan konsolidasi untuk melindungi dan memelihara nilai-nilai tradisonal yang telah menjadi karakteristik kehidupan mereka.
Gerakan ulama yang berbasis pesantren semakin kental dan
nyata terlihat mulai terbentuknya organisasi pendidikan dan dakwah, seperti
Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar. Puncaknya adalah munculnya Komite Hijaz.
Kemudian pada tanggal 31 Januari 1926 M (16 Rajab 1344 H.) para ulama yang
berbasis pesantren memutuskan untuk membentuk organisasi kemasyarakatan Islam
‘ala Ahlussunnah wal Jama’ah yang bernama Nahdlotoel Oelama’ yang bertujuan
untuk mengimbangi gerakan kaum reformis yang seringkali tidak meperhatikan
tradisi-tradisi yang sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Perjalanan waktu membawa Nahdlatul Ulama berinteraksi dengan
organisasiorganiasai lain yang memiliki karakter dan cara berpikir berbeda.
Akibatnya, warga NU sendiri banyak yang kehilangan identitas ke-NU-annya.
Banyak orang yang secara formal masih mengatasnamakan warga Nahdliyyin, tetapi
cara berpikirnya tidak lagi mencerminkan karakteristik Nahdlatul ‘Ulama. Hal
ini salah satunya disebabkan oleh belum adanya ‘fikrah nahdyiyah’ yang
seharusnya menjadi landasan bagi setiap nahdliyyin di dalam bersikap dan
bertindak. Oleh karena itu, untuk menjaga nilai-nilai historis dan tetap
meneguhkan Nahdlatul Ulama pada garis-garis perjuangannya (khiththah) serta
menjaga konsistensi warga nahdliyiin berada pada koridor yang telah ditetapkan,
Nahdlatul Ulama perlu membuat ‘fikrah nahdliyah’.
Fikrah Nahdliyah adalah : kerangka berpikir yang didasarkan
pada ajaran Ahlus-sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Kerangka tersebut dijadikan
landasan untuk menentukan arah perjuangan dalam perbaikan umat. NU memiliki
metodologi dan manhaj tersendiri. Dalam bidang akidah, NU berkiblat pada
pemikiran Abu al-Hasan al-ASy’ari dan Abu Mansur al-Maturudi. Bidang fiqih
meng- ikuti pendapat-pendapat empat mazhab, baik cara manhaji maupun qauli.
Sementara bidang tasawuf, mengikuti Syaikh Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.
Fikrah Nahdliyah ini memiliki ciri khas yang membedakan
dengan pemikiran lain. Setidaknya ada lima ciri fikrah Nahdliyah.
pertama, tawasuttiyah (pola pikir yang moderat). Artinya
warga NU selalu bersikap seimbang dalam setiap menghadapi dan mensikapi
persoalan.
kedua, fikrah tasammuhiyah (pola pikir toleran). Artinya
warga NU dapat hidup berdampingan dengan warga dan komunitas lain walaupun
berbeda agama dan aliran.
ketiga, fikrah islahiyah (pola pikir reformatif). Artinya
warga NU selalu berupaya menuju ke arah yang lebih baik.
keempat, adalah fikrah tatawwuriyah (pola pikir dinamis).
Atinya warga NU selalu melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai
persoalan.
kelima, adalah fikrah manhajiyyah (pola pikir metodologis).
Artinya warga NU itu dalam berpikir harus menggunakan landasan.
