Oleh Mahrus eL-Mawa* Fenomena kekerasan atas nama agama,
baik secara personal maupun institusional, hingga saat ini tidak dapat diterima
umat manusia, terutama umat yang beragama dengan cinta, damai, dan kearifan
(love, peace and wisdom). Islam sebagai agama yang mengedepankan rahmatan lil
alamin dimanapun, sudah pasti menolak kekerasan tersebut.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang dilahirkan sejak
1926 untuk memberikan kedamaian umat Islam Indonesia, terutama dalam
menjalankan tradisi dan ritual keagamaan, hingga saat ini. NU telah merumuskan
beberapa prinsip dalam hal mengantisipasi persoalan sosial keagamaan, yaitu
tasamuh (toleran), tawazun (seimbang/harmoni), tawasut (moderat), ta’adul
(keadilan), dan amar ma’ruf nahi munkar.
Seiring dengan fenomena kekerasan atas nama agama oleh
kelompok Islam tertentu tersebut, dan merasa dirinya yang paling benar
pemahaman keislamannya, dimanapun, menjadikan NU yang akan melaksanakan
Muktamarnya ke-33 perlu menegaskan kembali jati diri Islam Nusantara.
Gagasan Islam Nusantara merupakan salah satu pemikiran yang
khas untuk Indonesia dari dulu dan saat ini. Secara historis, berdasarkan
data-data filologis (naskah catatan tulis tangan), keislaman orang Nusantara
telah mampu memberikan penafsiran ajarannya sesuai dengan konteksnya, tanpa
menimbulkan peperangan fisik dan penolakan dari masyarakat.
Contohnya, ajaran-ajaran itu dikemas melalui adat dan
tradisi masyarakat, makanya
terdapat ungkapan di Minangkabau adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Lalu, pada saat itu di Buton terdapat ajaran martabat tujuh
dari tasawuf menjadi bagian tak terpisahkan dari undang-undang kesultanan
Buton. Hal serupa di Jawa, baik melalui ajaran Walisongo ataupun gelar seorang
raja dengan menggabungkan tradisi lokal dan tradisi Arab, seperti Senopati ing
Alogo Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.
Dengan demikian, praktik Islam Nusantara mampu memberikan
kedamaian umat manusia. Pada saat itu di Nusantara, baik kepulauan Jawa, Sumatera,
Sulawesi dan sekitarnya para ulama dalam hal menuliskan ajarannya juga
mempunyai tradisi akulturatif dan adaptif. Strategi dakwah tersebut tertulis
dalam berbagai aksara dan bahasa sesuai dengan wilayahnya. Di Jawa terdapat
aksara carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura, yang
diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan,
terdapat aksara Jawi dengan bahasa Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai
sukunya, Bugis, Batak, dst.
Jelas sekali, ada kekhasan dalam Islam Nusantara pada soal
adaptasi dan akulturasi aksara/bahasa. Hal serupa juga dalam hal sosialisasi
ajaran Islam yang disampaikan secara praktis di masyarakat, terdapat adaptasi
seni dan budaya lokal.
Wacana Islam Nusantara untuk saat ini acapkali diadaptasikan
sebagai Islam Asia Tenggara (rumpun Melayu), dan belakangan menjadi Islam
Indonesia. Beberapa buku menunjukkan hal itu, Azyumardi Azra (Edisi Revisi,
2004), Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII [The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle
Eastern and Malay Indonesia ‘Ulama in the Seventeeth and Eighteenth Centuries
(KITLV, 2004)], L.W.C. van den Berg
(1989), Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara [terjemahan dari Le Hadhramaut
Et. Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien], Ahmad Ibrahim, dkk. (1989),
Islam di Asia Tenggara [Readings on Islam in Southeast Asia], Slamet Muljana
(2005), Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara; Kedua buku terakhir tersebut merupakan beberapa bukti bahwa Islam
Asia Tenggara itu Islam Nusantara dengan rumpun Melayu, dan Islam Nusantara itu
Islam Indonesia. Baru belakangan muncul beberapa karya dengan Islam Indonesia,
seperti Michael Laffan (2011), The Makings of Indonesian Islam (Orientalism and
the Narraration of a Sufi Past).
