A. Sejarah Istilah
“Islam Nusantara”
Lahirnya wacana Islam Nusantara tak terlepas dari efek
kekerasan yang mengatasnamakan Islam yang beberapa dasawarsa ini melanda dunia
internasional.Sebut saja sejumlah pemboman dan pembunuhan yang berdalih membela
Islam, muncul pemberontakan radikalis Islam di beberapa negara dan terakhir
muncul ke permukaan kekejaman ISIS yang dengan kencang memproklamirkan Negara
Islam.
Fenomena kekerasan yang mengatasnamakan Islam ini, tentu
saja menimbulkan banyak efek negatif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.Muncul Islamofobia di sejumlah negara Eropa, stigma teroris bagi
orang Muslim, hingga kekerasan terhadap minoritas Muslim mendera beberapa
belahan dunia.
Azyumardi Azra, seorang intelektual Muslim ternama
mengatakan Islam Nusantara bukanlah nama yang baru muncul, Islam Nusantara
mengacu kepada gugusan kepulauan yang mencakup Malaysia, Pattani Thailand, Moro
Filipina, Singapura dan Brunai, atau sering juga disebut Islam Asia
Tenggara.[1]
Menurut Azyumardi Azra, seperti yang dikutip dari beberapa
sumber terpercaya, menyebutkan doktrin Tauhid Islam Nusantara tidak berbeda
dengan mayoritas Muslim ahlusunnah wal jamaah di dunia, meyakini doktrin Rukun
Iman dan Rukun Islam secara utuh. Namun, pada sebagian praktek ibadah,
dipengaruhi kebudayaan lokal, dan tasawuf seperti perayaan maulid nabi,
walimatul ars, tahlilan dan lainnya.Singkatnya, Islam Nusantara sangat
terpengaruh sejumlah tokoh pemikir Islam pertengahan. Seperti pemikiran kalam
(teologi) Asy'ariyah, fiqih Syafi'i, tasawuf sunni al-Ghazali, dan praktek
tokoh sufi seperti Abdul Qodir Jailani.
Berbeda dengan Islam Timur Tengah atau Saudi Arabia, yang
cenderung saklek dan kaku, sebab hanya memiliki dua tokoh sentral pemikir.
Seperti kalam (teologi) Salafi-Wahabi dan Fiqh Hambali, yang cenderung sangat
tekstual.Makanya tak heran jika aliran ini dengan mudah mengkafirkan umat Islam
lainnya, dan menganggap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad
adalah bid'ah.[2]
Selain itu, aliran ini sama sekali tidak mengakui adanya
aliran tasawuf yang banyak dipraktekkan di Indonesia, bahkan dunia Islam pada
umumnya.
B. Pengertian
Islam Nusantara
Islam Nusantara bukanlah Islam tandingan, bukan agama baru,
bukan pula agama pinggiran atau “Islam lokal” yang dianut kalangan Muslim
Nusantara.Islam Nusantara bukan pula Islam historis. Ketika Islam Nusantara
dikatakan Islam historis, maka itu kemudian dipertentangkan dengan “Islam
normatif” yang asli dari al-Quran dan Hadits yang kemudian hanya dimiliki kelompok
Islam puritan Wahabi! Dikotomi itu hanya membenarkan kelompok puritan yang
punya slogan “kembali kepada al-Quran dan Hadits”, selian itu hanya historis
yang berubah-ubah di setiap saat. Berbicara tentang Islam Nusantara adalah
berbicara tentang bagaimana Islam sebagai ajaran normatif diamalkan dan
diistifadah dalam “bahasa-bahasa ibu” penduduk Nusantara. Jadi sebutan
Nusantara bukan menunjukkan sebuah teritori, tapi sebagai paradigma
pengetahuan, kerja-kerja kebudayaan dan juga kreatifitas intelektual.
Islam di Nusantara (Asia Tenggara) merupakan salah satu dari
tujuh cabang peradaban Islam (sesudah hancurnya persatuan peradaban Islam yang
berpusat di Baghdad tahun 1258). Ketujuh cabang perdaban Islam itu secara
lengkap adalah peradaban Islam Arab, Islam Persi, Islam Turki, Islam Afrika
Hitam, Islam anak benua India, Islam Arab Melayu, dan Islam Cina. Kebudayaan
yang disebut Arab Melayu tersebar di wilayah Asia Tenggara memiliki ciri-ciri
yang universal.
Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan itu menimbulkan
transformasi kebudayaan (peradaban) lokal, dari sistem keagamaan lokal kepada
sistem keagamaan Islam yang bisa disebut revolusi agama. Transformasi
masyarakat melayu kepada Islam terjadi bebarengan dengan “masa perdagangan,”
masa ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam perdagangan
Timur-Barat. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara kedalam internasionalisasi
perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami
masyarakat di kawasan ini pada masa-masa sebelumnya.
Perkembangan Islam di Nusantara pada masa perdagangan
terjadi karena adanya portabilitas (siap, pakai) sistem keimanan Islam, Asosiasi Islam dengan
kekayaan sehingga bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik entitas lokal dan bidang
diplomatik, kejayaan militer, memperkenalkan tulisan, mengajarkan penghapalan,
kepandaian dalam penyembuhan, dan pengajaran tentang moral.
Melalui sebab-sebab tersebut Islam cepat mendapat pengikut
yang banyak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pedagang Muslim asal
Arab, Persi, India diperkirakan telah sampai ke Nusantara untuk berdagang sejak
abad ke-7 M (ke-1 H), ketika Islam di Timur Tengah mulai berkembang keluar dari
jazirah Arab, teluk Oman, teluk Persi singgah di Gujarat, terus ke teluk
Benggala atau lansung ke selat Malaka, terus ke timur ke Cina atau sebaliknya
dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang pergi. Ada indikasi
kapal-kapal Cina juga mengikuti jalur tersebut pada abad ke- 9 M. Demikian juga
kapal-kapal Nusantara mengambil bagian dalam perjalanan ini. Pada zaman
Sriwijaya pedagang dari penduduk Nusantara telah mengunjungi pelabuhan Pantai
Cina dan Pantai Timur Afrika.
Menurut J.C. van Leur
diperkirakan sejak 674 M telah ada koloni Arab di barat Laut Sumatera yaitu di
Barus. Namun, menurut Taufik Abdullah pada masa itu belum ada bukti bahwa di
tempat- tempat yang disinggahi pedagang Muslim sudah ada pribumi Nusantara yang
beragama Islam. diduga para pemeluk Islam itu adalah para pedagang Muslim luar
yang singgah dan tinggal sementara untuk menunggu angin musin yang akan
mengantarkan kembali ke negeri mereka. Baru pada zaman berikutnya penduduk
pribumi ada yang memeluk Islam. menjelang abad ke- 13 M masyarakat Muslim sudah
ada di Samudra Pasai, Perlak, Palembang di pulau Sumatera. Sedangkan di Jawa,
makam Fatimah Binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka abad ke-13 M menjadi
bukti berkembangnya komunitas Muslim di pusat kekuasaan Jawa-Hindu di
Majapahit.
Tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural
masyarakatnya, Islam secara perlahan dan bertahap memperkenalkan toleransi dan
persamaan derajat. Maka pada akhir abad ke-13 M, ketika kerajaan Pasai secara
pasti mulai berdiri, sementara kerajaan Islam di luar Nusantara justru
mengalami kemunduran yang luar biasa. Di Perlak pada awal abad ke- 13 sudah ada
pemukiman Muslim. Disebabkan karena saudagar Muslim pertama kali singgah di
daerah ini setelah mengadakan pelayaran kearah barat menuju ke negerinya. Oleh
karena itu, di tempat ini mereka lebih lama tinggal dan lebih lama bersentuhan
dengan pribumi, terjadi perkawinan antara saudagar dengan putri setempat, dan
keturunannya menjadi pendiri kerajaan Islam.
