Fikih Bela Negara Indonesia

Fikih Bela Negara Indonesia

Bentuk Negara Indonesia
Fungsi Negara adalah sebagai wadah atau sarana untuk menjamin, melayani, melindungi, mengarahkan, seluruh yang ada di dalamnya, baik  rakyat (warga negara), keutuhan wilayah, termasuk
keseluruhan harta kekayaan yang terdapat dalam wilayah negara tersebut, mempertahankan kestabilan pemerintah, serta menjaga kedaulatan. Hanya dengan adanya negara itulah masyarakat bisa hidup tenteram, sejahtera dan damai.
Dengan demikian, pembentukan negara merupakan  sarana penting untuk menjamin kehidupan manusia menuju maslahah ammah yang selaras dengan tujuan syariat, yaitu terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (al-ushulul-khamsah), yang meliputi: keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa (dan kehormatan), keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan, dan keselamatan hak milik.
أَمَّا الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِي اْلأَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ وَلَسْنَا نَعْنِيْ بِهَا ذَلِكَ فَإِنَّ جَلْبَ الْمَنْفَعَةِ وَدَفْعَ مَضَرَّةٍ مَقَاصِدُ الْخَلْقِ وَصَلاَحُ الْخَلْقِ فِيْ تَحْصِيْلِ مَقَاصِدِهِمْ لَكِنَّنَا نَعْنِيْ بِالْمَصْلَحَةِ الْمُحَافَظَةِ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّرْعِ وَمَقْصُوْدُ الشَّرْعِ مِنَ الْخَلْقِ خَمْسَةٌ وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِيْنَهُمْ وَنَفْسَهُمْ وَعَقْلَهُمْ وَنَسْلَهُمْ وَمَالَهُمْ فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَذِهِ اْلأُصُوْلِ الْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ وَكُلُّ مَا يَفُوْتُ هَذِهِ اْلأُصُوْلَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا مَصْلَحَةٌ
Artinya: “Maslahah pada asalnya merupakan ungkapan tentang penarikan manfaat dan penolakan bahaya. Dan yang kami maksud dalam statemen ini bukan makna tersebut. Sebab penarikan manfaat dan penolakan bahaya adalah tujuan dan kebaikan manusia dalam merealisir tujuan mereka. Tetapi yang kami maksud dengan maslahah adalah proteksi (perlindungan) terhadap tujuan hukum (syara). Tujuan hukum bagi manusia itu ada lima; yaitu memproteksi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Segala tindakan yang menjamin terlindunginya lima prinsip tujuan hukum itu disebut maslahah. Sedangkan semua tindakan yang mengabaikan lima prinsip tujuan tersebut itu disebut kerusakan (mafsadah) dan menolak kerusakan itu juga maslahah.
Oleh karena mendirikan negara itu sejalan dengan tujuan syariat, maka dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah menegaskan bahwa mendirikan negara hukumnya menjadi wajib.
Walaupun hukum mendirikan negara ini wajib, tetapi tidak ada ketentuan seperti apa negara harus dibentuk, apakah berdasarkan syariat Islam atau berdasarkan kesepakatan warga negara atau rakyat. Nabi sendiri tidak memproklamirkan negara Madinah sebagai negara Islam. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintahan yang beliau pimpin dijalankan atas prinsip-prinsip Islam dan menegakkan syariat Islam secara utuh dan sempurna. Salah satu kebijakannya tertuang dalam mitsâq al-madînah (Piagam Madinah) menyangkut hubungan antara warga negara yang multiagama yang di dalamnya hidup secara bersama antara umat Islam dengan kelompok Yahudi, Nasrani dan pengikut kepercayaan lain. Mengingat mulianya eksistensi negara, maka ketaatan rakyat pada negara yakni membela, melindungi dari serangan musuh serta menjaga nama baik serta martabatnya adalah wajib.
