Narasi besar Islam yang merentang selama ratusan tahun di
bumi Nusantara harus diletakkan sebagai endapan ganjil dari pelbagai unsur yang
hiruk. Islam yang kita saksikan sekarang merupakan hasil kloning sempurna dari
kultur hibrida, dari lanskap budaya yang berbeda-beda.
Maka, ketika belakangan ini mencuat diskursus ‘Islam
Nusantara’ yang diwedarkan sebagai bentuk capture identitas dalam konteks
sosio-antropologis, argumen-argumen penolakan yang bersifat ambisius dan
dadakan perlu segera diluruskan. Mengapa? Lewat Sejarah Islam di Nusantara,
Michael Laffan menyediakan jawabannya.
Hasil riset profesor sejarah dari Universitas Princeton ini
mendedahkan secara eksplisit bahwa ‘Islam (di) Nusantara’ memiliki akar-akar
sejarah yang menghunjam jauh ke masa silam. Dengan lain kata, apa yang disebut
sebagai ‘Islam Nusantara’ tak lain adalah salinan pucat dari sejarah Islam di Nusantara
itu sendiri.
Di titimangsa ini, yang gamang mulai tampak terang: bahwa
‘Islam Nusantara’ bukanlah aliran sempal (firqah) yang mencoba memekarkan diri
dari kelopak keislaman yang sudah menangkai lebih dulu. ‘Islam Nusantara’,
seperti yang akan kita lihat, adalah ejawantah langsung dari relasi-relasi
subtil antarmanusia, juga antarbangsa.
Peran Ordo Sufi
Seperti halnya kebanyakan sejarawan, Michael Laffan percaya
bahwa kesuksesan Islam menapak bumi Nusantara sangat ditentukan oleh peran
penting ordo-ordo sufi yang memiliki reputasi baik sejak awal kedatangannya.
Namun ia masih ragu mengenai faktor paling dominan dalam proses islamisasi yang
mencengangkan tersebut.
Namun yang pasti, sufi-sufi yang berdatangan dari seberang
seperti Persia, India dan Afrika Utara kadang-kadang merupakan pedagang yang
sekaligus juru dakwah Islam. Di abad-abad pertama milineum kedua, mudah sekali
kita temukan sosok sufi yang nyambi jadi petani, pedagang, hakim, dan “profesi
duniawi” lainnya.
Para penyebar Islam yang umumnya multitalenta itu, telah
mengejutkan dan membuat decak kagum orang-orang pribumi sehingga mereka cepat
sekali beradaptasi. Uniknya, dalam temuan Michael Laffan, untaian
kearifan-kearifan kaum sufi dengan mudah menjadi tren dan diadopsi oleh
penguasa setempat (hal, 27).
Hal ini tidak lepas dari yang namanya—dalam istilah Michael
Laffan—“gravitasi kecendekiaan” yang bersumber dari Mesir, Baghdad, Damaskus
hingga Turki Utsmani. Terma-terma sufistik yang menjadi tren di Timur Tengah,
lewat persilangan-persilangan mencengangkan, lalu dibawa dan akhirnya menjadi
tren juga. Tren sufisme di abad-abad lampau sama pentingnya dengan tren mode
zaman sekarang (hal, 253-254).
Antara abad 15 hingga 18, ordo-ordo sufi dengan leluasa
keluar-masuk istana. Tampaknya, penetrasi lembut antara ajaran sufi dan politik
kekuasaan menjadi penyokong utama langgengnya agama Islam di Nusantara.
Pola-pola semacam itu lazim terjadi di Asia Tenggara, terutama di sekitar poros
Patani-Malaka-Jawa.
Islam yang Terus Berubah
Abad-abad berikutnya semakin rumit dan musykil. Ketika
pondasi Islam boleh dibilang sudah kukuh, sengkarut yang silang menyilang
gencar terjadi. Ordo-ordo sufi mulai menarik diri dari istana. Sementara itu,
gerakan-gerakan revivalisme Islam mulai tumbuh dan langsung mengambil jalur
politik-kekuasaan.
Di sisi lain, katup kolonialisme yang kian menganga turut
membawa dampak buruk bagi posisi Islam Nusantara. Sejak itu, polarisasi dalam
Islam tidak dapat dihindari lagi. Muncullah Wahhabisme, Pan-Islamisme, dan
seterusnya.
Sementara Islam bersusah payah menghadapi perpecahan yang
menggerogoti tubuhnya sendiri, dari luar tengah mengarah serbuan getol dari
misionaris Kristen yang dibonceng pemerintah Hindia Belanda. Bab 6 dan 7 secara
khusus memotret perseteruan dan perebutan panggung yang dramitis itu.
Dalam konteks yang lebih serius dan rumit, Christiaan Snouck
Hurgronje hadir sebagai eksemplar yang sangat menentukan terhadap narasi Islam
di dunia yang lebih modern kelak. Michael Laffan mencurahkan perhatiannya pada
segmentasi ini secara detail di bab 8, 9, dan 10.
Pada bab-bab berikutnya, Michael Laffan menyoroti setiap
perubahan di dalam sejarah ‘Islam Nusantara’ yang arkaik dan tumpang tindih
dengan pelbagai dimensi kecil namun penting. Dengan tetap meyakini bahwa sejarah
tidak pernah final, Michael Laffan juga berkesimpulan bahwa ‘Islam Nusantara’
juga bukan adonan yang persis bulat dan final.
Sejak awal Michael Laffan mengingatkan bahwa yang khas bagi
‘Islam Nusantara’ justru karena ia tidak benar-benar khas (sejauh khas
diidentikkan dengan orisinal). Sebab, ‘Islam Nusantara’ merupakan hasil
tungkus-lumus, persentuhan, perpaduan dari ajaran, perilaku, budaya dan
citarasa yang aduhai jamaknya. Dan itu mustahil dikrop untuk menjadi satu
warna.
Apa yang ditulis Michael Laffan dalam buku ini, pada
dasarnya, sekadar patahan-patahan sumir, potongan-potongan kecil, atau
celah-celah mungil yang terjadi di dalam lipatan-lipatan sejarah yang enggan
dibahas oleh sejarawan lain.Pembaca tidak akan menemukan keutuhan, misalnya,
sebagaimana buku-buku M.C. Ricklefs.
Tetapi justru di situ nilai plusnya. Dengan gaya penulisan
yang tidak konvensional, Michael Laffan berhasil memetakan serpihan-serpihan
penting sejarah ‘Islam Nusantara’ ke dalam narasi yang enak dibaca. Hanya,
pembaca yang belum tahu secara persis anatomi sejarah Indonesia, jelas akan
kesulitan mencerna konteksnya.
Buku ini, saya kira, unggul di satu sisi, tapi lemah di sisi
yang lain. Sebagai buku sejarah, buku ini sangat berharga karena keunikan
data-data di dalamnya. Namun keunikan itu tidak akan sanggup menjawab
pertanyaan-pertanyaan penting yang bercorak antropologis. Di sinilah reputasi
Michael Laffan sebagai sejarawan tulen patut ditepuktangani.
Data Buku
Judul : Sejarah Islam di Nusantara
Penulis : Michael Laffan
Penerjemah : Indi Aunullah & Rini Nurul Badariah
Penerbit : Bentang
Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : September 2015
Tebal : xx + 328
halaman
ISBN :
978-602-291-058-9
Perensensi: Naufil Istikhari Kr, Aktif di Lingkaran
Metalogi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber www.nu.or.id