Bahwa secara historis epistimologi NU dalam masalah keumatan
dan kebangsaan mengalami dua fase, yaitu fase taswiyah (pemurnian) dan tanwiyah
(pengembangan). Dalam masalah keumatan harus ada kesinambungan antara fiqh
ahkam (fiqih hukum) dan fiqh da’wah. Sedangkan sikap NU terhadap NKRI adalah
mengisinya bukan membongkar tatanan yang sudah ada. Yaitu syariat tetap
berjalan dan NKRI tetap utuh. Sedangkan hubungan untuk orang non-muslim, NU
menggunakan fiqhu da’wah yang didasarkan pada ayat yang berbunyi :
اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“ ajaklah mereka ke jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan nasihat
yang baik dan ajaklah mereka berdialog dengan cara terbaik ” (QS. 16 / an-Nahl : 125)
Sedangkan untuk masalah kebangsaan NU menggunakan fiqhu
siyasah, yaitu bagaimana menghubungkan antara agama dan politik atau agama dan
negara.
NU bukan hanya organisasi yang konsen pada pemikiran atau
fikrah saja, tetapi juga mengkonseni harakah (gerakan). Harakah adalah sebagai
kerangka bergerak. Harakah Nahdliyah memiliki tiga ciri, yaitu : harakah
islahiyah (gerakan reformatif atau perbaikan), I’tidaliyah (gerakan moderatif,
dan tawazuniyah (gerakan seimbang). Konsep harakah landasannya adalah : ma
‘alaih al-mu’assisuun min aqwaalihim wa af’alihim wa taqriraatihim (apa yang
dipegang teguh oleh pendiri yang berupa ucapan, tindakan dan ketetapan) selama
periode tertentu.
Dalam fikrah Nahdliyah, NU mengalami tiga fase, yaitu :
ta’sis (pendasaran), tajdid (pembaharuan) dan tashih (pembenaran atau
pelurusan). Sedangkan gerakan khittah adalah cara bersikap dan bertindak.
Khittah meliputi dua hal, yaitu fikrah dan harakah.
Konsep fikrah berlandaskan pada hadits :
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“ apa yang dipegang teguh oleh Nabi Saw dan para sahabatnya
” (Sunan Turmudzi 5/26, hadits di atas banyak sekali diriwayatkan dari bebagai
jalur dengan redaksi yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama. Di antaranya
lihat Shahih Muslim 4/1961, Sunan Abu
Dawud 4/200, Sunan Ibnu Majah 1/15). bukan hanya satu sahabat saja, karena satu
sahabat tidak akan mampu menjelaskan Islam secara kompak dan universal.
Sedangkan konsep harakah landasan teologisnya adalah ma ‘alaih al-mu’assisuun min aqwaalihim wa
af’alihim wa taqriraatihim (apa yang dipegang teguh oleh pendiri yang berupa
ucapan, tindakan dan ketetapan) selama periode tertentu. Dapat disimpulkan,
bahwa fikrah Nahdliyah memiliki empat ciri, yaitu : tawassut, tawazun, tasammuh
dan i’tidal. Harakah dan fikrah diaplikasikan oleh NU dalam bidang dakwah,
pendidikan dan politik.
Tentang mengikuti para sahabat terbaik dan terpilih yang
merupakan wasiat Nabi Saw dan anugerah dari Allah Swt yang di abadikan di dalam
al-Quran :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلآئِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ
فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ
وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيْمٌ
“ Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan
meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat (QS.6
/al-An’am : 165).
Allah pun berfirman :
أَمَّنْ يُجِيْبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفآءَ الْأَرْضِ
“ Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam
kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan dan
yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi “ (QS.27 / al-Naml : 62).
Allah pun berfirman :
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
“ Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di
muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhoi-Nya untuk mereka “ (QS. 24 /
An-Nur : 55) .