Membicarakan Islam Nusantara bukan sekadar mengungkap
kesejarahan Islam sebelum kaum asing menjajah (mempengaruhi) sejumlah wilayah
di Nusantara, tetapi juga mengungkap kaitan ajaran Islam dengan tradisi lokal
yang berbeda dengan tradisi Islam mainstream dari asalnya, Arab, terutama di
Indonesia. Berkaitan dengan itu, jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 26 Tahun 2008
tentang Islam Nusantara barangkali dapat menjadi bacaan awalnya.
Islam Nusantara juga dikenal dengan Islam Sufistiknya, hal
itu bisa dilihat dalam karya Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia (2009) dan
buku Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual dan Pemikiran
Tasawuf (2013). Tentu saja, Islam Nusantara bukan hanya tasawuf, tetapi semua
aspek ajaran Islam, seperti fiqh, tauhid, al-Qur’an, al-Hadis, dst.
Para ulama Nusantara dan karya-karyanya juga sudah dibuat
daftarnya secara ringkas oleh Nicholas Heer (2008) dengan judul A Concise
Handlist of Jawi Authors and Their Works. Diantara ulama Nusantara yang dikenal
dengan Ahlussunah wal jamaah itu Syekh Ihsan ibn Muhammad Dahlan al-Jamfasi
al-Kadiri dengan judul kitab Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Ahkam Syurb al-Qahwah wa
al-Dukhan, dan Siraj al-Talibin fi Syarh Minhaj al-Abidin; Muhammad As’ad ibn
Hafid al-Jawi, an-Nubzah al-Saniyah fi al-Qawaid al-Nahwiyah (1304/1886);
Muhammad Sa’id ibn Muhammad Tahir Riau, Kitab ‘Iqd al-Jawhar fi Mawlid al-Nabi
al-Azhar (1327/1909); Muhammad ibn (?) Salih ibn ‘Umar al-Samarani, Hadis al-Mi’raj,
dst.
Adapun ulama-ulama yang sudah masyhur lainnya juga tercatat
dengan baik, seperti Hamzah al-Fansuri al-Jawi, Syekh an-Nawawi al-Bantani
al-Jawi, Syekh Abd ar-Rauf al-Singkili al-Jawi, Abd al-Samad al-Falimbani
al-Jawi, Kiai Bisri Mustofa dengan Tafsir Pegon, al-Ibriz, dst.
Islam Nusantara, diakui atau tidak, masih dianggap sebagai
Islam pinggiran (periferal) oleh para orientalis. Sekalipun bantahan terhadap
anggapan seperti itu sudah dilakukan juga oleh islamolog, seperti A.H. Johns.
Bahkan Johns (1965) pernah meneliti karya ulama tasawuf Nusantara Tuhfatul
Mursalah ila ruh al-nabi dalam salinan bahasa dan aksara Jawa, dengan judul The
Gift Addressed to the Spirit of the Prophet.
Karya-karya ulama Nusantara dalam bahasa lokal tersebut
untuk penyebaran Islam merupakan salah satu dari kelebihan dan kekhasan Islam
Nusantara, selain dari pemahaman moderatnya. Moderasi itu dengan cara akomodasi
tradisi lokal dalam pemahaman keislamannya, seperti tahlilan, muludan, sedekah
laut, mitoni, dst. yang selama ini hanya milik Islam tradisional Indonesia.
Tradisi Islam Nusantara yang sudah berkembang tersebut ternyata juga berkembang
di negara Timur Tengah, seperti Maroko, Yaman dan sekitarnya.
Moderasi Islam Nusantara ternyata dapat dilihat bukan hanya
pada pengembangannya melalui akulturasi budaya semata, tetapi juga ketika Islam
awal masuk ke Nusantara melalui suatu proses kooptasi damai yang berlangsung
selama berabad-abad. Tidak banyak terjadi penaklukan secara militer, pergolakan
politik, atau pemaksaan struktur kekuasaan dan norma-norma masyarakat dari luar
negeri (Ahmad Ibrahim, dkk: 2).
Dengan demikian, melalui Islam Nusantara tidak perlu dengan
gerakan paramiliter, kekerasan, penindasan, atau bentuk radikalisme lainnya,
seperti yang dikembangkan organisasi Islam tertentu yang sedang marak
belakangan ini.
