Dasar formal ideologi NU adalah yurisprudensi Islam yang
berasal dari filsafat politik Sunni pada abad pertengahan. Filsafat politik ini
sudah mengalami perkembangan selama hampir 500 tahun, diawali pada abad IX oleh
para Ulama fiqih seperti al-Baqillani, al-Baghdadi, al-Mawardi, al-Ghazali,
Ibnu Taimiyyah, Ibnu Jama'ah dan Ibnu Khaldun.
Masalah yang terus menerus menyita perhatian para ahli fiqih
itu adalah runtuhnya kekuasaan kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad. Menurut
teori politik Islam pada awalnya, Khalifah adalah pengganti Utusan Alloh (Nabi
Saw) yang berarti merupakan pemimpin spiritual
dan pemimpin politik tertinggi ummat Islam. Sudah menjadi tanggung jawab
Khalifah untuk menegakkan syariat dan membela ummat, karena hukum Alloh
dianggap mencakup semua urusan, baik urusan agama maupun politik/kenegaraan.
Karenanya Khalufah juga bertindak sebagai pemimpin shalat jum'at, mengangkat
ahli hukum, bertindak sebagai panglima tertinggi tentara, mengatur admistrasi
negara dan lain-lain.
Akan tetapi mulai pertengahan abad IX kekuasaan politik
Khalifah mulai terpecah belah karena para panglima perang dan kaum bangsawan
yang berkuasa didaerah masing-masing berhasil merebut kekuasaan militer. Sejak
tahun 945, Dinasti Abbasiyyah terpaksa menyerahkan kekuasaan atas ibu kotanya
baghdad kepada para penguasa Buwaihiyah yang berfaham Syiah, kemudian
digantikan lagi oleh Dinasti Saljuk, dan akhirnya bangsa mongolia merebut kota
baghdad pada 1258, dan para Khalifah Abbasiyyah berperan hanya sebagai boneka
rezim Daulah Mamluk Mesir .
Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan dilema bagi para
ahli hukum, apakah mereka akan tetap menegakkan kekuasaan muthlak Khalifah,
yang berarti menentang tuntutan-tuntutan para panglima perang, atau
menyesuaikan diri dengan penguasa baru. Pilihan pertama beresiko timbulnya
kekacauan sosial dan akan menempatkan ummat Islam pada posisi rawan terhadap
kekejaman aksi balas dendam dari kekuatan militer yang menang. Sedangkan
pilihan kedua menuntut adanya kompromi atas gagasan politik keagamaan Islam
yang asli.
Sebagian besar ahli politik Islam memilih bekerja sama
dengan penguasa baru. Mereka beralasan bahwa tanggung jawab mereka yang utama
adalah menyelamatkan Islam dan ummatnya. Untuk itu, mereka harus berusaha agar
ketentraman dan kestabilan masyarakat dapat terjaga karena hal itu dipandang
sebagai syarat terciptanya ketaatan dan kerukunan ummat. Hanya dalam masyarakat
yang tertib, perintah Alloh dapat di tegakkak dan ummat Islam dalam
melaksanakan ibadahnya dengan baik dan nyaman.
Mengutip perkataan al-Ghazali bahwa
" ketertiban beragama hanya mungkin dicapai melalui
ketertiban dunia".
Pemerintah yang kuat sangat dibutuhkan agar ajaran agama
dapat di tegakkan. Tanpa penguasa atau pemerintah yang efektif, masyarakat akan
terjerumus pada kekacauan dan dosa. Karena anarki harus benar-benar dihindari,
maka ummat Islam harus patuh dan taat pada pemerintah walaupun pemerintahnya
mungkin kurang taat dalam beragama.
Ibnu Jama'ah yang menulis pada akhir pemerintahan Abbasiyyah
menyatakan :
" Suatu pemerintah, walaupun tidak disukai, masih lebih
baik dari pada tidak ada pemerintahan, dan diantara dua orang jahat kita harus
memilih yang lebih sedikit sifat jahatnya".
Kewajiban untuk taat sedemikian kuatnya dalam pandangan para
ulama politik Sunni, sehingga pemberontakan
dilarang karena akan membahayakan ummat. Seorang muslim boleh memberikan
saran, masukan bahkan kritik pada penguasa yang bertindak tidak benar (
tentunya dengan mekanisme dan aturan yang sesuai dengan ajaran Islam) tapi
tidak boleh menghasut ummat untuk memberontak. Satu-satunya pengecualian adalah
apabila pemerintah memerintahkan sesuatu yang nyata-nyata dilarang oleh agama,
atau melarang ummat Islam beribadah, maka dalam kondisi seperti ini perlawanan
bisa dibenarkan.
Menurut Ibnu Batta, pengikut Madzhab Hambali pada abad X,
beliau mengatakan :
" Penindasan oleh kaum penindas dan kezaliman oleh kaum
yang zalim tidak akan mencelakai orang yang menjaga agamanya dan mengikuti
sunnah Rasul, karena ia sendiri selalu bertindak sesuai dengan al-Qur'an dan
Sunnah, sebaliknya, orang yang mempunyai pemimpin yang adil, namun ia menjalani
kehidupan yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah, maka keadilan sang
pemimin tidak akan menyentuhnya ".
Berpegang pada pendapat itu, para ahli hukum secara bertahap
mulai merumuskan kembali teori politik Islam untuk merefleksikan kenyataan
dalam sejarah, sekaligus juga melestarikan semangat dan unsur-unsur penting
yang terkandung dalam hukum Allah.
Para pemimpin dunia/negara yang diakui dan sah, seperti para
amir dan sultan diharapkan mengikuti wewenang keagamaan Khalifah Abbasiyyah.
Proses adaptasi dan perumusan kembali teori politik tersebut
mengungkapkan beberapa karakteristik penting dalam pemikiran politik Sunni.
Yang paling menonjol adalah keluwesan dan moderatisme yang melekat pada teori
politik Sunni.
Karakteriistik politik diatas itulah yang agaknya kemudian
diadopsi oleh organisasi-organisasi Islam tradisional di berbagai belahan dunia
muslim termasuk di Indonesia oleh NU dalam menjelaskan argumentasi politik yang dianutnya. Tidak
hanya mengambil doktrin-doktrin klasik, tetapi juga contoh-contoh historis
mengenai sikap memilih diam, berdamai, realistis dan sikap akomodatif.
sumber : www.cahayadakwahnu.com