Bahkan berita Khalifah ar-Rasyidun yang empat telah
diberitakan sebelumnya di dalam Taurat dan Injil, sebagaimana firman-Nya :
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللَّهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى
الْكُفَّارِ رُحَمآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلاً
مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيْمَاهُمْ فِي وُجُوْهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُوْدِ
ذَالِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيْلِ
“ Muhammad adalah
utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya (dia adalah Abu Bakar) , keras
terhadap orang-orang kafir (dia adalah Umar), berkasih sayang sesama mereka (ia
adalah Utsman), kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhoan-Nya (ia adalah Ali). Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud (ini adalah para sahabat utama Rasulullah). Demikianlah sifat-sifat
mereka dalam Taurat dan dalam Injil “ (QS. 48 / Al-Fath : 29)
Allah Swt berfirman :
كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى
عَلَى سُوْقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّأَجْراً عَظِيْماً
“ Seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat (ia Abu Bakar), lalu menjadi besarlah ia (Ia Umar),
dan tegak lurus di atas pokoknya ( ia Utsman), tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
dengan kekuatan orang-orang Mukmin (ia Ali bin Abi Thalib), Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih di antara mereka
ampunan dengan pahala yang besar (inilah sahabat secara keseluruhan). (QS. 48 / Al-Fath : 29)
NU yang berpaham aswaja memiliki sifat fleksibilitas dan
moderat dalam mencari titik temu antara berbagai macam arus mazhab pemikiran
atau aliran keagamaan. Dalam hal politik misalnya, komunitas NU menyatakan
secara kritis bahwa dinasti Bani Umayah adalah sebagai pemberontak terhadap
Sayyidina Ali r.a. Namun di sisi lain komunitas NU bisa menerima Khalifah Umar
bin Abdul Aziz dari Bani Umayah karena beliau bersikap bijaksana dan adil.
Perlu dipahami bahwa semenjak dahulu komunitas NU tidak
begitu mempersoalkan masalah sistem dan bentuk pemerintahan serta siapa yang
memerintah. Namun yang menjadi perhatian adalah masalah kemaslahatan dan
kesejahteraan rakyat. Siapa pun yang memerintah dan dengan bentuk dan sistem
apa dia memerintah selama kesejahteraan rakyat terjamin maka komunitas NU akan
menerimanya.
Bagi NU, agama itu tidak perlu diformalkan. Dengan tidak
diformalkannya agama oleh negara bukan berarti tidak islami, tapi yang dicari
adalah Islami yang maknawi dan Indonesiawi. Maknawi dalam arti semangatnya saja
yang masuk. Seperti HAM, konsep persa-tuan dan egalitarian itu Islami. Sehingga
hukum-hukum positif harus disemangati dengan agama, tetapi tidak formalistik,
cukup substansi dan maknawi saja. Memformalkan agama dalam konteks negara
Indonesia akan mengacaukan sistem yang ada, karena tidak sesuai kondisi negara
kita yang masyarakatnya heterogen. Hal ini dibenarkan di dalam al-Quran :
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْباً وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوا
“ dan kami menjadikan kalian bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa agar kalian semua saling mengenal ” (QS. 49 / al-Hujurat : 13)
Selain ayat al-Quran tersebut yang menunjukkan bahwa ajaran
Islam bersifat universal, namun ada juga bagian-bagian yang bersifat
nasionalistik dan particular. Hal ini pun merupakan semangat dan ruh dari “
Piagam Madinah “ yang diaplikasikan oleh para pendiri NU ke dalam bingkai NKRI.
Yang di dalamnya berisi tentang perjanjian dari berbagai macam suku dan
kelompok agama untuk hidup bersama. Bahkan, dalam piagam tersebut tidak ada
kata Islam, dan juga tidak ada satu pun ayat al-Quran yang dikutip. Piagam
Madinah inilah yang cocok dengan konteks Indonesia. Aspek nasionalitas inilah
yang tidak diakui oleh HTI dan gerakan Islam transnasional lainnya (Salafi
Wahabi). Kaffah (menyeluruh) dalam pemikiran ulama NU bukan memformalkan agama
dalam bentuk negara, melainkan lebih menyentuh perilaku dan moralitas manusia.
*Disadur dari tulisan Al Maghfurlah Dr.KH.Hasyim Muzadi
sebagaimana terdapat dalam majalah Risalah NU edisi ke 4.
Qomari Arisandi/CahayaDakwahNU.com
sumber : www.cahayadakwahnu.com