Ketika kerajaan Samudra Pasai sudah berdiri, perkembangan
Islam makin meluas, bahkan ia pertama yang mempunyai kekuatan politik dan
mempunyai hubungan internasional menjadi pusat politik Islam, dakwah Islam, dan
ekonomi umat Islam. Pada 1350 Samudra Pasai jatuh oleh serangan Majapahit,
digantikan oleh Malaka sampau tahun 1511. Malaka kemudian dihancurkan oleh
Portugis, kerajaan Islam selanjutnya di pimpin oleh Aceh Darussalam. Puncak
kebesaran Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yang menguasai
seluruh pelabuhan di Pesisir Timur Sumatera sampai Asahan dan pantai Sumatera
Barat.
Dari Aceh kapal-kapal dagang memasuki selat Sunda menuju
pelabuhan Jawa. Di Jawa proses Islamisasi sebenarnya sudah berlansung sejak
abad ke-11 M. kerajaan Islam pertama di Jawa
yaitu Demak, berdiri diikuti kerajaan Cirebon dan Banten di Jawa Barat.
Demak berhasil menggantikan Majapahit, dilanjutkan oleh kerajaan Pajang,
kemudian Mataram. Ulama-ulama yang berperan mengembangkan Islam di Jawa adalah
Wali Songo.
Pengaruh Islam ke Nusantara bagian timur, terutama Maluku,
juga tidak lepas dari jalur perdagangan interansional dengan Malaka dan Jawa.
Sejak abad ke- 14 M Islam sudah datang ke Maluku. Kerajaan terpenting di Maluku
adalah Ternate dan Tidore. Sementara Islamisasi kerajaan Banjar di Kalimantan
Selatan berasal dari Demak dan Kalimantan Selatan di Islamkan oleh Dato Ri
Bandang dan Tunggang Parangan. Sulawesi
Selatan sejak abad ke-15 M sudah didatangi pedagang Muslim, mungkin dari
Malaka, Jawa, dan Sumatera. Di Gowa-Tallo raja-rajanya masuk Islam secara resmi
22 September 1605 dengan Sultan Alauddin (1591-1936) sebagai sultan yang
pertama. Sesudah itu menyusul Soppeng, Wajo pada tanggal 10 Mei 1610 dan Bone
Islam pada tanggal 23 November 1611.
Dalam perkembangan Islam dapat kita ketahui bahwa Islam masuk dan berkembang di Nusantara di
sebarkan oleh para Mubaligh, pedagang dari Arab, Persia dan Cina secara damai,
toleransi dan persamaan derajat sehingga mengalami perkembangan yang pesat.[3]
Dilihat dari metode kajian islam nusantara itu sendiri
memiliki beberapa pendekatan dan pendekatannya sebagai berikut:
1. Pendekatan
Sosiologis
Pada tahap awal Islamisasi, saluran perdagangan sangat
dimungkinkan. Hal ini sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad
ke-7 sampai abad ke-16 M. Para pedagang dari Arab, Persia, India, China ikut
ambil bagian dalam aktivitas perdagangan dengan masyarakat di Asia. Saluran
Islamisasi dengan media perdagangan dengan kewajiban mendakwahkan Islam kepada
pihak-pihak lain. Selain itu, dalam kegiatan perdagangan ini, golongan raja dan
kaum bangsawan lokal umumnya terlibat di dalamnya. Tentu saja ini sangat
menguntungkan, karena dalam tradisi lokal apabila seorang raja memeluk Islam,
maka dengan sendirinya akan diikuti oleh mayoritas rakyatnya. Ini terjadi
karena masih kuatnya penduduk pribumi memelihara prinsip-prinsip yang sangat
diwarnai oleh hierarki tradisional.
Perkawinan antara pedagang atau saudagar Muslim dengan
perempuan lokal juga menjadi bagian yang erat hubungannya dengan proses
Islamisasi. Islamisasi melalui saluran ini merupakan proses pengislaman yang
paling mudah. Hubungan masyarakat Muslim dengan penduduk setempat terjadi
sangat intens, sehingga memungkinkan sehingga memungkinkan terjadinya
perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal.[4] Dengan perkawinan
tersebut, selain akan membentuk generasi-generasi baru Islam, juga akan besar
pengaruhnya terhadap proses pengislaman selanjutnya.
Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Indonesia,
pendidikan Islam mulai tumbuh, meskipun masih bersifat individual. Kemudian,
dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau, dan lenggar, mulailah secara
bertahap dilangsungkan pengajian umum mengenai tulis baca Al-Qur’an dan wawasan
keagamaan.[5] Bentuk yang paling mendasar dari bentuk pendidikan ini umumnya
disebut pengajian Al-Qur’an.[6]Selain itu, ada lembaga pesantren yang
diselenggarakn oleh guru-guru agama, kiai, atau ulama. Di lembaga inilah calon
guru agam, calon kiai, atau calon ulama dididik. Mereka yang telah keluar dari
pesantren kemudian menuju ke kampung masing-masing. Tidak jarang pula para raja
atau kaum bangsawan mengundang para kiai atau ulama yang diangkat sebagai guru
agama bagi keluarganya. Banyak juga kiai yang diangkat menjadi penasihat
kerajaan, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk memberikan pengaruh di bidang
politik kepada raja-raja.
Bentuk Bangunan pada masjid kuno di Indonesia yang mengadaptasi
pola-pola bangunan atau keyakinan Hindu tersebut menunjukan bahwa Islam
disebarkan dengan jalan damai. Selain itu, secara kejiwaan dan strategi dakwah,
penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir pra-Islam merupakan alat
Islamisasi yang sangat bijaksana sehingga bisa menarik orang-orang non-Islam
untuk memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya.[7] Dalam upacar-upacara
keagamaan
2. Pendekatan
Filosofis
Kawasan Muslim Indonesia (Nusantara) yang terletak di
pinggiran Dunia Islam mempresentasikan salah satu bagian Dunia Islam yang
paling sedikit mengalami Arabisasi. Kondisi semacam ini, sebagaimana yang
terjadi di negeri-negeri Muslim Asia Tenggara lainnya, Islamisasi berlangsung
secara gradual. Dampak dari cara Islamisasi semacam ini adalah bentuk dan
keyakinan agama lama diubah secara lambat tanpa harus menghilangkan.[8]
Meskipun demikian, perkembangan Islam di Asia Tenggara tetap berhubungan erat
dengan Islam di Timur Tengah.[9] Ini merupakan kelanjutan dari jalinan
perdagangan antara Nusantara dengan dunia internasional yang telah terbentuk
begitu mapan di Nusantara.
Kebijakan-kebijakan politik pemerintah kolonial yang
membatasi ruang gerak umat, tampaknya tidak menyurutkan semangat umat Islam di
wilayah Indonesia untuk merajut jalinan intelektual dengan pusat-pusat studi
Islam di wilayah lain. Karenanya, komitmen mereka kepada Islam baik secara
spiritual maupun psikologis sangatlah dalam dan dinamis serta tidak banyak
berbeda dengan masyarakat Muslim lainnya di mana pun juga. Bahkan, Howard M.