Dengan demikian pribumisasi Islam Gus Dur sungguh sangat
tepat untuk Islam Nusantara. Salah satu warisan Islam Nusantara, selain pesantren
adalah naskah kuno (manuskrip). Naskah kuno ini dapat menjadi ciri khas lain
dari Islam Nusantara, terutam pada aspek bahasa dan aksaranya. Pegon dan Jawi
tidak pernah digunakan oleh orang Islam dimanapun, kecuali bangsa kepulauan
Nusantara.
Karena itu, apabila terdapat naskah kuno berbahasa Jawa
dengan aksara Arab di perpustakaan Jerman, Belanda, Perancis, Italia, dst,
dapat dipastikan naskah itu berasal dari Nusantara (lihat, Henri Chamberl-Loir
dan Oman Fathurrahman (1999), Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah
Indonesia Sedunia. Adapun di dalam negeri, berbagai katalog naskah dari
daerah-daerah seperti Buton, Yogyakarta, Jawa Barat, Aceh, dst. Secara khusus,
terdapat sebuah buku tentang Direktori Edisi Naskah Nusantara (1999).
Kajian terhadap naskah kuno tersebut saat ini sedang
berkembang pesat, tidak hanya di perguruan tinggi umum (UI, UGM, UNPAD, dst)
tetapi juga lembaga kementerian agama RI (Litbang, UIN, IAIN, dst.). Bahkan,
beberapa pesantren dan keluarga keraton sebagai pemilik naskah kuno tersebut
sudah dilibatkan menjadi peneliti, pengkaji, dan pemelihara naskah secara
professional. Pengkaji naskah Nusantara ini bahkan menyebut studinya dengan
nama filologi Nusantara.
Studi naskah di Nusantara memang tidak dapat disamakan dengan
filologi di Eropa, Barat, atau latin dimana asal usul filologi berkembang.
Begitupun kajian naskah Nusantara tidak dapat disamakan dengan studi filologi
di Arab (ilmu tahqiq). Karena itu, Nusantara mempunyai kekhasannya sendiri,
termasuk naskah-naskah di daerah. Kajian naskah di wilayah yang besar
cakupannya, seperti Jawa, Melayu atau Batak, ternyata juga memunculkan filologi
tersendiri, maka lahirlah filologi Jawa, filologi Melayu, dan filologi Batak.
Kajian naskah semacam itu, terutama naskah keagamaan Islam,
mengingatkan penulis pada gagasan Gus Dur tentang pesantren sebagai sub-kultur
dan pribumisasi Islam. Pesantren sebagai warisan Islam Nusantara hari ini juga
mempunyai kontribusi besar terhadap dinamika filologi Nusantara, karena di
pesantren juga mempunyai kekhasan sendiri yang berbeda dengan filologi Jawa
dst. Karena itu, penulis juga pernah mengusulkan perlunya kajian filologi
pesantren. Terlebih lagi, apabila dikaitkan dengan pribumisasi Islam dari Gus
Dur, maka semakin lengkaplah kajian Islam Nusantara itu.
Berangkat dari catatan-catatan tersebut, kiranya, “Mengapa
Islam Nusantara”, baik dari sisi historis maupun untuk kepentingan saat ini,
dapat disingkat sebagai berikut:
1. Ajaran Islam Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum),
tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism) sebagian telah diadaptasi dengan
aksara dan bahasa lokal. Sekalipun untuk beberapa kitab tertentu tetap
menggunakan bahasa Arab, walaupun substansinya berbasis lokalitas, seperti
karya Kyai Jampers Kediri.
2. Praktik keislaman Nusantara, seperti tahlilan, tujuh
bulanan, muludan, bedug/kentongan sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada
harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat. Keseimbangan ini menjadi salah satu
karakter Islam Nusantara, dari dulu dan saat ini atau ke depan.
3. Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam itu dapat
membuktikan praktik hidup yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan
pribumi, sehingga ajaran Ahlus sunnah wal jamaah dapat diterapkan. Tradisi yang baik tersebut perlu
dipertahankan, dan boleh mengambil tradisi baru lagi, jika benar-benar hal itu
lebih baik dari tradisi sebelumnya.
4. Manuskrip (catatan tulisan tangan) tentang keagamaan
Islam, baik babad, hikayat, primbon, dan ajaran fikih, dst. sejak abad ke-18/20
merupakan bukti filologis bahwa Islam Nusantara itu telah berkembang dan
dipraktikkan pada masa lalu oleh para ulama dan masyarakat, terutama di
komunitas pesantren.
