Sembilah puluh dua Tahun sejak di dirikannya pada 1926
silam, NU mendayung bahtera organisasi.
Tentu NU telah menjaring pengalaman hidup yg penuh liku-liku. Kadang berada di
roda atas, bawah, pahit getir dan jatuh bangun, semua sudah dialami oleh NU.
Kelanggengan dan eksistensi NU hingga hari ini merupakan pelajaran penting dan
berharga, betapa cekatan dan lincahnya NU mendayung bahtera ditengah hentakan
gelombang dan badai.
Secara umum, NU telah kenyang membangun dirinya sebagai Jam'iyyah diniyyah ( organisasi keagamaan)
ataupun bertarung di arena politik praktis ( tahun 52 - 67). Artinya berbagai
dunia pernah di geluti NU, dan secara kasat mata tampak berubah ubah.
Keputusan dari satu wilayah perjuangan ke wilayah yang lain,
tentu membutuhkan kejeniusan sekaligus ketajaman berpikir dan bertindak
meskipun di sisi lain ada orang yang menganggap sebagai oportunis dan tidak
berprinsip. Padahal kalau orang lain mau memahami NU secara komprehensif dan
holistik (secara utuh dan menyeluruh), maka akan sampai lah ia pada kesimpulan
bahwa sikap NU sejak awal hingga saat ini selalu konsisten berpegang pada
ideologi politik keagamaan yg sudah lama dianutnya, yakni mendasarkan diri pada
fiqih sunni klasik yg meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan posisi
Islam dan ummatnya.
Oleh karena itu, para
elit NU selalu bersikap hati-hati tapi luwes/fleksibel dan memilih jalan tengah
/moderat ketimbang jalan frontal dan radikal. Jalan yang di tempuh NU selalu
mengacu pada pencapaian mashlahat ( kebaikan ) dan menjauhi mafsadat (
kerusakan).
Pemikiran politik NU
Sikap politik Nahdhatul Ulama (NU) sering disalahpahami
banyak pihak dari dulu hingga kini, disebabkan kurangnya pengetahuan yang
mendalam mengenai kultur politik dan pemikiran politik NU. pada era 1950an
hingga 1960an, dimana NU aktif berpolitik sebagai partai politik, sebagian penelitian mengenai sikap politik NU dilakukan
dari sudut pandang kalangan islam modernis dan kalangan barat. Bias sudut
pandang kerap terjadi karena kontestasi panjang kalangan modernis dengan NU
sebagai representasi islam tradisional. Apalagi, keluarnya NU dari Masyumi yang
semula bertujuan menjadi wadah tunggal aspirasi politik umat islam pasca
kemerdekaan. Masyumi menyisakan kalangan islam modernis, yang kian bias dalam
memandang sikap politik NU yang terkadang menerima koalisi dengan kalangan kiri
dalam pemerintahan, sesuatu yang getol ditolak Masyumi. Atau sikap politik NU
yang berubah-ubah seperti bersedia bergabung dalam ideologi
Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) ala Soekarno, namun di akhir pemerintahannya
berlawan arah dengan Soekarno. Maka stempel yang sering diberikan kepada NU
seperti berpolitik tanpa prinsip atau
oportunis atau mencari keuntungan pribadi.
Pemikiran Politik NU jelas berbeda dengan kalangan moernis
dan wahabi yang mengambil inspirasi dari pemikiran ulama pembaharu dari Tmur
Tengah seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Juga
berbeda dengan politiknya kaum Islam
politik yang menjadikan Hasan al Banna ( Ikhwanul Muslimin ) atau Taqiyuddin
An-Nabhani ( Hizbut Tahrir ) sebagai rujukannya. NU mendasarkan pemikirannya dari ulama abad
pertengahan, seperti Imam Al-Mawardi dan Imam Al-Ghazali dalam hal politik,
Imam Syafii dalam hal fiqih, Imam Al-Asyari dan Imam Al-Matuduri dalam hal
aqidah, serta Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali dalam hal tasawuf.
Oleh karenanya, untuk memahami pemikiran politik NU, peneliti harus mampu memahami
sumber-sumber tersebut, persis seperti misalnya seorang peneliti harus memahami
ajaran Marxisme untuk memahami pemikiran dan sikap politik PKI. Tanpa penahaman
akan sumber yang dijadikan rujukan bagi ulama NU dalam menentukan sikap
politiknya, maka kemungkinan besar seorang peneliti (apalagi orang awam) akan
gagal memahami sikap politik NU, sehingga salah dalam menyimpulkan dan bias
dalam memberi penilaian.
Pemikiran politik NU yang mendasarkan diri pada literatur
fiqih klasik dari ulama abad pertengahan, sangat diwarnai oleh pemahaman ulama
(kiai) yang umumnya ahli dalam bidang fiqih. Dasar bagi pemikiran politik NU,
secara umum dapat diringkas dalam beberapa kaidah fiqih berikut:
–.درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح
menghindari bahaya
lebih diutamakan daripada melaksanakan kebaikan.
اخف الضرين
Memilih bahaya atau
dosa yang paling ringan resikonya jika dihadapkan pada dua pilihan bahaya
الضرر لا يزال بالضرر
bahaya tidak boleh
dihilangkan dengan bahaya lain
سد الذريعة
Menutup jalan yang
berpotensi memunculkan bahaya, dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar
الضرورة تبيح المحظورات
darurat
memperbolehkan hal yang semula dilarang
ما لا يدرك كله لا يترك كله
Apa yang tidak
tercapai 100% maka jangan ditinggalkan semuanya.
Dengan kaidah-kaidah di atas, menghasilkan sikap yang
bijaksana, luwes, dan moderat (tawasshuth). Sehingga dalam aktivitas
politiknya, NU mengedepankan dialog dan kerjasama, mengutamakan stabilitas
politik dan efektifitas pemerintahan guna menjamin ketertiban, karena mengutip
Al-Ghazali:
"ketertiban beragama hanya mungkin dicapai melalui
terwujudnya ketertiban dunia"
NU tidak hanya memikirkan nasib dirinya sendiri, seperti
anggapan sebagian kalangan, namun memikirkan kemaslahatan umat. Walau mungkin
saja timbul perdebatan apa yang maslahat dan apa yang mafsadat bagi umat,
sehingga NU tak ragu mengubah sikapnya bila situasi dan kondisi berubah dan
faktor-faktor yang menjadi pertimbangan bagi kemaslahatan umat ikut berubah.
Wallahu A'lam.sumber : www.cahayadakwahnu.com