Federspiel menegaskan bahwa lebih dari empat ratus tahun yang lalu Islam di
Indonesia secara perlahan telah bergerak menuju sebuah bentuk agama yang lebih
ortodoks, sedangkan ajaran-ajaran dan praktik-praktik menyimpang telah
berkurang dalam periode waktu yang sama.[10]
Secara intelektual, Muslim Asia Tenggara selalu bersifat
terbuka dan reseptif terhadap proses Islamisasi yang berlangsung terus-menerus
yang merupakan ciri masyarakat itu selama berabad-aba. Sebaliknya, dengan ciri
yang sama dengan kaum Muslim lainnya, mereka juga merupakan masyarakat yang
mudah terkena perubahan yang menggangu mereka dari waktu ke waktu.[11] Fenomena
tersebut terjadi karena lokasi kawasan Nusantara merupakan tempat persilangan
jaringan lalu lintas laut yang menghubungkan benua Timur dan benua Barat.[12]
Hal ini menyebabkan kepulauan Nusantara banyak disinggahi oleh kapal-kapal
pedagang asing, termasuk dari Timur Tengah. Sejak Islam berkembang di Asia
Tenggara, dinamika Islam di Timur Tengah memngaruhi wacana Islam di
Dunia-Melayu-Indonesia.
Hubungan yang kuat dan intensif antara kedua wilayah
tersebut telah tercipta sejak masa yang paling awal kehadiran Islam di Dunia
Melayu-Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, hubungan antara ke dua wilayah itu
hingga paro kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa
bentuk. Pada fase pertama (sekitar abad ke-8 sampai abad ke-12), hubungan
tersebut lebih bersifat ekonomis, hubungan ini berbentuk hubungan dagang yang
lebih banyak diprakasai oleh orang-orang Islam Timur Tengah, terutama Arab dan
Persia.
Fase kedua, yang berlangsung antara abad ke-12 sampai akhir
abad ke-15, lebih bercorak keagamaan, selain hubungan ekonomis. Pada fase ini,
Muslim Arab dan Persia (pedagang/pengemban sufi) mulai menintensifkan
penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Oleh karena itu, pada fase ini,
hubungan-hubungan keagamaan dan kkultural terjalin lebih erat.[13]
Pada fase ketiga, yaitu sejak abad ke-16 samapai paro kedua
abad ke-17, lebih bercorak politis di samping corak keagamaan. Pada masa ini
ditandai dengan kedatangan dan peningkatan pertarungan di antara kekuatan
Portugis dengan Dinasti Usmani di kawasan Lautan Hindia. Dalam periode ini,
umat Islam di Nusantara mengambil banyak inisiatif untuk menjalin hubungan
politik dan keagamaan dengan Dinasti Usmani.[14] Selain itu, Muslim di
Nusantara mulai berperan aktif dalam dunia perdagangan di lautan Hindia
tersebut. Sementara itu, hubungan-hubungan politik dan keagamaan juga mulai
dijalin dengan para penguasa Haramayn menjelang paroo kedua abad ke-17. Pada
fase ini, Muslim Nusantara semakin banyak yang datang ke Tanah Suci, yang pada
gilirannya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan
Nusantara melalui ulama-ulama Timur Tengah dan orang-orang Nusantara yang
belajar di sana. Mereka ini kemudian dikenal sebagai “murid-murid Jawi”
Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi
intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum Muslim Melayu-Indonesia. Di
Haramayn, muruid-murid Jawi ini membentuk sebuah “perkampungan” yag disebut
“koloni Jawi”. Kegiatan orang-orang Jawi di daerh koloni tersebut juga
mempunyai saham yang cukup besar dalam perkembangan Islam selanjutnya . Hal ini
dapat dilihat dari aktivitas kebanyakan ulama “lulusan” Haramayn dalam
menghembuskan angin pembaharuan Isla di Indonesia, seperti Nur al-Din
al-Raniri, Syaikh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili, Muhammad Yusuf al-Makasari, ‘Abd
al-Shamad al-Palimbani.[15]
Pemebentukan tradi keulamaan Islam Indonesia dan keilmuan
Islam Indonesia atau Asia Tenggara secara keseluruhan membangkitkan
terbentuknya jaringan ulama. Jaringan ulama yang berpusat di Haramayn ini
menyebar ke berbagai wilayah Dunia Islam, khusunya kawasan Afrika Utara dan
Timur, Arabia Selatan dan Timur, Asia Selatan, Anak Benua India, dan
Nusantara.[16] Para ulama dan murid yang terlibat dalam jaringan ulama ini
mempunyai peranan penting dan krusial dalam pembaruan wacana serta praksis
keislaman kaum Muslim pada tngkatan lokal. Jaringan ulama ini mempunyai dampak
dan pengaruh yang signifikan terhadap dinamika wacana intelektual Islam di
berbagai kawan lokal, seperti Indonesia.
3. Pendekatan
Historis
Setidaknya hingga pertengahan abad ke -15, umat Islam bukan
saj telah menyebar luas ke seluruh kepulauan Indonesia, tapi secara sosial
bahkan tlah muncul menjadi agen perubahan sejarah yang penting. Meskipun belum
sepenuhnya mencapai ke pedalaman, mereka misalnya telah banyak membangun apa
yang disebut sebagai “diaspora-diaspora perdagangan” terutama di pesisir-pesisr
pantai. Dengan dukungan kelas saudagar, proses Islamisasi berlangsung secara
besar-besaran dan hampir menjadi lanskap historis yang dominan di Indonesia
ketika itu.
Meskipun jejak-jejak kedatangan Islam dapat dilacak sejak
abad ke-11 M, misalnya dengan ditemukannya makam seorang wanita Muslim di
Leran, Jawa Timur, pada 1082, tetapi perkembangan Islamisasi tampaknya baru
mulai sejak akhir abad ke-13, dan lebih khusus lagi pada abad ke-14 dan 15,
ketika pusat kekuatan pribumi terbesar, Majapahit, sedang mengalami kemunduran.
Kita mungkin dapat sepakat dengan Kuntowijoyo yang mengutip Wertheim bahwa daya
pikat utama agama baru ini adalah pada gagasan persamaannya, sebuah gagasan
yang sangat menarik bagi kelas saudagar yang sedang tumbuh, dan yang tidak
dimiliki dalam konsep stratifikasi sosial Hindu. Islam dengan demikian
menyediakan “cetak-biru untuk oragansasi politiko-ekonomi”, dan dengan ini
sedang dipersiapkan jalan bagi terjadinya proses-proses perubhan struktural
baru, dari sistem agraris-patrimonial ke arah apa yang oleh Van Leur disebut
sebagai sistem “kapitalisme-politik”.[17]
Seperti yang juga dibuktikan oleh Christine Dobbin[18] di
tempat lain pada waktu lain, ”cetak-biru politiko-ekononi” inilah yang
menyebabkan banyak kelas pedagang oribumi memeluk Islam untuk berpartisipasi
dalam komunitas moral perdagangan Muslim internasional. Melalui Mlaka, yang
sejak akhir abad ke-14 telah berkembang menjadi sebuah “enterpot state” (negara
penyalur perdagangan lintas laut), kubu-kubu saudagar Muslim di pesisir Jawa
seperti di Gresik, Giri, Tuban, Jepara, Demak atau Jayakarta, mulai mengadakan
hubungan niaga dengan pusat-pusat dagang internasional seperti Mediterania di
belahan barat, Siam di belahan utara, dan bahkan Jepang di belahan timur.