5. Tradisi Islam Nusantara, ternyata juga trdapat keserupaan
dengan praktik tradisi Islam di beberapa Negara Timur Tengah, seperti Maroko
dan Yaman, sehingga Islam Nusantara dari sisi praktik bukanlah monopoli NU atau
umat Islam Indonesia semata, karena jejaring Islam Nusantara di dunia penting
dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang terkesan bagian dari
terorisme global.
6. Karakter Islam Nusantara, seperti disebut sebelum ini,
tidaklah berlebihan jika dapat menjadi pedoman berfikir dan bertindak untuk
memahami ajaran Islam saat ini, sehingga terhindar dari pemikiran dan tindakan
radikal yang berujung pada kekerasan fisik, dan kerusakan alam.
7. NU sebagai organisasi yang dilahirkan untuk mengawal
tradisi para ulama Nusantara, terutama saat keemasannya, Walisongo, penting
kiranya untuk tetap mengawal dan menegaskan kembali tentang Islam Nusantara,
yang senantiasa mengedapkan toleran, moderat, kedamaian dan memanusiakan
manusia.
Selamat dan Sukses Muktamar NU ke-33, semoga benar-benar
dapat merumuskan secara teoritis dan praktis tentang Islam Nusantara, sehingga
dapat diaktualisasikan secara nyata di tengah masyarakat, dan kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya bagi umat Islam Indonesia.
Catatan pendek ini sebagai pengantar diskusi Halaqah
pra-Muktamar NU ke-33 di PBNU, “Mengapa Islam Nusantara?”, diselenggarakan
kerja sama Gus Durian, Panitia Muktamar dan Pasca Sarjana STAINU Jakarta, 10
April 2015. Draft only.
*Mahrus eL-Mawa, teman Belajar Mahasiswa Pasca Sarjana
STAINU Jakarta dan IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Saat ini, sedang menulis
disertasi tentang filologi naskah Cirebon di FIB UI.
Teks dan Karakter Islam Nusantara
Oleh Mahrus eL-Mawa* Fenomena kekerasan atas nama agama,
baik secara personal maupun institusional, hingga saat ini tidak dapat diterima
umat manusia, terutama umat yang beragama dengan cinta, damai, dan kearifan
(love, peace and wisdom). Islam sebagai agama yang mengedepankan rahmatan lil
alamin dimanapun, sudah pasti menolak kekerasan tersebut.
<>
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang dilahirkan sejak
1926 untuk memberikan kedamaian umat Islam Indonesia, terutama dalam menjalankan
tradisi dan ritual keagamaan, hingga saat ini. NU telah merumuskan beberapa
prinsip dalam hal mengantisipasi persoalan sosial keagamaan, yaitu tasamuh
(toleran), tawazun (seimbang/harmoni), tawasut (moderat), ta’adul (keadilan),
dan amar ma’ruf nahi munkar.
Seiring dengan fenomena kekerasan atas nama agama oleh
kelompok Islam tertentu tersebut, dan merasa dirinya yang paling benar
pemahaman keislamannya, dimanapun, menjadikan NU yang akan melaksanakan
Muktamarnya ke-33 perlu menegaskan kembali jati diri Islam Nusantara.
Gagasan Islam Nusantara merupakan salah satu pemikiran yang
khas untuk Indonesia dari dulu dan saat ini. Secara historis, berdasarkan
data-data filologis (naskah catatan tulis tangan), keislaman orang Nusantara
telah mampu memberikan penafsiran ajarannya sesuai dengan konteksnya, tanpa
menimbulkan peperangan fisik dan penolakan dari masyarakat.
Contohnya, ajaran-ajaran itu dikemas melalui adat dan
tradisi masyarakat, makanya
terdapat ungkapan di Minangkabau adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Lalu, pada saat itu di Buton terdapat ajaran martabat tujuh
dari tasawuf menjadi bagian tak terpisahkan dari undang-undang kesultanan
Buton. Hal serupa di Jawa, baik melalui ajaran Walisongo ataupun gelar seorang
raja dengan menggabungkan tradisi lokal dan tradisi Arab, seperti Senopati ing
Alogo Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.
