Terma ”Islam Nusantara” sebenarnya membutuhkan penjelasan
sederhana. Islam dan Nusantara adalah dua kata yang masing-masing mempunyai
makna dan kedua kata tersebut digabungkan untuk membentuk frase. Maka jadilah
rangkaian Islam Nusantara yang memperlihatkan hubungan erat antara bagian yang
diterangkan-menerangkan (Ramlan, 1985) meski tanpa menimbulkan makna baru.
Dalam ilmu bahasa Indonesia, jenis penggabungan kata ini
disebut aneksi. Karena masuk dalam kategori aneksi, maka terma Islam Nusantara
sama saja dengan terma Islam di Nusantara, atau Islam dan Nusantara. Maka
pilihan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atas terma Islam Nusantara itu cukup
logis dan ilmiah dengan pertimbangan tidak menyalahi pakem ilmu bahasa
Indonesia; dan tidak merusak arti Islam dan Nusantara.
Maka, mengkritik terma Islam Nusantara dengan pendekatan
ilmu linguistik Arab teori nisbat tentu mengadaada. Sekali lagi, kata Nusantara
dalam rangkaian Islam Nusantara– dalam berbagai tulisan para pemikir NU–itu
bukan untuk kategorisasi. Nusantara dalam konteks linguistik hanya menerangkan
teritori di mana penghuninya memeluk agama Islam. Terma Islam Nusantara
bukanlah bentuk pengembangan agama Islam. Islam Nusantara itu paham dan praktik
keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan
realita dan budaya setempat (Afifuddin Muhajir, 2015). Spirit Islam Nusantara
adalah praktik berislam yang didahului dialektika antara teks-teks syariah
dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal.
Perspektif ushul fiqh, proses dialektika antara teks-teks
syariah dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal itu sesuatu yang
lumrah terjadi, bahkan pasti terjadi mengingat Islamituajaranyanguniversal. Dan
Islam Nusantara adalah wujud Islam yang universal mengingat ia telah dipeluk
oleh ratusan juta penduduk Nusantara dan telah melahirkan ratusan ribu produk
hokumdankhazanahkeislaman lain.
Bertolak dari pemahaman di atas, tak perlu takut Islam
terdistorsi gara-gara muncul terma Islam Nusantara, atau bahkan nanti menyusul
muncul terma Islam Amerika, Islam Eropa, Islam Australia, Islam Afrika, dan
lainnya.
Konsep Islam Nusantara sangat berperan penting dalam
mempersatukan bangsa Indonesia. Bila kita lihat sejarah, pada 1960-an meletus
pemberontakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo (Jawa Barat), Daud Beureuh
(Aceh), dan Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan). Meski awalnya sebagian sejarawan
menganalisisnya sebagai persoalan politik, namun dalam perkembangannya
ditemukan bahwa ada aspek teologis dalam pemberontakan itu, yaitu
mempertentangkan antara nasionalisme dan Islam.
Terma Islam Nusantara mempromosikan kedamaian Indonesia yang
telah berlangsung dalam skala yang lebih luas dan rentang waktu yang sudah
ratusan tahun.Menilik ajaran Islam yang berkembang di Indonesia, masyarakat
muslim Indonesia bukan lahan subur bagi aksi kekerasan yang mengatasnamakan
agama (Azyumardi Azra, 2015). Di antara buktinya, pada Muktamar di Banjarmasin
tahun 1927 Nahdlatul Ulama menyerukan ”perang kebudayaan” melawan penetrasi
budaya Barat yang dibawa Belanda.Di susul pada tahun 1928 di mana NU memutuskan
untuk memberikan perlindungan dan memperjuangkan keadilan secara kolektif dan
masif bagi masyarakat Nusantara yang merasa terancam (dokumen PBNU, 1928).
Islam Nusantara menjadi ‘benteng’ di hadapan pemikiran
wahabisme. Dan terbukti, Wahabisme tidak laku di Indonesia, meski telah dipasarkan
sejak awal 1920-an. Memang benar kelompok Wahabi bukan teroris tapi satu digit
lagi berpotensi jadi teroris karena mereka dilengkapi referensi, tinggal berani
atau tidak (Said Aqil Siradj, 2014). (dw/LiputanIslam.com)
Dikutip dari tulisan Muhammad Sulton Fatoni (Wakil
Sekretaris Jenderal PBNU, Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama
Indonesia, Jakarta) yang dimuat di Koran Sindo.