Apa yang patut dicatat dari perkembangan ini adalah bahwa
Islamisasi telah menyebabkan teritegrasikannya kelas menengah saudagar Muslim
dengan pusat-pusat perdagangan internasional, sehingga memberikannya basisi
material bagi munculnya pelembagaan politik yang baru. Lahirnya negara maritim
Demak pada awal abad ke-16 sebagai kerajaan Islam yang pertama di Jawa,[19]
membuktikan hal itu. Pada saat itulah Islam muncul sebagai elemen integratif
yang mampu menginkorporasikan kekuatan ekonomi, politik dan agama di dalam
wadah negara.
Hampir sepanjang pertengahan pertama abad ke-16, Demak
berusaha mengkonsolidasikan kekuasaannya melalui berbagai penaklukan militer
dan ekonomi. Penaklukan-penaklukan itu memaksa sebagian besar kota pesisir dan
wilayah pedalaman di Jawa Timur yang belum diislamkan tunduk di bawah
kesultanan baru itu. Berturut-turut, Demak menguasai Tuban (1527), Madun
(1529), Surabaya dan Pasuruan (1530), Penanggungan (1543), Malang (1545), dan
Kediri (1550). Di wilayah barat, Demak mensponsori pula didirikannya Banten dan
Cirebon.
Akan tetapi segeralah terbukti bahwa integrasi antara agama
, politik dan ekonomi itu mulai menghadapi tantangan-tantangan baru baik dari
dalam maupun dari luar. Dicaploknya Malaka oleh Portugis ternyata berakibat
fatal bagi Demak. iNi terjadi pada dekade pertama abad ke-16, saat ketika kekuatan
Barat muncul pertama kali di Asia Tenggar. Di sini kita akan menegaskan
pentingnya momen itu sebagai semacam “transisi sejara” yang berakibat besar
bagi Asia pada umumnya dan bagi Indonesia pada khususnya.
Seperti diketahui, abad ke-16 adalah abad ketika apa yang
disebut “merkantilisme Eropa” sedang berekspansi ke seluruh dunia. Dengan
menggunakan perspektif Wallerstein, kita dapat mengatakan bahwa konteks
internasional Asia sedang bergeser ke arah terbentuknya sistem perekonomian
yang baru, yaitu kapitalisme merkantilis, yang menjadi cikal bakal terciptanya
“sistem dunia” sebagaimana yang dikenal hingga sekarang ini.[20]Ekspansi
merkantilisme Eropa yang didukung oleh kekuatan militer itu pada kenyataannya
kemudian memang memudarkan apa yang disebut Anthony Ried sebagai “zaman
perdagangan” Asia Tenggara.[21] Sejakitulah negeri-negeri “d bawah angin” ini
akhirnya segera memasuki zaman baru, yaitu zaman kolonial.
Adalah pada konteks regional yang sedang mengalami “transisi
historis” inilah, Demak muncul dan berkembang. Oleh karena itu kiranya dapat
dipahami jika sejarah Demak begitu pendek hanya mampu bertahan sekita setengah
abad jika dibandingkan misalnya dengan masa hegemoni Majapahit yang berlangsung
selama tiga abad. Dengan terjadinya pergeseran-pergeseran besar dalam sistem
perdagangan internasional Asia, Demak sebagaimana pusat-pusat perdagangan
maritim lainnya di Nusantara bukan saja kehilangan basis perdagangan
maritimnya,[22] tapi juga basis material bagi klaim legitimasinya baik secara
politis maupun ideologis. Dalam hal inilah kita dapat mengatakan bahwa
rangkaian peristiwa-peristiwa sejarahtelah terjadi sedemikian rupa, sehingga
menyebabkan kekuatan integratif Islam gagal memainkan peranan historisnya di
Jawa ketika itu, yaitu untuk memunculkan apa yang disebut Weber sebagai
“wirtschafstgeist” baru. Sebaliknya, yang terjadi kemudian adalah nahwa dengan
tumbangnya Demak, Muncullah kekuatan renaisans Hindu Jawa yang ingin menegaskan
kembali basis ideologi pribuminya: negara agraris Patrimonial Mataram. Di
sinilah kita akan mencatat bahwa rupanya Indonesia pada akhir abad ke-16, Islam
menghadapi momentum historis yang tidak menguntungkan bagi perkembangannya
sendiri, secara eksternal ia menghadapi ekspansi kapitalisme Barat dan secara
internal menghadapi kebangkitan ideologi pribumi.
Seperti dikemukakan oleh Kuntowijoyo, kemunculan Mataram
pada awal abad ke-17 sesungguhnya juga didasari oleh logika ekonomi, yakni
untuk merespon meningkatnya permintaan beras dalam perdagangan antarpulau dan
perdagangan internasional.[23] Dengan mengambil basis geografisnya di daerah
pedalaman Jawa yang sangat subur, secara efektif Mataram akhirnya memang muncul
sebagai pemegang monopoli beras. Untuk mempertahankan statusnya ini ia kemudian
menyerang dan menaklukan kubu-kubu perdagangan Muslim peninggalan Demak yang
selama itu relatif independen, untuk diintegrasikan ke dalam sistem
perekonomian agrarisnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo, dengan munculnya
birokrasi yang terpusat di bawah Mataram, kelas pedagang Muslim yang relatif
mempunyai otonomi politik di banyak wilayah pesisir, akhirnya takluk kepada
kenyataan politik akan adanya sebuah negara agraris feodal di pedalaman. Inilah
tahap ketika konstelasi kekuasaan di Jawa bergeser dari pesisir ke pedalaman,
bersamaan dengan bergesernya basis material dari perdagangan maritim ke
pertanian agraris. Dalam kerangka inilah Islam mengalami periferalisasi.
Setelah muncul sebagai kekuatan integratif yang berhasil
menggabungkan kekuatan ekonomi dan politik di dalam kerangka idologi baru
berdasar agama, Islam yang pertama-tama didukung oleh kelas menengah pedangang
itu, digeser ke pinggir oleh dua kekuatan sejarah: yang pertama oleh munculnya
kapitalisme merkantilis Eropa yang segera berkembang menjadi kolonialisme, dan
yang kedua oleh kebangkitan kembali patrimonialisme pribumi dengan corak
perekonomiannya yang agraris feodal.[24]
Konfigurasi antara kolonialisme dan feodalisme iilah yang
menjadi latar historis sepanjang abad ke-17, 18, dan 19. Sebagai kelompok yang
tergusur oleh dua kekuatan sejarah sekaligus, Islam akhirnya mengalami
degenerasi secara betingkat-tingkat. Secara ekonomis, ia misalnya telah
kehilangan basisnya di pesisir baik karena operasi maritimnya dirompak oleh
Belanda, maupun karena perdagangan daratannya diekspansi Mataram. Kelas
saudagar muslim telah dihancurkan, dan dalam kerangka perekonomian feodal
agraris mereka mengalami apa uang disebut sebagai proses “peasantization”
(petanisasi) dan “ruralisation”. Secara simbolik dan kultural, ini berarti
digantikannya etos pedagang yang mobil, kosmopolit dan bercorak urban, dengan
mentalitas petani yang statis, “localised” dan agraris. Proses ini pula yang
menyebabkan terjadinya transformasi sistem pengetahuan dan deformasi mode
religiutas, dari yang bercorak rasional menjadi yang bercorak mitis. Secara
sosial, proses “peasantization” dan “ruralisation” itu juga berati degradasi
kelas, yakni dari kelas menengah urban dengan corak ekonomi perdagangan ke
kelas bawah agraris dengan sistem ekonomi petrimonial feodal.