Dengan demikian, praktik Islam Nusantara mampu memberikan
kedamaian umat manusia. Pada saat itu di Nusantara, baik kepulauan Jawa,
Sumatera, Sulawesi dan sekitarnya para ulama dalam hal menuliskan ajarannya
juga mempunyai tradisi akulturatif dan adaptif. Strategi dakwah tersebut
tertulis dalam berbagai aksara dan bahasa sesuai dengan wilayahnya. Di Jawa
terdapat aksara carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura, yang
diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan,
terdapat aksara Jawi dengan bahasa Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai
sukunya, Bugis, Batak, dst.
Jelas sekali, ada kekhasan dalam Islam Nusantara pada soal
adaptasi dan akulturasi aksara/bahasa. Hal serupa juga dalam hal sosialisasi
ajaran Islam yang disampaikan secara praktis di masyarakat, terdapat adaptasi
seni dan budaya lokal.
Wacana Islam Nusantara untuk saat ini acapkali diadaptasikan
sebagai Islam Asia Tenggara (rumpun Melayu), dan belakangan menjadi Islam
Indonesia. Beberapa buku menunjukkan hal itu, Azyumardi Azra (Edisi Revisi,
2004), Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII [The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle
Eastern and Malay Indonesia ‘Ulama in the Seventeeth and Eighteenth Centuries
(KITLV, 2004)], L.W.C. van den Berg
(1989), Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara [terjemahan dari Le Hadhramaut
Et. Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien], Ahmad Ibrahim, dkk. (1989),
Islam di Asia Tenggara [Readings on Islam in Southeast Asia], Slamet Muljana
(2005), Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara; Kedua buku terakhir tersebut merupakan beberapa bukti bahwa Islam
Asia Tenggara itu Islam Nusantara dengan rumpun Melayu, dan Islam Nusantara itu
Islam Indonesia. Baru belakangan muncul beberapa karya dengan Islam Indonesia,
seperti Michael Laffan (2011), The Makings of Indonesian Islam (Orientalism and
the Narraration of a Sufi Past).
Membicarakan Islam Nusantara bukan sekadar mengungkap
kesejarahan Islam sebelum kaum asing menjajah (mempengaruhi) sejumlah wilayah
di Nusantara, tetapi juga mengungkap kaitan ajaran Islam dengan tradisi lokal
yang berbeda dengan tradisi Islam mainstream dari asalnya, Arab, terutama di
Indonesia. Berkaitan dengan itu, jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 26 Tahun 2008
tentang Islam Nusantara barangkali dapat menjadi bacaan awalnya.
Islam Nusantara juga dikenal dengan Islam Sufistiknya, hal
itu bisa dilihat dalam karya Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia (2009) dan
buku Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual dan Pemikiran
Tasawuf (2013). Tentu saja, Islam Nusantara bukan hanya tasawuf, tetapi semua
aspek ajaran Islam, seperti fiqh, tauhid, al-Qur’an, al-Hadis, dst.
Para ulama Nusantara dan karya-karyanya juga sudah dibuat
daftarnya secara ringkas oleh Nicholas Heer (2008) dengan judul A Concise
Handlist of Jawi Authors and Their Works. Diantara ulama Nusantara yang dikenal
dengan Ahlussunah wal jamaah itu Syekh Ihsan ibn Muhammad Dahlan al-Jamfasi
al-Kadiri dengan judul kitab Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Ahkam Syurb al-Qahwah wa
al-Dukhan, dan Siraj al-Talibin fi Syarh Minhaj al-Abidin; Muhammad As’ad ibn
Hafid al-Jawi, an-Nubzah al-Saniyah fi al-Qawaid al-Nahwiyah (1304/1886);
Muhammad Sa’id ibn Muhammad Tahir Riau, Kitab ‘Iqd al-Jawhar fi Mawlid al-Nabi
al-Azhar (1327/1909); Muhammad ibn (?) Salih ibn ‘Umar al-Samarani, Hadis
al-Mi’raj, dst.
Adapun ulama-ulama yang sudah masyhur lainnya juga tercatat
dengan baik, seperti Hamzah al-Fansuri al-Jawi, Syekh an-Nawawi al-Bantani
al-Jawi, Syekh Abd ar-Rauf al-Singkili al-Jawi, Abd al-Samad al-Falimbani
al-Jawi, Kiai Bisri Mustofa dengan Tafsir Pegon, al-Ibriz, dst.