Dalam konteks Indonesia, maka sesuai dengan rumusan yang telah disepakati bersama para pendiri negara ini termasuk di dalamnya para ulama terkemuka,  maka dibentuklah negara bangsa yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya.  Para ulama sepakat untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, karena seseungguhnya nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam Pancasila merupakan pengejawantahan dari berbagai nilai-nilai keislaman (ahlussunnah wal jamaah). Menurut para ulama bahwa negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai Darul Islam (Daerah Islam) bukan Daulatul Islam (Negara Islam), karena mayoritas penduduk di wilayah ini beragama Islam. Sebagaimana telah diputuskan  dalam Muktamar NU yang XI di Banjarmasin pada tanggal 19 R. Awal 1355/9 Juni 1936 memutuskan bahwa Indonesia adalah Darul Islam.  Dengan merujuk pada kitab Bughyatul-Mustarsyidin, dengan ibarat sebagai berikut:
(مَسْأَلَةُ ي) كُلُّ مَحَلٍّ قَدَرَ مُسْلِمٌ سَاكِنٌ بِهِ ... فِيْ زَمَنٍ مِنَ اْلأَزْمَانِ يَصِيْرُ دَارَ إِسْلاَمٍ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُهُ فِيْ ذَلِكَ الزَّمَانِ وَمَا بَعْدَهُ وَإِنْ انْقَطَعَ امْتِنَاعُ الْمُسْلِمِيْنَ بِاسْتِيْلاَءِ الْكُفَّارِ عَلَيْهِمْ وَمَنْعِهِمْ مِنْ دُخُوْلِهِ وَإِخْرَاجِهِمْ مِنْهُ وَحِيْنَئِذٍ فَتَسْمِيَّتُهُ دَارَ حَرْبٍ صُوْرَةً لاَ حُكْمًا فَعُلِمَ أَنَّ أَرْضَ بَتَاوِي بَلْ وَغَالِبَ أَرْضِ جَاوَةَ دَارُ إِسْلاَمٍ لِاسْتِيْلاَءِ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَيْهَا قَبْلَ الْكُفَّارِ.
Semua tempat di mana muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam yang syariat Islam berlaku pada pada masa itu dan pada masa sesudahnya, walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan daerah kafir harbi hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa tanah Betawi dan bahkan sebagian besar tanah Jawa adalah daerah Islam karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir.
Dengan rujukan yang mirip, Syeikh Sulaiman dalam Khasiyah al-Bujairamy alal Manhaj, mengatakan,
إن كل محل قدر أهله فيه على الإمتناع من الحربيين صار دار الإسلام
Begitu juga pendapat al-Ramliy dalam Nihayatul Muhatj mengatakan bahwa Darul Islam:
وهي ما في قبضتنا وإن سكنها أهل ذمة أو عهد
Dasar Negara Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia telah disepakati dan diterima sebagai pedoman hidup bersama yang mengikat semuanya dalam menjalankan hidup bermasyarakat, beragama dan bernegara. Maka menjadi penting memahami Pancasila dan hubungannya dengan Indonesia sebagai Darul Islam. Oleh karena itu Muktamar NU XXVII tahun 1984 di Situbondo menegaskan  bahwa:
Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia.
Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
Sebagai kondisi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.
Para ulama pendiri bangsa ini menerima Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah sebagai strategi untuk menjalankan ajaran Islam secara merdeka bagi umat Islam di Indonesia tanpa ada disintegrasi bangsa, tanpa perang, tanpa kekerasan dan lainnya. Sebagaimana Rasulullah SAW menerima perjanjian damai Hudaibiyah yang seolah merugikan Islam, namun kenyataannya disanalah titik balik menyebarnya Islam tanpa perang dan senjata.