Sesungguhpun demikian, secara politik, periferalisasi Islam
juga telah memberikan kepada para pengikutnya semacam kesadaran oposisi untuk
membangkitkan pelbagai bentuk perlawanan. Fenomena pembangkangan para Sultan
pesisir kepada Mataram di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, demikian juga
oposisi para ulama kepada Amangkurat I pada pertngahan abad ke-17, hingga
pemberontakan Diponegoro yang menimbulkan perang Jawa, serta protes-protes
petani yang berlangsung secara sporadis sepanjang abad ke-19, memperlihatkan
hal itu. Tentu saja basis pembangkangan dan oposisi Islam selalu
mengandung motif religius dan keagamaan,
tapi yang lebih penting lagi adalah bahwa fenomena oposisi Islam juga selalu
mempunyai sebab-sebab sosial dan ekonominya—. Dan ini jelas memperkuat dugaan
bahwa oposisi Islam sebagai suatu gerakan religio-polik, senantiasa berakar
pada kenyataan akan adanya periferalisasi dan alienasi umat dari proses-proses
ekonomi dan politik. Bahawa kemudian bentuk-bentuk oposisi Islam berada pada
kisaran antara yang bercorak utopis seperti yang diperlihatkan dalam
perlawanan-perlawanan spanjang abad ke-19, sampai pada yang bercorak ideologis
seperti yang tampak dalam fenomena-fenomena abad ke-20 hingga tahun-tahunn
1960-an, hal ini hanya memperlihatkan variasinya karena perbedaan latar
sosio-kultural dan ekonomi-politiknya.
C. Karakteristik
Islam Nusantara
Menurut istilah, Islam Nusantara harus bermula memahami pola
dan karakter keislaman masyarakat muslim nusantara yang memang mempunyai
karakter yang sangat berbeda dengan corak keislaman Timur Tengah, tempat asal
islam itu berkembang. Gagasan islam nusantara bukan sebuah aliran baru
sebagaimana sempalan dan firqah, tetapi adalah sebagai upaya yang mencoba
memotret keislaman dalam domain kawasan, sebagaimana yang pernah disarankan
oleh Gusdur yang menantang para ilmuan islam untuk membuat teoritik apa yang
disebut dengan studi islam berdasarkan kawasan. Gusdur telah membuat hipothesa
bahwa ada enam studi kawasan islam : kawasan Timur Tengah, Afrika, daratan India,
Asia Tengah termasuk Rusia, Nusantara dan Eropa. Menurut Gusdur masing-masing
memiliki karakteristik yang menonjol.
Dalam konteks karakteristik islam nusantara dapat dilihat
setidaknya dengan delapan ciri-ciri menonjol yaitu :
a. Pertama islam
nusantara adalah hasil produk dari dakwah yang kemudian dikenal tokoh-tokohnya
sebagai wali songo, yaitu proses pengislaman dengan cara damai melalui
akulturasi budaya dan ajaran inti islam. Karenanya islam dapat berkembang
dengan cepat tanpa kekerasan. Keadaan ini dinilai oleh pengkaji islam diantara
Anwar Ibrahim, sebagai sebuah proses pengislaman yang terbaik.
b. Kedua,
penganut setia faham Ahlusunnah dengan watak moderat. Ini ciri yang menonjol
dalam diri Islam Nusantara. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cara
berpikir islam timur tengah.
c. Ketiga, para
ulama atau masyarakat islam nusantara dalam memilih mazhab bukan sembarangan
dan asal pilih. Selama ini yang dipilih atau dijadikan panutan adalah mereka
yang mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai dan teruji daam sejarah
sserta mereka yang mempunyai integritas, sosok ulama yang benar-benar
independen, sehingga hasil ijtihadnya merupakan hasil dari pengetahuan yang
lengkap dan hati yang jernih tanpa diintervensi kepentingan nafsu. Masyarakat
islam nusantara dalam bidang fiqih mengikut salah satu mazhab fiqih yaitu
hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali. Namun demikian yang paling populer dan
yang diajarkan dan menjadi pilihan faforit
adalah mazhab syafi’i, sehingga wajar jika kitab-kitab literatur daam
lingkungan masyarakat Islam Nusantara didominasikan kita-kitab mazhab syafi’i.
d. Keempat,
mayoritas masyarakat islam nusantara adalah pengamal ajaran tasawuf karena itu
tarekat berkembang dengan subur. Tokoh-tokoh tasawuf yang menjadi panutan
antara lain Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Imam Syazili dan lain
sebagainya yang sangat populer dikalangan islam nusantara. Dari sanalah
kemudian islam nusantara menjadi islam
yang sangat harmoni, toleran, dan menghargai pluralitas sebagai watak
asli ajaran tasawuf.
e. Kelima, dalam
bermasyarakat mengutamakan kedamaian, harmoni dan toleran. Masyarakat islam
nusantara telah mengamalkan sikap toleran atau tasamuh ini sebagia bagian dari
landasan ajaran islam yang memberi kebebasan beragama. Islam bukan saja mengecam
pemaksaan agama, tetapi lebih dari itu sangat menjunjung tinggi hak-hak non
muslim dalam pemerintahan kerajaan islam, karena hubungan islam dan non islam
adalah hubungan damai, kecuali jika terjadi perkara-perkara yang dapat
menyebabkan pertentangan antara kedua belah pihak
f. Keenam,
adaptasi budaya secara alami masyarakat islam nusantara berpandangan keartitan
lokal tidak dapat dihilangkan saja, ia perlu dilestarikan sebagai jati diri
sebuah bangsa selama tidak bertentangan dengan syariat dan ini dibenarkan daam
alquran bahwa allah menciptakan manusia dalam berbagai suku (qobail) dan
berbangsa bangsa (syu’uba) lita’taarafu untuk saling ta’aruf (saling
pengertian) tentang suku bangsa, tentu juga dengan budaya.
g. Ketujuh, visi
islam rahmatan lil’alamin mendominasi pemikiran ke islaman nusantara masyarakat
islam berusaha mengusung visi islam rahamat lil’alamin sebagai misi utama dlam
mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan. Dalam hal ini selalu merujuk
kepada tugas utama mulia Nabi Muhammad SAW, yaitu tugas yang suci, tugas yang
sempurna dan tugas yang meyeluruh dari ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi.
Karena itu jelas bahwa risalah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah
memberi rahmat sebagaimana firman Allah artinya “Tiada kami utus engkau
Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” Al Anbiya 107. Tidak
diragukan lagi bahwa islam sebagai rahmat dan hidayah, cahaya yang akan membawa
keselamatan. Hal ini bermaksud rahmat akan membawa keselamatan baik dunia
maupun diakhirat.
h. Kedelapan,
dalam memahami nash menggunakan pendekatan literal dalam hal yang bersifat
Qath’i, seperti wajibnya solat serta tata cara ibadah mahdhah, rukun islam,
rukun iman, dan sebagainya. Oleh karena itu pendekatan literal dalam
menggunakan nash lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat ibadah mahdhah dan
persoalan teologi. Sedangkan dalam kaitan kemasyarakatan lebih menggunakan
pendekatan kontekstual. Pendekatan ini tidak hanya mengambil makna teks tetapi
lebih banyak mengambil substansi atau nilai-nilai yang terkandung dalam
nash.[25]
1. Fiqih
Nusantara
Sejak Islam mulai tersebut luas di kawasan ini, bahasa
Melayu pun mempunyai peranan sebagai salah satu wahana pengantar agama Isla.
