Oleh KH Afifuddin Muhajir
Istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak
perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak.
Alasan penolakan mungkin adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan dengan
keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu
Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kadang suatu perdebatan terjadi tidak karena perbedaan
pandangan semata, tetapi lebih karena apa yang dipandang itu berbeda. Tulisan
singkat ini mungkin menjadi jawaban bagi mereka yang menolak “Islam Nusantara”
menurut apa yang saya pahami dan saya maksudkan dengan istilah tersebut.
Seperti jamak diketahui, Al-Quran sebagai sumber utama Agama
Islam memuat tiga ajaran. Pertama, ajaran akidah, yaitu sejumlah ajaran yang
berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi
Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ajaran
akhlak/tasawuf, yaitu ajaran yang berintikan takhalli dan tahalli, yakni
membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan
sifat terpuji. Ketiga, ajaran syariat, yaitu aturan-aturan praktis (al-ahkam
al-‘amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku mukallaf, mulai dari
peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.
Yang pertama dan kedua sifatnya universal dan statis, tidak
mengalami perubahan di manapun dan kapanpun. Tentang keimanan kepada Allah dan
hari akhir tidak berbeda antara orang dahulu dan sekarang, antara orang-orang
benua Amerika dengan benua Asia. Demikian juga, bahwa keikhlasan dan kejujuran
adalah prinsip yang harus dipertahankan, tidak berbeda antara orang Indonesia
dengan orang Nigeria. Penipuan selalu buruk, di manapun dan kapanpun. Dalam
segmen keyakinan dan tuntunan moral ini, Islam tidak bisa di-embel-embeli
dengan nama tempat, nama waktu, maupun nama tokoh.
Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus
dipilah antara yang tsawabith/qath’iyyat dan ijtihadiyyat. Hukum-hukum
qath’iyyat seperti kewajiban shalat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa,
keharaman berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami
perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah. Shalatnya orang Eropa
tidak berbeda dengan salatnya orang Afrika. Puasa, dari dahulu hingga Kiamat
dan di negeri manapun, dimulai semenjak Subuh dan berakhir saat kumandang azan
Maghrib. Penjelasan Al-Quran dan As-Sunah dalam hukum qath’iyyat ini cukup
rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya
tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali
antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan
pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.
Sementara itu, hukum-hukum ijtihadiyyat bersifat dinamis,
berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu,
dan kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi
sekarang atau kelak bisa jadi boleh. Al-Quran dan As-Sunah menjelaskan
hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan mengemukakan prinsip-prinsipnya,
meski sesekali merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad supaya sejalan
dengan tuntutan kemaslahatan lingkungan sosial.
Para tabi’in berpendapat bahwa boleh menetapkan harga
(tas’ir), padahal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melarangnya. Tentu
saja mereka tidak menyalahi As-Sunah. Perbedaan putusan itu karena kondisi
pasar yang berubah, yaitu bahwa pada masa Nabi SAW harga melambung naik karena
kelangkaan barang dan meningkatnya permintaan, sedangkan pada masa tabi’in
disebabkan keserakahan pedagang. (Nailul Authar, V, 220) Di sini, para tabi’in
membedakan antara-apa yang disebut ekonomi modern dengan-pasar persaingan
sempurna dari pasar monopoli atau oligopoli misalnya.
Para tabi’in juga memfatwakan larangan keluar menuju masjid
untuk perempuan muda karena melihat zaman demikian rusak, banyak laki-laki
berandal yang sering usil hingga berbuat jahil, (Al-Muntaqa Syarḥul Muhadzdzab,
I, 342) padahal Nabi sendiri bersabda-seperti dalam riwayat Abu Daud (لا تمنعوا
اماء الله مساجد الله، ولكن ليخرجن تفلات. رواه أبو داود عن أبي هريرة.)-supaya
jangan sampai perempuan dilarang keluar menuju masjid.
Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar
menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika,
Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman,
pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil
dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi
Nusantara. Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap
bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai
tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an. Ini persis sama
dengan nama FPI misalnya, saya benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak
bermaksud bahwa selain mereka bukan pembela Islam.
*) KH Afifuddin Muhajir, Katib Syuriyah PBNU. Guru utama
fiqih dan ushul fiqih di Ma’had Aly Pesantren Salafiyah As-Syafi’iyyah,
Sukorejo, Situbondo. Tulisan ini dikutip dari situs jejaring Ma’had Aly
setempat. Ia baru saja meluncurkan karya Fathul Mujib sebagai syarah kitab
Taqrib.