Islam Nusantara, diakui atau tidak, masih dianggap sebagai
Islam pinggiran (periferal) oleh para orientalis. Sekalipun bantahan terhadap
anggapan seperti itu sudah dilakukan juga oleh islamolog, seperti A.H. Johns.
Bahkan Johns (1965) pernah meneliti karya ulama tasawuf Nusantara Tuhfatul
Mursalah ila ruh al-nabi dalam salinan bahasa dan aksara Jawa, dengan judul The
Gift Addressed to the Spirit of the Prophet.
Karya-karya ulama Nusantara dalam bahasa lokal tersebut
untuk penyebaran Islam merupakan salah satu dari kelebihan dan kekhasan Islam
Nusantara, selain dari pemahaman moderatnya. Moderasi itu dengan cara akomodasi
tradisi lokal dalam pemahaman keislamannya, seperti tahlilan, muludan, sedekah
laut, mitoni, dst. yang selama ini hanya milik Islam tradisional Indonesia.
Tradisi Islam Nusantara yang sudah berkembang tersebut ternyata juga berkembang
di negara Timur Tengah, seperti Maroko, Yaman dan sekitarnya.
Moderasi Islam Nusantara ternyata dapat dilihat bukan hanya
pada pengembangannya melalui akulturasi budaya semata, tetapi juga ketika Islam
awal masuk ke Nusantara melalui suatu proses kooptasi damai yang berlangsung
selama berabad-abad. Tidak banyak terjadi penaklukan secara militer, pergolakan
politik, atau pemaksaan struktur kekuasaan dan norma-norma masyarakat dari luar
negeri (Ahmad Ibrahim, dkk: 2).
Dengan demikian, melalui Islam Nusantara tidak perlu dengan
gerakan paramiliter, kekerasan, penindasan, atau bentuk radikalisme lainnya,
seperti yang dikembangkan organisasi Islam tertentu yang sedang marak
belakangan ini.
Dengan demikian pribumisasi Islam Gus Dur sungguh sangat
tepat untuk Islam Nusantara. Salah satu warisan Islam Nusantara, selain
pesantren adalah naskah kuno (manuskrip). Naskah kuno ini dapat menjadi ciri
khas lain dari Islam Nusantara, terutam pada aspek bahasa dan aksaranya. Pegon
dan Jawi tidak pernah digunakan oleh orang Islam dimanapun, kecuali bangsa
kepulauan Nusantara.
Karena itu, apabila terdapat naskah kuno berbahasa Jawa
dengan aksara Arab di perpustakaan Jerman, Belanda, Perancis, Italia, dst,
dapat dipastikan naskah itu berasal dari Nusantara (lihat, Henri Chamberl-Loir
dan Oman Fathurrahman (1999), Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah
Indonesia Sedunia. Adapun di dalam negeri, berbagai katalog naskah dari
daerah-daerah seperti Buton, Yogyakarta, Jawa Barat, Aceh, dst. Secara khusus,
terdapat sebuah buku tentang Direktori Edisi Naskah Nusantara (1999).
Kajian terhadap naskah kuno tersebut saat ini sedang
berkembang pesat, tidak hanya di perguruan tinggi umum (UI, UGM, UNPAD, dst)
tetapi juga lembaga kementerian agama RI (Litbang, UIN, IAIN, dst.). Bahkan,
beberapa pesantren dan keluarga keraton sebagai pemilik naskah kuno tersebut
sudah dilibatkan menjadi peneliti, pengkaji, dan pemelihara naskah secara
professional. Pengkaji naskah Nusantara ini bahkan menyebut studinya dengan
nama filologi Nusantara.
Studi naskah di Nusantara memang tidak dapat disamakan
dengan filologi di Eropa, Barat, atau latin dimana asal usul filologi
berkembang. Begitupun kajian naskah Nusantara tidak dapat disamakan dengan
studi filologi di Arab (ilmu tahqiq). Karena itu, Nusantara mempunyai
kekhasannya sendiri, termasuk naskah-naskah di daerah. Kajian naskah di wilayah
yang besar cakupannya, seperti Jawa, Melayu atau Batak, ternyata juga
memunculkan filologi tersendiri, maka lahirlah filologi Jawa, filologi Melayu,
dan filologi Batak.