Sejak abad ke-16, bahasa Melayu mencapai kedudukan sebagai “bahasa Islam”
sebagaimana bahasa Persia dan Turki. Bahkan, bahasa Melayu merupakan salah satu
unsur pemersatu Islam Nusantara yang terdiri dari berbagai etnis itu.[26]
Banyak sastra berbahasa Melayu, terutama sastra keagamaan, yang ditulis dalam
huruf Jawi. Huruf Jawi merupakan adaptasi dari huruf Arab untuk menuliskan
lafal-lafal atau kalimat bahasa Melayu. Berdasar pada huruf-huruf Arab “jim”
(), “ain” (), “fa” (), “kaf” (), “ya” (), maka lambat laun tercipta lima huruf
yang masing-masing menandakan bunyi-bunyi yang lazim pada bunyi lidah Melayu.
Kelima huruf yang tercipta itu ialah : “ca”, “nga”, “pa”, “ga”, “nya”.[27]
Jenis huruf ini yang biasanya untuk menuliskan kitab keagamaan berbahasa
Jawa.[28] Dengan cara inilah para ulama kita menuliskan karya-karyanya untuk
konsumsi masyarakat Muslim Melyu-Indonesia, termmasuk kitab-kitab Fiqih.
Salah satu kitab fiqih awal di Nusantara adalah Shirath
al-Mustaqim, karya Nur al-Din al-Ranniri. Dia sangat tegas dalam hal
transendensi Allah. Tentu saja, dia sangat menekankan pentingya syariat dalam
praktik sufistik. Untuk tujuan itu, al-Raniri menulis Shirath al-Mustaqim dalam
bahasa Melayu. Dalam karya ini, dia menegaskan tentang tugas utama dan mendasar
setiap orang muslim dalam hidupnya. Dengan menggunakan garis besar yang telah
dikenal dalam berbagai karya fiqih, al-Raniri secara terperinci menjelaskan
berbagai hal yang menyangkut thaharah, bersuci (wudhu), shalat, zakat, puasa
(shaum), haji (hajj), kurban, dan semacamnya. Ini merupakan kitab fiqih ibadah
pertama yang cukup lengkap dalam bahasa Melayu sehingga menjadi pegangan dan
standar dalam berbagai kewajiban dasar
kaum Muslim.
‘Abd al-Rauf al-Sinkili (1615-1693), karya utama al-Sinkili
dalam fiqih adalah Mir’at al-Thullab fi Tasyi al-Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah
al-Malik al-Wahhab. Karya ini membahas tantang aspek-aspek fiqih, termasuk
dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan keagamaan kaum Muslimin. Dia
merupakan ulama pertama yang di wilayah Melayu-Indonesia hingga masa
belakangan. Al-Sinkili, melalui Mir’at al Thullab tersebutt, telah menunjukkan
kepada kaum Muslim Melayu-Indonesia bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak
terbatas pada ibadah saja. Karena mencakup topik-topik yang begitu luas, kitab
ini jelas merupakan suatu karya di bidang tersebut. Karya ini telah beredar
luas, meskipun sekarang tidak lagi digunakan di Nusantara.
Dalam periode abad ke-18, Muhammad Arsyad al-Banjari
(1710-1812) merupakan ulama yang membantu perkembangan syariat di Nusantara.
Karya utama Arsyad al-Banjari dalam bidang fiqih adalah Sabil al-Muhtadin li
al-Tafaqquh fi ‘Amr al-Din. Kitab ini membahas aturan-aturan terperinci aspek
ibadah (ritual) dalam fiqih. Menurut Azyumardi Azra, kitab ini pada dasarnya
merupakan penjelasan, atau sampai batas-batas tertentu adalah revisi, atas
karya al-Raniri, Shirath al-Mustaqim. Karya al-Raniri tersebut dipandang kurang
dapat dipahami oleh masyarakat Islam di wilayah-wilayah lain di
Melayu-Nusantara karena banyak digunakan istilah dalm bahasa Aceh.[29] Walaupun
Sabil al-Muhtadin termasuk kitab yang cukup tebal, tapi pemikiran fiqihnya
tidak begitu luas. Masalah ibadah adalah topik utama dalam kitab itu. Tentang
muamalat, faraid, nikah, hudud, dan jihad tidak masuk dalam kitab itu.[30]
Doktrin-doktrin hukum Islam,selain Arsyad al-Banjari, juga
dikembangkan lebih lanjut oleh Daud al-Fatani. Dia merupakan figur seorang
ulama yang berhasil dalam usahanya mendamaikan antara aspek syariat dan aspek
mistis. Karya al-Fatani adalah Bughyat al-Thullah al-Murid Ma’rifat al-Ahkam bi
al-Shawab yang membahas tentang fiqih ibadah (fiqh al-ibadah) dan Furu’
al-Masail wa Ushul al-Masailyang membicarakan aturan-aturan dan petunjuk dalam
kehidupan sehari-hari.[31] Selanjutnya, disusul dengan terbitnya beberapa kitab
yang lebih kecil, seperti Jami’ al-Fawaid mengenai kewajiban kaum Muslimin
terhadap sesma Muslim dan non-Muslim, Hidayat al-Muta’alim wa ‘Umdat
at-Mu’allim mengenai fiqih secara umum, Muniyyat al-Mushalli mengenai shalat,
Nahj al-Raghibin fi Sabil al Muttaqin mengenai transaksi-transaksi perdagangan,
Ghayat al-Taqrih mengenai warisan (faraidh), Imdat al-Bab li Murid al-Nikah bi
al-Shawab yang mengulas tentang perkawinan dan perceraian.
2. Tasawuf
Nusantara
Kajian Tasawuf Nusantara adalah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia
telah tampak unsur tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan
hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari pengamalan keagamaan sebagian kaum muslimin Indonesia,
terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini. Berikut
tokoh-tokoh tasawuf Nusantara dan pokok-pokok ajarannya :
a) Hamzah Fansuri
Ajaran –ajaran Hamzah Fansuri dapat dijelaska sebagai
berikut[32] :
1) Wujud, menurutnya
yang disebut wujud itu hanyalah satu, walaupun kelihatannya banyak. Wujud yang
satu itu berkulit dan berisi, atau ada yang mazhar (kenyataan lahir) dan ada
yang batin. Ataupun semua benda-benda yang ada ini, sebenarnya adalah merupakan
pernyataan saja daripada wujud yang hakiki, dan wujud yang hakiki itulah yang
disebut Allah. Wujud itu mempunyai tujuh martabat, namun hakikatnya satu.
Martabat tujuh itu adalah: [1]Ahadiyah, yakni hakikat sejati dari Allah;
[2]Wahdah, yaitu hakikat dari Muhammad; [3]Wahidiyah, yaitu hakikat dari Adam;
[4]Alam Arwah, yaitu hakikat dari nyawa; [5]Alam Mitsal, yaitu hakikat dari
segala bentuk; [6]Alam Ajsam, yaitu hakikat tubuh; dan [7]Alam Insan, yaitu
hakikat manusia. Dan semuanya berkumpul (wahdah) ke dalam yang satu, itulah
Ahadiyah, itulah Allah dan itulah Aku.
2) Allah. Menurut
Hamzah, Allah adalah Dzat yang mutlak dan Qadim, sebab pertama dan pencipta
alam semesta. Menurutnya dalam Asrar al’Arifin disebutkan: “Ketika bumi dan
langit belum ada, surga dan neraka belum ada, alam sekalian belum ada, apa yang
ada pertama? Yang pertama adalah Dzat, yang ada pada dirinya sendiri, tiada
sifat dan tiada nama, itulah yang pertama.”
3) Penciptaan.