عَنِ الْبَرَاءِ - رضى الله عنه - قَالَ لَمَّا اعْتَمَرَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى ذِى الْقَعْدَةِ، فَأَبَى أَهْلُ مَكَّةَ أَنْ يَدَعُوهُ يَدْخُلُ مَكَّةَ، حَتَّى قَاضَاهُمْ عَلَى أَنْ يُقِيمَ بِهَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَلَمَّا كَتَبُوا الْكِتَابَ كَتَبُوا: هَذَا مَا قَاضَى عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ. قَالُوا لاَ نُقِرُّ بِهَذَا ، لَوْ نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ مَا مَنَعْنَاكَ شَيْئًا ، وَلَكِنْ أَنْتَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ . فَقَالَ « أَنَا رَسُولُ اللَّهِ، وَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ » . ثُمَّ قَالَ لِعَلِىٍّ « امْحُ رَسُولَ اللَّهِ ». قَالَ عَلِىٌّ لاَ وَاللَّهِ لاَ أَمْحُوكَ أَبَدًا. فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْكِتَابَ ، وَلَيْسَ يُحْسِنُ يَكْتُبُ، فَكَتَبَ هَذَا مَا قَاضَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ لاَ يُدْخِلُ مَكَّةَ السِّلاَحَ، إِلاَّ السَّيْفَ فِى الْقِرَابِ، وَأَنْ لاَ يَخْرُجَ مِنْ أَهْلِهَا بِأَحَدٍ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يَتْبَعَهُ، وَأَنْ لاَ يَمْنَعَ مِنْ أَصْحَابِهِ أَحَدًا، إِنْ أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ بِهَا (رواه البخارى)
“Diriwayatkan dari al-Barra’, ia berkata: Ketika Nabi SAW melakukan umrah di bulan Dzulqo’dah, maka penduduk Makkah menolak jika Nabi Masuk ke Makkah, hingga Nabi menyampaikan keputusan kepada mereka untuk menetap di Makkah selama 3 hari. Ketika mereka menuliskan surat, mereka menulis: Ini adalah keputusan Muhammad Rasulullah. Mereka (Kafir Quraisy) berkata: Kami tidak mengakui dengan nama ini. Andai kami tahu bahwa kau adalah utusan Allah, maka tentu kami tidak akan menghalangimu sedikitpun. Tetapi kau adalah Muhammad bin Abdullah. Nabi Saw bersabda: Aku adalah utusan Allah dan aku adalah Muhammad bin Abdullah. Lalu Nabi berkata kepada Ali: HAPUSLAH KALIMAT RASULULLAH! Ali berkata: Tidak. Demi Allah saya tidak akan menghapusmu selamanya. Kemudian Rasulullah mengambil kertas perjanjian, padahal beliau tidak bisa menulis, lalu beliau menulis: Ini adalah keputusan Muhammad bin Abdullah. Muhammad tidak akan masuk ke Makkah dengan pedang kecuali pedang yang tertutup, tidak membawa keluar seorangpun dari penduduk Madinah jika ia ingin mengikutinya, dan tidak melarang seorang pun dari sahabat Nabi jika ingin menetap di Makkah. (HR al-Bukhari)
Jelas sekali di dalam hadis ini Nabi Muhammad memerintahkan Sayidina Ali bin Abi tholib menghapus gelar formal Nabi Muhammad berupa kalimat RASULULLAH, sementara Sayidina Ali tidak mau menghapusnya, maka Nabi Muhammad sendiri yang menghapusnya. Bagi ulama Indonesia, hadis ini memberi pemahaman bahwa gelar formal dalam agama bukan segala-galanya yang harus dibela mati-matian. Justru tidak adanya gelar formal Islam, umat Islam bisa leluasa keluar-masuk kota Makkah, menyebarkan Islam, mengenalkan Rasulullah Saw dan sebagainya.
Demikian halnya dengan Indonesia, bagi ulama, Pancasila bukan agama, oleh karenanya selamanya Pancasila tidak akan menggantikan Islam, ulama menerima Pancasila. Dengan itu, umat Islam di Indonesia bisa melakukan ajaran Islam kesehariannya dengan aman, tanpa rasa takut. Umat Islam juga bisa masuk ke wilayah provinsi atau kabupaten yang Islam minoritas dan mungkin bahkan asalnya sama sekali tidak ada Islamnya, seperti Medan, Manado, Ambon, Papua (dahulu), sehingga perlahan di daerah sana banyak yang memeluk Islam.
