Salah satu ciri khas dari pemikiran politik kaum
Tradisionalis termasuk NU adalah sikap moderat, luwes dan fleksibel. KH.Idam
Khalid sebagai salah satu ulama sekaligus politisi NU tahun1950 -1960 an pernah
mengatakan bahwa
"dari sudut pandang politik dalam negri, NU selalu
mencoba sedapat mungkin untuk menyesuaikan diri dengan waktu dan peristiwa yang
sedang terjadi dan tidak pernah mengajukan sesuatu yang bersifat absolut atau
tanpa syarat".
Keluwesan dalam pengambilan keputusan itu sebagian merupakan
wujud penerapan kaidah fiqih mengenai cara meminimalisir resiko/bahaya. Setiap
perkembangan baru dalam suatu krisis memerlukan perhitungan-perhitungan baru
tentang keuntungan dan kerugiannya sehingga sikap atau posisi sebelumnya dapat
dipertimbangkan kembali. Komitmen yang telah dibuat untuk keadaan tertentu
dapat ditarik kembali bila terdapat perubahan dalam perhitungan untung ruginya.
Kaidah populer yang sering digunakannya
adalah
الحكم يدور مع العلةوجودا وعدما
"sebuah ketetapan itu bisa berubah tergantung ada atau
tidaknya faktor yang
mempengaruhinya".
Pada tahun 1950 an, Keluwesan NU sangat berlawanan dengan
sikap tegas Masyumi. Diantara semua partai politik, Masyumi merupakan partai
yang paling enggan membuat kelonggaran. Berbeda dengan wacana politik NU yang
banyak diwarnai istilah-istilah semisal, luwes, fleksibel dan toleran,
perbendaharaan kata Masyumi dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan seperti,
konsekuen, tegas dan ngotot. Cara yang dipakai antara NU Masyumi menunjukan perbedaan cara pendekatan yang
digunakannya.
Kebijaksanaam dan keluwesan politik NU dapat kita ketahui
dari kisah yang pernah disampaikan oleh KH.Idham Chalid dalam kursus pelatihan
kader partai pada tahun 1969. Kisah tersebut merupakan perbandingan pengakuan
dua ulama besar, yakni Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal pada pengadilan
" mihnah" ( fitnah) dizaman khalifah Abbasiyyah Al-Makmun. Pengadilan
diselenggarakan oleh al-Makmun untuk menanamkan ajaran mu'tazilah yang
dianutnya. Al-Makmun mengeluarkan keputusan yang berisi perintah kepada seluruh
pejabat dan ahli agama untuk mengakui bahwa al-Qur'an itu makhluk dan tidak
kekal. Suatu keyakinan yang merupakan ajaran pokok faham mu'tazilah. Baik Imam
Syafi'i maupun Imam Hanbali tidak menyetujui pandangan tersebut. Mereka
mengikuti pemikiran umum bahwa al-Qur'an itu merupakan firman Allah ( kalamullah)
yang bersifat qodim dan kekal.
Menurut KH.Idham Chalid, kedua ulama tersebut di penjara dan
diinterogasi oleh Khalifah. Berikut penuturan KH.Idham Chalid :
Ketika Imam Hanbali ditanya oleh Khalifah Al-Makmun tentang
al-Qur'an, hadits atau qodim?, dengan penuh konsekuen Imam Ahmad menjawab :
qodim, sehingga Imam Ahmad dipenjara. Bahkan karena beliau tetap kukuh dalam
pendiriannya, beliau selalu disiksa dalam penjara hingga menyebabkan
meninggalnya beliau. Berbeda dengan Imam Syafi'i yang menjawab secara
diplomatis. Ketika ditanya oleh sang Khalifah tentang al-Qur'an, maka beliau
Imam Syafi'i menjawab : " Qur'an, Taurat, Injil, Zabur, dan Suhuf, yang
lima ini adalah hadits (sambil berisyarat pada genggaman tangannya itu). Jadi
hakikat jawabannya, yang hadits itu bukan Qur'annya, melainkan genggaman
tangannya itu. Meskipun demikian, Khalifah yang memiliki kekuasaan muthlak
waktu itu merasa puas, dan selamatlah Imam Syafi'i sehingga beliau mempunyai
kesempatan menyebarkan ajarannya ke segala pelosok, sehingga 45% didunia ini
adalah penganut Imam Syafi'i.
KH.Idham Chalid menyimpulkan sikap Imam Syafi'i sesuai
dengan contoh yang diberikan oleh Nabi Saw, yang menasehati para pemimpin agar
memperhatikan keadaam ummatnya dan jangan hanya mengutamakan kepentingan
pribadinya. Ia mengingatkan kembali nasihat Nabi Saw bahwa imam shalat
harus bijaksana, diantara jamaahnya
terdapat orang tua dan golongan lemah, tidak boleh membebani mereka dengan
jumlah rakaat yang banyak atau dengan membaca surat-surat yang panjang.
Jadi menurut KH.Idham Chalid bahwa NU berpolitik dengan
luwes dan moderat itu bukan dibuat-buat sendiri, tapi mencontoh pada Imam
Syafi'i dan Nabi Saw dan para sahabatnya. Sikap luwes dan moderat yang dipilih
oleh NU merupakan sikap yang realistis dan membawa kemashlahatan bagi ummat.
Justru sikap konsekuen ( keras dan ngotot) yang sebenarnya berbahaya baik bagi
pemimpin maupun ummatnya. Pemimpin yang "konsekuen" secara tidak sadar bisa mengorbankan ummatnya
demi keyakinan dan kepentingan pribadinya. Mungkin akan ada yang mencibir
startegi yang digunakan Imam Syafi'i untuk mendapatkan kebebasannya, namun hal
tersebut justru harus dilakukan demi melanjutkan perjuangan yang lebih
mashlahat lagi, dengan mengabdikan hidupnya untuk kepentingan Islam dan
ummatnya. Keteguhan Imam Ahmad memang bagus dan menjadikannya sebagai seorang
syuhada, namun juga menyebabkan masyarakat Islam kehilangan kepemimpinannya.
Dalam pengertian ini, kisah mengenai Imam Syafi'i dan Imam
Ahmad bin Hanbali dapat dipandang sebagai cerminan cara pendekatan NU dan
Masyumi dalam pemerintahan sukarno. NU lebih luwes dan fleksibel serta
diplomatis sehingga dapat bertahan dalam masa yang penuh gejolak dan eksis
hingga sekarang. Adapun Masyumi terlalu kaku dan angkuh sehingga akhirnya
dibubarkan oleh pemerintah dan kini tinggal nama saja.
sumber : www.cahayadakwahnu.com