Menurutnya sebenarnya hakikat dari Dzat Allah itu adalah mutlak dan la ta’ayyun
(tak dapat ditentukan/dilukiskan). Dzat yang mutlak itu mencipta dengan cara
menyatakan diri-Nya dalam suatu proses penjelmaan, yaitu pengaliran keluar dari
diri-Nya (tanazzul) dan pengaliran kembali kepada-Nya (taraqqi).
4) Manusia.
Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, akan tetapi manusia
adalah tingkat yang paling penting, dan merupakan penjelmaan yang paling penuh
dan sempurna, ia adalah aliran/pancaran langsung dari Dzat yang mutlak. Hal ini
menunjukkan adanya semacam kesatuan antara Allah dan manusia.
5) Kelepasan.
Manusia sebagai makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi
insan kamil, namun karena gaflah/lalinya maka pandangannya kabur dan tiada
sadar bahwa seluruh alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.
b) Syamsuddin
Sumatrani
Pokok-pokok ajarannya adalah[33]:
1) Tentang Allah.
Syamsuddin mengajarkan bahwa Allah itu Esa adanya, Qadim, dan Baqa. Suatu Dzat
yang tidak membutuhkan ruang, waktu, dan tempat dan mustahl dapat dibayangkan
kemiripannya dengan sesuatu apa pun juga.
2) Tentang
Penciptaan. Sufi ini menggambarkan tentang penciptaan dari Dzat yang mutlak itu
dengan melalui tahp tingkatan, mulai dari ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam
arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insan.
3) Tentang
Manusia. Ia berpendapat bahwa manusia seolah-olah semacam objek ketika Tuhan
menzahirkan sifatnya. Semua sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia ini hanyalah
sekadar penggambaran dari sifat-sifat Tuhan dan tidak berarti bahwa sifat-sifat
Tuhan itu sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia. Oleh karena sifat-sifat
itu adalah sifat ma’ani bagi Allah (hakikatyang terdalam dari sifat-sifat
qudrat, iradat, ‘ilmu, sama’, bashar, kalam).
c) Nuruddin
al-Raniri
Pada saat Nuruddin berada di Aceh (1637 M) suasana politik
dan agam di Aceh sudah berubah. Syekh Syamsuddin telah meninggal dunia pada
tahun 1630 dan enam tahun sesudah itu Sultan Iskandar Muda mangkat (1636). Ia
diganti oleh menantunya yaitu Iskandar Tsani yang berasal dari Pahang dan
memberikan kedudukan yang sangat baik bagi Nuruddin dalam istana dan kerajaan
Aceh. Karena kepercayaan dan perlindungan Sultan, Nuruddin memperoleh
kesempatan baik untuk menyerang dan membasmi ajaran wujudiyyah dari Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.
Selama bermukim di Aceh, Nuruddin tidak berhenti menulis dan
berdebat melawan penganut ajaran wujudiyyah. Berkali-kali majelis perdebatan
diadakan di istana dan terkadang disaksikan oleh Sultan sendiri. Dalam
perdebatan itu Nuruddin dengan segala kecerdikan dan kemampuannya
memperlihatkan kelemahan dan kesesatan ajaran wujudiyyah yang menurutnya sangat
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis serta meminta mereka bertobat dan
kembali kepada ajaran yang benar. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil seperti
yang diharapkan, orang-orang yang tidak
mau bertobat itu dihukum kafir yang halal dibunuh dan kitab-kitab
karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan kemudian dibakar di halaman
Masjid Baiturrahman.
Rupanya pembunuhan kaum wujudiyyah ini ada kaitannya dengan
kegiatan kelompok lain yang mengarah kepada perbutan kekuasaan. Karena itu
Sultan Iskandar Tsani bertindak keras dengan membunuh mereka secara
besar-besaran dengan cara yang sangat kejam dan mengerikan.
D. Peran Ulama
(Walisongo) dalam Pengembangan Islam Nusantara
a) Pendidikan
Peran walisongo di
bidang pendidikan terlihat
dari aktivitas mereka dalam
mendirikan pesantren, sebagaimana
yang dilakukan oleh
Sunan Ampel, Sunan Giri, dan
Sunan Bonang. Sunan Ampel mendirikan
pesantren di Ampel
Denta (dekat Surabaya) yang sekaligus menjadi pusat
penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa.[34] Muridnya antara
lain Raden Paku (Sunan
Giri), Raden Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang),
Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat), Raden Patah (yang kemudian
menjadi sultan pertama dari Kerajaan
Islam Demak), Maulana
Ishak, dan banyak
lagi.
Sunan Giri mendirikan
pesantren di daerah
Giri. Santrinya banyak berasal
dari golongan masyarakat
ekonomi lemah. Ia
mengirim juru dakwah terdidik ke
berbagai daerah di luar Pulau Jawa seperti Madura, Bawean, Kangean, Ternate
dan Tidore.
Sunan Bonang memusatkan
kegiatan pendidikan dan dakwahnya
melalui pesantren yang
didirikan di daerah
Tuban. Sunan Bonang memberikan pendidikan
Islam secara mendalam
kepada Raden Fatah, putera raja Majapahit,
yang kemudian menjadi sultan pertama Demak.
Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan Suluk Sunan
Bonang.
b) Politik
Beberapa wali sanga menjadi penasehat kerajaan. Sunan Gunung
Jati bahkan menjadi raja.[35] Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana
Majapahit. Isterinya berasal dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja
Majapahit) adalah murid beliau. Dekatnya
Sunan Ampel dengan
kalangan istana membuat
penyebaran Islam di daerah Jawa tidak
mendapat hambatan, bahkan
mendapat restu dari
penguasa kerajaan.
Sunan Giri fungsinya sering dihubungkan dengan pemberi restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul
masalah penting yang harus diputuskan, wali yang lain
selalu menantikan keputusan
dan pertimbangannya. Sunan
Kalijaga juga menjadi penasehat kesultanan Demak Bintoro.
c) Dakwah
Peran walisongo yang
sangat dominan adalah
di bidang dakwah, baik
dakwah bil lisan
maupun bil hal.
Sebagai mubalig, walisongo
berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam. Sunan
Muria dalam upaya
dakwahnya selalu mengunjungi
desa-desa terpencil. Salah satu
karya yang monumental dari walisongo adalah mendirikan mesjid Demak.
Hampir semua walisongo
terlibat di dalamnya.
Adapun sarana yang dipergunakan
dalam dakwah berupa
pesantren-pesantren yang dipimpin oleh para
walisongo dan melalui
media kesenian, seperti
wayang. Mereka memanfaatkan
pertunjukan-pertunjukan tradisional sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan
nafas Islam ke
dalamnya. Syair lagi
gamelan ciptaan para wali
tersebut berisi pesan
tauhid, sikap menyembah
Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
d) Seni Budaya
Sunan Kalijaga terkenal
sebagai seorang wali
yang berkecimpung di bidang
seni. Sebagai budayawan
dan seniman, banyak
karya Sunan Kalijaga yang menggambarkan pendiriannya. Di
antaranya adalah gamelan, wayang kulit, dan
baju takwo.[36] Sunan
Ampel menciptakan Huruf Pegon
atau tulisan Arab berbunyi
bahasa Jawa. Hingga
sekarang huruf pegon masih
dipakai sebagai bahan pelajaran
agama Islam di
kalangan pesantren.
Sunan Giri juga
sangat berjasa dalam bidang
kesenian, karena beliau
menciptakan tembang-tembang
dolanan anak-anak yang bernafaskan Islam. Sunan Drajat juga tidak ketinggalan
untuk menciptakan tembang
Jawa yang sampai
saat ini masih
digemari masyarakat, yaitu Gending Pangkung, semacam lagu rakyat di
Jawa. Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka
mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Dalam menyebarkan agama
Islam, Sunan Bonang selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat
Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gemelan.