Bagi kelompok Islam yang ingin negara Indonesia dirubah dengan sistem Syariat Islam akan berani membela mati-matian, meski setelah itu akan berlanjut perang dan disintegrasi bangsa, bahkan mungkin perang saudara seperti yang terjadi di Timur Tengah. Namun bagi ulama mayoritas di Indonesia akan memilih opsi perjanjian damai, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, meski diprotes oleh Sayidina Umar bin Khattab:
عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ كُنَّا بِصِفِّينَ فَقَالَ رَجُلٌ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُدْعَوْنَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ . فَقَالَ عَلِىٌّ نَعَمْ . فَقَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ اتَّهِمُوا أَنْفُسَكُمْ فَلَقَدْ رَأَيْتُنَا يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ - يَعْنِى الصُّلْحَ الَّذِى كَانَ بَيْنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَالْمُشْرِكِينَ - وَلَوْ نَرَى قِتَالاً لَقَاتَلْنَا ، فَجَاءَ عُمَرُ فَقَالَ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ أَلَيْسَ قَتْلاَنَا فِى الْجَنَّةِ وَقَتْلاَهُمْ فِى النَّارِ قَالَ « بَلَى » . قَالَ فَفِيمَ أُعْطِى الدَّنِيَّةَ فِى دِينِنَا ، وَنَرْجِعُ وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا . فَقَالَ « يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّى رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِى اللَّهُ أَبَدًا » . فَرَجَعَ مُتَغَيِّظًا ، فَلَمْ يَصْبِرْ حَتَّى جَاءَ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَلَنْ يُضَيِّعَهُ اللَّهُ أَبَدًا . فَنَزَلَتْ سُورَةُ الْفَتْحِ (رواه البخارى)
 Diriwayatkan dari Abu Wail, ia berkata: Kami berada dalam Shiffin, ada seseorang berkata: Apakah kamu melihat orang-orang yang diajak kembali ke al-Quran. Lalu Ali menjawab: Ya. Sahal bin Hunaif berkata: Berprasangkalah pada diri kalian. Sungguh saya melihat diri kami dalam perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh Nabi Saw dan orang musyrikin. Jika kami berpendapat perang maka kami akan berperang. Kemudian Umar berkata: Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah? Bukankah orang yang terbunuh diantara kami ada di surga dan yang terbunuh dari mereka ada di neraka? Nabi menjawab: Ya. Umar berkata: Dimanakah saya meletakkan kehinaan dalam agama kita? Dan kita kembali sebelum Allah memberi keputusan diantara kita. Nabi Saw bersabda: Wahai putra Khattab. Saya adalah utusan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan saya selamanya. Umar lalu kembali dengan amarah dan tidak bisa sabar hingga ia datang kepada Abu Bakar, Umar berkata: Wahai Abu Bakar, Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah? Abu Bakar berkata: Wahai putra Khattab. Muhammad adalah utusan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad selamanya. Maka turunlah surat al-Fath (HR al-Bukhari)
 Maslahat atau nilai plus yang dipilih oleh Rasulullah dalam perjanjian damai ini adalah sebagai berikut, seperti yang disampaikan oleh Imam an-Nawawi:
قَالَ الْعُلَمَاء : وَالْمَصْلَحَة الْمُتَرَتِّبَة عَلَى إِتْمَام هَذَا الصُّلْح مَا ظَهَرَ مِنْ ثَمَرَاته الْبَاهِرَة ، وَفَوَائِده الْمُتَظَاهِرَة ، الَّتِي كَانَتْ عَاقِبَتهَا فَتْح مَكَّة ، وَإِسْلَام أَهْلهَا كُلّهَا ، وَدُخُول النَّاس فِي دِين اللَّه أَفْوَاجًا ؛ وَذَلِكَ أَنَّهُمْ قَبْل الصُّلْح لَمْ يَكُونُوا يَخْتَلِطُونَ بِالْمُسْلِمِينَ ، وَلَا تَتَظَاهَر عِنْدهمْ أُمُور النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا هِيَ ، وَلَا يَحِلُّونَ بِمَنْ يُعْلِمهُمْ بِهَا مُفَصَّلَة ، فَلَمَّا حَصَلَ صُلْح الْحُدَيْبِيَة اِخْتَلَطُوا بِالْمُسْلِمِينَ ، وَجَاءُوا إِلَى الْمَدِينَة ، وَذَهَبَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى مَكَّة ، وَحَلُّوا بِأَهْلِهِمْ وَأَصْدِقَائِهِمْ وَغَيْرهمْ مِمَّنْ يَسْتَنْصِحُونَهُ ، وَسَمِعُوا مِنْهُمْ أَحْوَال النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُفَصَّله بِجُزْئِيَّاتِهَا ، وَمُعْجِزَاته الظَّاهِرَة ، وَأَعْلَام نُبُوَّته الْمُتَظَاهِرَة ، وَحُسْن سِيرَته ، وَجَمِيل طَرِيقَته ، وَعَايَنُوا بِأَنْفُسِهِمْ كَثِيرًا مِنْ ذَلِكَ ، فَمَا زَلَّتْ نُفُوسهمْ إِلَى الْإِيمَان حَتَّى بَادَرَ خَلْق مِنْهُمْ إِلَى الْإِسْلَام قَبْل فَتْح مَكَّة فَأَسْلَمُوا بَيْن صُلْح الْحُدَيْبِيَة وَفَتْح مَكَّة ، وَازْدَادَ الْآخَرُونَ مَيْلًا إِلَى الْإِسْلَام ، فَلَمَّا كَانَ يَوْم الْفَتْح أَسْلَمُوا كُلّهمْ لِمَا كَانَ قَدْ تَمَهَّدَ لَهُمْ مِنْ الْمَيْل ، وَكَانَتْ الْعَرَب مِنْ غَيْر قُرَيْش فِي الْبَوَادِي يَنْتَظِرُونَ بِإِسْلَامِهِمْ إِسْلَام قُرَيْش ، فَلَمَّا أَسْلَمَتْ قُرَيْش أَسْلَمَتْ الْعَرَب فِي الْبَوَادِي . قَالَ تَعَالَى : إِذَا جَاءَ نَصْر اللَّه وَالْفَتْح وَرَأَيْت النَّاس يَدْخُلُونَ فِي دِين اللَّه أَفْوَاجًا (شرح النووي على مسلم - ج 6 / ص 241)
 “Ulama berkata: Maslahat yang timbul atas perjanjian damai ini adalah sesuatu yang tampak dari buahnya yang indah dan manfaat yang nyata, yang berujung pada penaklukan kota Makkah, dan semua penduduknya memeluk Islam dan orang-orang masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong. Sebab sebelum terjadinya perjanjian damai para penduduk Makkah tidak pernah berkumpul dengan umat Islam dan tidak tampak kepada mereka perilaku-perilaku Nabi Saw yang nyata, serta tidak ada yang menjelaskan kepada mereka secara terperinci. Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah, mereka berbaur dengan umat Islam, mereka datang ke Madinah dan umat Islam berkunjung ke Makkah. Mereka berkumpul bersama keluarga, kawan dan lainnya. Mereka mendengar dari para sahabat tentang perilaku Nabi secara mendetail, mukjizat yang nyata, tanda kenabian yang jelas, kepribadian yang bagus, perilaku yang indah dan mereka sering menyaksikan secara langsung. Maka hati mereka mulai condong pada iman hingga banyak dari mereka bergegas dalam Islam sebelum penaklukan kota Makkah. Maka mereka telah masuk Islam antara perjanjian damai Hudaibiyah dan penaklukan Makkah. Orang yang lain pun bertambah condong ke dalam Islam. Ketika hari penaklukan kota Makkah, maka mereka telah masuk Islam semua, sebab mereka telah memiliki bekal terhadap Islam. Sementara orang Arab yang di pedalaman selain Quraisy, mereka masih menunggu orang Quraisy masuk Islam. Dan ketika orang Quraisy masuk Islam maka orang-orang Arab pedalaman masuk Islam. Allah berfirman: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. (Syarah Muslim, Imam Nawawi 6/241)
Dengan demikian, Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai langkah wujudnya perdamaian di Indonesia baik antar pulau, suku dan agama, telah sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW.