Kajian naskah semacam itu, terutama naskah keagamaan Islam,
mengingatkan penulis pada gagasan Gus Dur tentang pesantren sebagai sub-kultur
dan pribumisasi Islam. Pesantren sebagai warisan Islam Nusantara hari ini juga
mempunyai kontribusi besar terhadap dinamika filologi Nusantara, karena di
pesantren juga mempunyai kekhasan sendiri yang berbeda dengan filologi Jawa
dst. Karena itu, penulis juga pernah mengusulkan perlunya kajian filologi
pesantren. Terlebih lagi, apabila dikaitkan dengan pribumisasi Islam dari Gus
Dur, maka semakin lengkaplah kajian Islam Nusantara itu.
Berangkat dari catatan-catatan tersebut, kiranya, “Mengapa
Islam Nusantara”, baik dari sisi historis maupun untuk kepentingan saat ini,
dapat disingkat sebagai berikut:
1. Ajaran Islam Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum),
tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism) sebagian telah diadaptasi dengan
aksara dan bahasa lokal. Sekalipun untuk beberapa kitab tertentu tetap
menggunakan bahasa Arab, walaupun substansinya berbasis lokalitas, seperti
karya Kyai Jampers Kediri.
2. Praktik keislaman Nusantara, seperti tahlilan, tujuh
bulanan, muludan, bedug/kentongan sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada
harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat. Keseimbangan ini menjadi salah satu
karakter Islam Nusantara, dari dulu dan saat ini atau ke depan.
3. Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam itu dapat
membuktikan praktik hidup yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan
pribumi, sehingga ajaran Ahlus sunnah wal jamaah dapat diterapkan. Tradisi yang baik tersebut perlu
dipertahankan, dan boleh mengambil tradisi baru lagi, jika benar-benar hal itu
lebih baik dari tradisi sebelumnya.
4. Manuskrip (catatan tulisan tangan) tentang keagamaan
Islam, baik babad, hikayat, primbon, dan ajaran fikih, dst. sejak abad ke-18/20
merupakan bukti filologis bahwa Islam Nusantara itu telah berkembang dan
dipraktikkan pada masa lalu oleh para ulama dan masyarakat, terutama di
komunitas pesantren.
5. Tradisi Islam Nusantara, ternyata juga trdapat keserupaan
dengan praktik tradisi Islam di beberapa Negara Timur Tengah, seperti Maroko
dan Yaman, sehingga Islam Nusantara dari sisi praktik bukanlah monopoli NU atau
umat Islam Indonesia semata, karena jejaring Islam Nusantara di dunia penting
dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang terkesan bagian dari
terorisme global.
6. Karakter Islam Nusantara, seperti disebut sebelum ini,
tidaklah berlebihan jika dapat menjadi pedoman berfikir dan bertindak untuk
memahami ajaran Islam saat ini, sehingga terhindar dari pemikiran dan tindakan
radikal yang berujung pada kekerasan fisik, dan kerusakan alam.
7. NU sebagai organisasi yang dilahirkan untuk mengawal
tradisi para ulama Nusantara, terutama saat keemasannya, Walisongo, penting
kiranya untuk tetap mengawal dan menegaskan kembali tentang Islam Nusantara,
yang senantiasa mengedapkan toleran, moderat, kedamaian dan memanusiakan
manusia.
Selamat dan Sukses Muktamar NU ke-33, semoga benar-benar
dapat merumuskan secara teoritis dan praktis tentang Islam Nusantara, sehingga
dapat diaktualisasikan secara nyata di tengah masyarakat, dan kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya bagi umat Islam Indonesia.
Catatan pendek ini sebagai pengantar diskusi Halaqah
pra-Muktamar NU ke-33 di PBNU, “Mengapa Islam Nusantara?”, diselenggarakan
kerja sama Gus Durian, Panitia Muktamar dan Pasca Sarjana STAINU Jakarta, 10
April 2015. Draft only.
*Mahrus eL-Mawa, teman Belajar Mahasiswa Pasca Sarjana
STAINU Jakarta dan IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Saat ini, sedang menulis
disertasi tentang filologi naskah Cirebon di FIB UI.
Sumber www.nu.or.id