E. Praktek Islam
Nusantara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Agama Islam sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap
aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pedoman masyarakat.
Dalam hal inilah Islam sebagai agama sekaligus menjadi budaya masyarakat
Indonesia. Di satu sisi berbagai budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak
secara otomatis hilang dengan adanya Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian
terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian
melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya lokal dan Islam.
Setiap bulan Rabi’ulawwal tahun Hijriyah, sebagian besar
umat Islam Indonesia menyelenggarakan acara mauludun. Maksud dari acara
tersebut adalah untuk mengenang hari kelahiran Rasulullah saw. Dalam acara
tersebut diadakan pembacaan sejarah hidup Nabi Muhammad saw melalui kitab Al-
Barzanji atau Situddurar. Puncak acara biasanya terjadi pada tanggal 12
rabiulawwal, dimana tanggal tersebut Rasulullah saw dilahirkan. Di Aceh tradisi
mauludun adalah sebagai pengganti upeti atau pajak bagi kerajaan Turki, karena
Kerajaan Aceh memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan Turki.
Tradisi kelahiran di Jawa ada istilah ngapati, mitoni
.artinya upacara itu diadakan ketika kandungan seorang wanita mencapai umur 4
bulan. Dalam upacara 4 bulan seorang wanita melakukan adat siraman untuk
melindung bayi dan ibunya. Hal ini adalah kepercayaan dalam adat Jawa, namun
Islam mengikuti tradisi ini karena pada saat kandungan 4 bulan itulah calon
bayi akan ditiupkan rohnya oleh Allah swt, dan ditentukan takdirnya baik
rejeki, jodoh dan kematiannya. Sehingga pada tradisi 4 bulanan ini diadakan
sedekah dan pembacaan doa-doa atau dibacakan ayat suci Al-Qur’an.Kemudian pada
usia kandungan 7 bulan, masa ini adalah masa dimana kandungan sudah siap untuk
menerima segala proses kehidupan di dunia. Untukitulah diadakan tradisi pembagian
sedekah, karena sedekah adalah salah satu cara untuk menolak bala. Berikutnya
ketika bayi sudah lahir diadakan upacara sepasaran atau lima hari, dengan
tujuan untuk keselamatan bayi dan membagikan masakan kepada tetangga. Dalam
Islam sebelum makanan dibagikan ada tradisi membacakan doa. Setelah itu pada
hari ke tujuhnya diadakan akikah, hal ini bersumber dari ajaran Islam. Akikah
artinya menyembelih hewan kambing untuk anak yang baru saja dilahirkan.
Pelaksanaan acara akad nikah atau ijab qabul biasanya
diselenggarakan dengan syariat Islam. Tetapi dalam upacara pernikahan atau
resepsi menggunakan budaya jawa. Sebelum akad nikah diadakan siraman kembang
setaman, kemudian dalam rumah untuk resepsi ada hiasan dekorasi yang berisi
bunga-bunga. Didepan gapura juga ada janur kuning dan sebagainya. Hal itu belum
tentu meninggalkan syariat agama Islam, oleh sebab itu harus mencari nilai
filosofi yang ada dalam simbol-simbol tersebut. Siraman kembang setaman artinya
supaya wanita yang akan menikah mandi taubat dengan bunga, bunga dilambangkan
sebagai kesucian dan harum, jadi wanita yang hendak menikah benar-benar dalam
keadaan suci dan harum ketika hendak ijab kabul. Sedangkan dekorasi bunga-bunga
adalah wujud dari kasih sayang sepasang pengantin, bunga sebagai perlambang
bahwa pernikahan adalah kebahagiaan suami dan istri. Untuk janur kuning yang
dipasang di depan rumah adalah dengan tujuan agar acara resepsi mendapatkan
cahaya barakah dari Allah swt. Janur berasal dari lafadz bahasa arabja a nurun
artinya telah datang cahaya. Dan masih banyak lagi adat-adat yang perlu kalian
ketahui dan mengambil hikmah dari sana.
Demikian simbol-simbol yang perlu kamu ketahui. Hal ini bukanlah
musyrik, semuanya adalah simbol sebagai bentuk ungkapan kebahagiaan dari
pasangan pengantin.
Kewajiban umat Islam terhadap orang Islam yang meninggal ada
empat yaitu memandikan, mengkafani, menshalati dan menguburkan. Keempat ini
harus segera dikerjakan agar si mayit merasa tenang dialamnya.Tradisi di
Indonesia ketika ada kematian atas seorang Islam, maka akan diadakan pembacaan
talqin dan tahlil. Hal ini bertujuan untuk mendoakan agar arwah yang
meninggalkan dunia selamat dan diterima disisi-Nya. Tradisi selanjutnya adalah
menyelenggarakan upacara selamatan atau mendoakan pada waktu tertentu, seperti
3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari sampai 1000 harinya. Tradisi ini oleh para
ulama’ diselaraskan dengan agama Islam. Pada upacara selamatan biasanya hanya
duduk-duduk, minum dan makan-makan, maka setelah Islam datang ditambah dengan
memperdengarkan ayat Al- Qur’an, dzikir-dzikir kepada Allah swt. Maksud dan
tujuannya adalah untuk menghibur keluarga dan mendoakan mayit. Kamu harus
mengetahui bahwa kewajiban mendoakan saudara bukan yang masih hidup saja tetapi
yang sudah meninggal pun harus didoakan.Sedangkan dalam tradisi ziarah juga
mengalami perpaduan, orang Islam pergi ziarah hanya mendoakan mayit, sedangkan
dalam tradisi menggunakan bunga.
Sampai sekarang masih banyak masyarakat yang memegang
tradisi perpaduan Islam dan Hindu. Hal ini tidaklah mengapa, karena masyarakat
Indonesia terkenal dengan simbol-simbol yang dapat melambangkan makna kehidupan
yang sejati. Hal ini bukanlah bentuk kemusyrikan. Karena tradisi tersebut
adalah upaya untuk menyiarkan Islam secara damai.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa Islam masuk Ke
Nusantara pada abad ketujuh Masehi. Islam datang pertama kali dibawa oleh para
pedagang dari Arab yang kemudian diikuti oleh para pedagang dari Persia dan
Gujarat. Penyebaran Islam ke Nusantara bukan dengan cara kekerasan, akan tetapi
dengan kedamaian. Hal itulah yang memudahkan Islam untuk diterima di Nusantara.
Islam disebarkan di Nusantara melalui beberapa pendekatan, yaitu dengan
perdagangan, pendidikan, dakwah, perkawinan, tasawuf, kesenian dan politik.
Dalam perkembangannya Islam masuk ke Nusantara pada abad ketujuh Masehi ini
bisa dibuktikan setelah melakukan penelitian dan dengan ditemukannya
benda-benda yang memperkuat bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ketujuh
Masehi. Selain daripada itu, dalam perkembangannya berdirilah kerajaan-
kerajaan yang berlandaskan Islam. Kerajaan Islam yang pertama adalah Kerajaan
Samudra Pasai. Setelah kerajaan ini maka berdirilah kerajaan- kerajaan Islam
lain yang tersebar di hampir seluruh Nusantara terutama di Sumatera dan Jawa.
Sumber : http://studi-agama-islam.blogspot.com/2017/01/islam-nusantara-sejarah-dan-akar.html