NKRI Sebuah Muahadah (Kesepakatan)
Perlu diketahui bahwa Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Islam memberikan kewenangan kepada umatnya untuk merancang dan mengatur sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa memberikan perlindungan rakyat untuk mengamalkan ajaran agamanya dan mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan.
Bagi bangsa Indonesia yang memiliki latar belakang kebhinekaan sangat kompleks, bahkan barangkali yang paling kompleks di dunia, baik secara sosial budaya, agama, etnisitas juga demografis, tekad persatuan ini sunguh mulia. Persatuan ini tidak mudah dipertahankan kecuali dengan semangat persaudaraan yang tinggi dari semua pihak, sebagaimana telah dicontohkan para pendiri bangsa dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil muahadah (perjanjian luhur) kebangsaan di antara anak bangsa pendiri negara ini. NKRI dibentuk guna mewadahi segenap elemen bangsa yang sangat mejemuk dalam hal suku, bahasa, budaya dan agama. Sudah menjadi kewajiban semua elemen bangsa untuk mempertahankan dan memperkuat keutuhan NKRI. Oleh karena itu, setiap jalan dan upaya munculnya gerakan-gerakan yang mengancam keutuhan NKRI wajib ditangkal. Sebab akan menimbulkan mafsadah yang besar dan perpecahan umat, karena “upaya menghindari kerusakan harus diutamakan daripada upaya mendatangkan maslahah“.
دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Umat Islam tidak boleh terjebak dalam simbol-simbol dan formalitas nama yang tampaknya islami, tetapi wajib berkomitmen pada substansi segala sesuatu. Dalam ungkapan yang populer di kalangan para ulama dikatakan:
اَلْعِبْرَةُ بِالْجَوْهَرِ لَا بِالْمَظْهَرِ
“Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan lahiriah”
Dengan demikian, sudah seharusnya bagi bangsa Indonesia ini selalu merujuk pada  Pancasila dalam merumuskan berbagai hal. Dengan demikian orang atau kelompok, baik atas nama agama atau atas nama ideologi lain yang  menolak Pancasila sebagai ideologi Negara dan menolak Mukadimaah UUD 1945 sama dengan membubarkan Negara Republik Indonesia, karena itu tindakan itu digolongkan sebagai bughat (subversive) yang harus dicegah kehadirannya. Tidak hanya itu para Ulama NU juga menegaskan bahwa upaya mengubah pengertian Pancasila juga tergolong tindakan subversive yang tidak boleh dilakukan.
 Kewajiban Rakyat Kepada Negara dan Pemerintah
Manusia atau rakyat sebagai subyek dalam negara memiliki posisi yang sangat penting, karena pada dasarnya negara beserta pemerintahannya dibentuk oleh rakyat. Rakyat dengan kesadarannya menyerahkan amanah kepemimpinan itu kepada pemerintah untuk mengatur dan mengelola Negara, sehingga berbagai kebutuhan rakyat akan terpenuhi. Baik kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani. Dengan demikian kekuasaan penuh sebuah Negara ada di tangn rakyat, tetapi rakyat harus mematuhi berbagai peraturan demi tercapainya cita-cita bersama. Hal ini sesuai dengan keterangan Surat an-Nisa ayat 59 yang memerintahkan manusia (rakyat) untuk mematuhi pemimpin (pemerintah) yang tidak lain adalah bagian dari rakyat itu sendiri. 
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Lalu jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah)Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisa: 59)
Oleh karena tugas utama bagi rakyat adalah kesetiaan kepada pemerintah. Kesetiaan merupakan harga mati. Bukan demi keluhuran pemerintah, tetapi demi tercapainya cita-cita bersama  dan kemajuan Negara. Sebuah hadits menerangkan
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةٌ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Barangsiapa yang meninggal, tanpa pernah melakukan baiat (janji loyal pada pemimpin), ia mati secara jahiliyah.” (HR. Muslim)
Baiat berarti janji setia untuk selalu  سمعا وطاعة kepada pemimpin dalam suka dan duka, dan di pihak lain, pemimpin berkompeten untuk menegakkan hukum dan prinsip-prinsip ajaran dan selalu berjalan di atas rel kebenaran dan keadilan dengan berdasar kitab Allah dan sunnah Rasulullah. Dalam istilah modern disebut dengan konstruk sosial (الفقه الإجتماعي).
