MTQ: Lahir dari Rahim NU


Kelahiran MTQ dan Pandangan Masyarakat

MTQ sudah dikenal di Indonesia sejak 1940. Kegiatan ini bermula dari Jam’iyyah al-Qurra’ wa al-Huffadz, sebuah lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama yang mewadahi para qari, qariah, dan penghafal Alquran. 

Saat Menteri Agama dijabat K.H. Muhammad Dahlan, Musabaqah Tilawatil Quran tingkat nasional mulai dilembagakan dan edisi pertamanya digelar pada 1968 di Makassar.

Selanjutnya Menteri Agama bersama K.H. Ibrahim Hossen, K.H. Zaini Miftah, dan Prof. Dr. H.A. Mukti Ali mendirikan Yayasan Ihya Ulumuddin pada 23 Januari 1970. Setahun kemudian yayasan ini merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), yakni perguruan tinggi yang secara khusus menghafal dan mempelajari Alquran.

MTQ tingkat nasional digelar setiap tahun dengan penyelenggaraan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Selama 26 tahun diadakan, kegiatan ini telah melahirkan beberapa qari yang populer, seperti Muammar Zainal Asyikin dan Chumaidi.

Tanggapan masyarakat Muslim di Indonesia atas penyelenggaraan MTQ secara umum positif. Mereka melihat kegiatan ini sebagai syiar dakwah yang harus didukung dan dilestarikan.

M. Quraish Shihab, yang sempat menjadi Menteri Agama di pengujung pemerintahan Orde Baru, menulis dalam Lentera Al-Quran(2008) bahwa MTQ merupakan tradisi baik yang dampak positifnya dapat dirasakan di tingkat nasional maupun internasional.

Sementara Agus Ahmad Safei dalam Sosiologi Dakwah: Rekonsepsi, Revitalisasi, dan Inovasi (2016) menyebut Musabaqah Tilawatil Quran merupakan media syiar dakwah bagi masyarakat luas agar terdorong secara bersama-sama membaca, mendalami, dan mengamalkan kandungan Alquran di level dan lingkungan masing-masing.