Kalau ketaatan terhadap Negara bersifat mutlak, sebaliknya kesetiaan rakyat kepada pemerintah tidaklah buta. Kesetiaan itu hendaknya selalu dipertimbangkan, karena seringkali pemerintah menghianati kepercayaan yang diberikan oleh rakyat kepadanya. Jika demikian kesetiaan itu perlu ditinjau kembali. Hadits Riwayat Muslim menerangkan
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Umat muslim wajib mendengarkan dan taat (kepada pemimpin), kecuali diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat maka tidak ada kewajiban mendengarkan dan taat”
Artinya, loyalitas dan ketaatan rakyat kepada pemerintah hanya terbatas pada permasalahan yang bersifat positif dan tidak melanggar tatanan syariat. Apabila terbukti pemerintah telah jauh melenceng dari tatanan syariat atau dengan jelas-jelas memerintahkan rakyat untuk taat dalam kemaksiatan hingga taraf kekufuran yang nyata maka, disinilah rakyat harus menyiapkan pemerintahan yang baru. Dengan kata lain, rakyat sebagai penguasa Negara berhak mengganti pemerintahan tersebut, dan tidak wajib lagi mentaatinya. Hadits Ubadah bin Shamit, dia berkata:
دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعناه فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال (إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان)
Dua hadits tersebut member garis tegas tentang kapan kita wajib taat kepada pemerintah dan kapan tidak wajib. Garis dan kriteria itu berbasis pada materi instruksi dan aturan yang datang dari pemerintah, yaitu sepanjang materi instruksi bukan maksiat kepada Allah wajib ditaati. Hadits kedua juga member pedoman kepada kita tentang kepan pemimpin boleh dimakzulkan atau kapan pemerintah boleh dikudeta? Yaitu, ketika pemimpin atau pemerintah telah memperlihatkan perilaku atau kebijakan yang mengandung kekufuran yang jelas dan nyata berdasarkan argumentasi Agama yang kuat. Selama hal ini tidak terjadi, kudeta dan pemakzulan tidak boleh terjadi.
Pelarangan terjadinya pemakzulan terhadap pemimpin sebelum sampai pada ambang batas tersebut mengandung arti bahwa Islam mengakui keabsahan pemerintahan yang dipimpinnya dan tetap punya hak ilzam (otoritas) yang mengikat seluruh rakyatnya. Sebagai ganti dari upaya pemakzulan, yang harus dilakukan oleh rakyat terhadap pemimpin yang tidak becus adalah melaksanakan amar makruf nahi mungkar, taushiyah, nasihat, serta kritik membangun.  Mengomentari hadits kedua di atas, Imam al-Nawawiy berkata:
ومعنى الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا محققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فأنكروه عليهم وقولوا بالحق حيث ما كنتم وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين -- إلى أن قال: ..... وقال جماهير أهل السنة من الفقهاء والمحدثين والمتكلمين لا ينعزل بالفسق والظلم وتعطيل الحقوق ولا يخلع ولا يجوز الخروج عليه بذلك بل يجب وعظه وتخويفه للأحاديث الواردة في ذلك
Mengenai tata cara mengingatkan dan menasehati pemerintah atau pemimpin Rasulullah saw telah memberikan pelajaran kepada kita dengan cara menarik tangannya dan berbicara empat mata. Demikian diterangkan dalam hadits al-Hakim
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ يَأْخُذ بِيَدِه فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ (رواه الحاكم و ابن أبي عاصم في السنة عن عياض بن غنم(
Maka makna rakyat dalam pandangan Negara Pancasila haruslah mentaati pemerintah secara mutlak, kecuali jika pemerintah mengajak kepada kemaksiatan. Maka rakyat harus menggunakan hak untuk menegur dan menasihatinya dengan cara yang santun. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw.