Corona dan kelas sosial

*Tulisan keren.*
Oleh: Saprillah (Kepala Balai Litbang Agama Makassar)

Kita sepakati saja secara sederhana, bahwa  masyarakat terbagi dalam dua kelas sosial yang besar; kelas menengah dan kelas miskin. Kategori ini diturunkan dari analisis kelas Marxisme yang sangat populer itu. Borjuis dan proletar. Agama memperkenalkan istilah si kaya dan si miskin.

Kategori ini, boleh saja, diperdebatkan batasannya. Tetapi, kali ini, saya ingin menggunakannya untuk melihat respons dua kelas sosial yang berbeda terhadap virus Covid-19.

Faktanya, Covid-19 adalah penyakit kelas menengah. Kelompok yang tertular dan menularkannya pertama kali, adalah warga kelas menengah.

Virus ini menyebar melalui relasi internasional kelompok elit. Atau, paling tidak, adalah mereka yang telah pulang dari perjalanan internasional seperti umrah. Pasien-pasien awal bertipikal ini.

Sebagai contoh, pasien 01 dan 02 di Indonesia, adalah seorang seniman tari di Indonesia yang cukup terkenal di kalangan komunitas seni di Indonesia. Ia terpapar oleh koleganya dari Jepang.

Menariknya, dalam kasus pasien 01 dan 02, pembantu rumah tangganya negatif. Contoh ini semakin terlihat benar ketika menteri perhubungan juga terpapar, plus sejumlah berita di media yang menyebutkan, orang-orang dari warga kelas menengah yang terpapar. Di Sulawesi Selatan,  begitu juga polanya.

Nah, yang panik dan merespon dengan semangat adalah, juga kelas menengah. Teriakan “social distancing” atau “lock down” adalah teriakan kelas menengah.

Bahasa asing yang digunakan semakin menegaskan watak kelas menengahnya. Mereka saling mengingatkan untuk ‘menjauhi’ virus ini dengan mengubah tindakan sosial dari intim menjadi berjarak.

Kampanye social distancing bergema di kalangan sesama kelas menengah. Gerakan sunyi dan pendekatan spiritual yang bersifat individual juga menggema dari kelas menengah.

Para agawaman kelas menengah pun kompak untuk meniadakan Salat Jumat. Tujuannya jelas,  hifdzun nafs, tentu yang dimaksud adalah nafs kelas menengah.

Tampak dengan jelas, bahwa kelas menengah adalah kelompok sosial yang paling rawan, dan sekaligus paling ketakutan menghadapi virus ini.

Gerakan ini tampak cukup sukses di kalangan kelas menengah. Kampus, sekolah, kantor, bahkan masjid ditutup. Mall, hotel, dan warkop tempat kelas menengah berkumpul mulai sepi. Bahkan,  Mall Panakukang Makassar sudah merilis pemberitahuan penutupan sementara.

Tanpa perintah tutup pun, mall pasti tutup. Pengunjung mereka adalah kelas menengah yang sedang mengurung diri di rumah. Justru mereka akan mengalami kerugian besar apabila memaksakan tetap buka. Mereka akan kesulitan untuk menanggung beban operasional tanpa dibarengi pemasukan. Pilihan tutup adalah pilihan sangat rasional.

Kelas Menengah

Dasar kelas menengah. Gerakan social distancing mulai dibarengi dengan panic buying, memborong segala keperluan untuk mencukupi hidup mereka selama 14 hari. Masker, hand sanitizer, vitamin c ludes dari pasar.

Para kelas menengah memburu semua resources untuk menyelamatkan diri tanpa memedulikan warga kelas bawah.

Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki, mereka ‘mengurung diri’ di rumah untuk tujuan memutus mata rantai penyebaran virus.

Para kelas menengah ini kemudian tampil di media sosial sebagai pejuang dan petarung dengan cara tidur, dan bersenda-gurau dengan keluarga. Kalau bosan, menonton Youtube dan membuat status heroik di Facebook.

Kelas menengah tanpa sadar menciptakan dan memelihara ‘suasana horor’. Satu data tambahan positif covid segera dialirkan melalui berbagai Grup Whatsapp. Suasana horor semakin tercipta, dan warga kelas menengah semakin ketakutan.

Sikap kelas menengah yang sedang cari selamat ini terancam dengan sikap acuh kelompok kelas bawah. Kaum proletar ini sama sekali tidak terpengaruh dengan virus Covid. Suasana perkampungan tempat saya tinggal tetap berlangsung ‘normal’.

Virus ini tidak mengubah perilaku sosial untuk mengurung diri. Sebagian dari kelas bawah ini justru menertawakan ketakutan kelas menengah terhadap virus ini. Mengapa kelas bawah terlihat santai? Bagi mereka, virus Covid ini adalah penyakit elite. Dan, para elit itu tidak banyak bergaul dengan rakyat kecuali untuk kepentingan yang bersifat politis.

Jika jawaban dari virus ini adalah social distancing, maka mereka pasti selamat. Bukankah jarak sosial (social distance) sudah lama terjadi? Kaum kelas menengah tidak pernah benar-benar menjalin hubungan sosial kecuali untuk kepentingan politik, ekonomi, dan ritual keagamaan.

Bukankah sebagai kelas menengah, waktu kita sudah tersita oleh kesibukan yang kita ciptakan sendiri melalui rekayasa sistem ekonomi kapitalisme? Bukankah kita hanya bertemu dengan tetangga atau orang miskin ketika mereka datang menawarkan sayuran, ikan, atau undangan pernikahan, akikah, dan kematian?

Kelas Bawah

Alasan lain, warga kelas bawah sudah lama hidup dalam kekhawatiran karena ekonomi. Ancaman untuk kelaparan dan tidak mendapatkan penghasilan adalah ancaman klasik, yang sudah mereka rasakan bertahun-tahun.

Untuk bertahan hidup, warga kelas bawah ini sudah terbiasa ‘berdamai’ dengan penyakit yang ada dalam tubuh. Demam, flu, batuk, tb, asalkan masih bisa berkeringat dan mengangkat batu, mereka pasti keluar rumah. Tinggal di rumah sama saja mempercepat kematian.

Pilihan satu-satunya adalah keluar rumah dan mengais di tengah ketidakpastian. Jadi, ketika kampanye social distancing mulai menggema dari kelas menengah, mereka hanya tertawa dan mengumpat.

Kira-kira begini suara hati mereka, woi kalian minta kami tetap di rumah dengan segala bahasa asingmu untuk menyelamatkan jiwa kalian tetapi kami sendiri akan mati di rumah, siapa yang peduli kami?

Jadi, apabila warga kelas menengah ini benar-benar menginginkan social distancing berjalan, hal yang perlu dilakukan bukanlah stay at home saja tetapi juga mengaktifkan jaminan sosial.

Setiap warga kelas menengah harus bergerak untuk memastikan satu keluarga miskin tidak meninggal dunia karena kelaparan dalam kurun waktu social distancing dengan cara menjamin hidupnya.

 Jika egoisme kelas masih bertahan dengan memperhatikan keselamatan sendiri, maka apa yang bisa menahan kelas bawah untuk tetap di rumah sambil menahan perut kelaparan? Jangankan untuk membeli masker dan hand sanitizer yang harganya membumbung tinggi. Membeli beras saja mereka belum tentu bisa.

Bisakah sekarang saatnya kita kampanyekan, “Mari berbagi. Selamatkan hidup mereka untuk menyelamatkan hidupmu!”

Ayo bergerak! (*)

Strategi Melawan Corona

Nuris Alfan Fikri:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2663926657224902&id=100008227817040

*HERD IMMUNITY DAN KONSEKUENSI*

Maju mundur saya mau nuliskan ini. Sudah sejak dua hari lalu. Takut disalah artikan. Karena teori dan pilihan skenario ini berat. Nampaknya gak ada pilihan lain.

Kemarin saya gak memproduksi tulisan apa-apa. Diam. Banyak diskusi dengan seorang Mahasiswa Doktoral di Univ Pisa Italia. Diskusi juga dengan sahabat yang lagi nemenin istrinya S3 di Belanda. Bincang juga dengan Dokter yang lagi ambil Sub Spesialis di Kobe Jepang. Simpulannya sama : Herd Immunity.

Sebelum saya menuliskan skenario ini. Saya ijin menyampaikan disclaimer dulu. Saya orang awam. Bukan ahli apa-apa.

Latar belakang pendidikan sempet kuliah engineering. Sempat doank. Jadi tulisan saya boleh dikritik, karena saya bukan virolog, bukan juga dokter klinis, atau expert di bidang corona. Jadi dalam membaca tulisan saya, jangan begitu percaya. Tulisan orang awam. Biasa aja.

Saya menulis ini karena dorongan banyak temen-temen. Saya menyadari punya kemampuan menulis. Maka niatnya membantu orang lain mudah faham. Maka saya menulis, agar kemudian kita memahami jalan keluar dari kabut gelap kedepan.

Bombardir pertanyaannya selalu sama.

Menurut ente kapan Rend ini berakhir?
Vaksin bakalan bener ada atau nggak?
Ini jalan keluarnya kira-kira bagaimana ya?

Dan seterusnya.

Pertanyaan itu yang membuat saya tenggelam dalam berbagai literatur ilmiah. Dalam dan luar negeri. Hingga website resmi corona virus yang berbahasa Italia itu saya coba terjemahkan satu-satu istilahnya di grafik. Capek memang.

Pertanyaan itu pula yang menggiring kepala saya pada satu skenario paling mungkin di Indonesia : Herd Immunity.

*

Agar kita bisa memahami tentang pilihan sulit ini, ijinkan saya membahas tentang apa yang dilakukan Wuhan, Korsel dan Italia. Versus dengan apa yang dilakukan Iran.

Di Wuhan, Korsel dan Italia, skenario Lockdown terbukti berhasil. Karena memang warganya dan pemerintahnya punya kapasitas.

Warganya punya tabungan untuk hidup kedepan. Warganya teredukasi. Hampir semua connected. Jadi komunikasi keputusan negara mudah.

Beda kayak di negeri ini, masih ada yang belum terjangkau internet. Adapun punya smartphone dan internet, aplikasinya joget. Gak bisa akses info ilmiah.

Pemerintah Cina dan Italia juga punya sumber dana. Ngasih diskon. Ngasih bantuan. Menjaga supply pangan.

Bukan berarti Indonesia gak punya dana. Ada. Tapi gak bisa untuk segini banyak orang.

Konsep lockdown ini seperti "menghapus file". Anda seperti pukul nyamuk satu-satu.

Virus ini makhluk yang butuh inang. Butuh reservoir untuk hidup. Butuh agen. Butuh nempel di makhluk hidup agar dia bisa eksis.

Maka virus tanpa inang akan mati. Tanpa menempel di inang ia akan selesai. Begitu teorinya. Waktu bertahan tanpa inang berbeda pendapat antar ilmuwan. Gak akan saya bahas.

Wuhan, Korsel, Italia, menerapkan pola ini : virus pada manusia dipaksa mati dengan anti bodi. Virus diluar tubuh manusia dibiarkan mati, hilang, atau dibersihkan.

Yang positif di isolasi. Yang sakit berat di rawat.

Yang nampak tidak bergejala juga di test massal. Untuk dicari yang positif yang mana. Begitu positif, di isolasi lagi.

Kenapa? Karena menjadi carrier tanpa gejala inilah yang menjadi biang gak selesainya sebaran kasus.

Maka Wuhan dan Italia sangat ketat dengan lockdown. Kalo warga korsel, tanpa disuruh pun sudah teratur lockdown. Mirip Jepang.

Mereka tahan semua orang didalam rumah. Karena andai yang didalam rumah gak ditest, virus akan mengalami masa inkubasi hingga 14 hari. Bakal mati sendiri. Apalagi Wuhan menjalani lockdown 2 bulan.

Wuhan secara strategi sebenarnya menahan interaksi sosial. Lalu membiarkan yang sebenarnya positif walau tidak dites memiliki antibodi dengan sendirinya.

Begitu juga yang dilakukan di Italia. Di lock. Diberesin satu demi satu. Hingga targetnya zero casses per day seperti Wuhan.

Secara garis bessr begitu. Hingga Wuhan hari ini memulangkan dokter-dokternya. Menutup rumah sakit darurat. Dan sudah 3 hari ini zero case covid-19. Mereka sudah statement menang a

tas corona.

Strateginya begitu. Total lockdown. Semua di isolasi di rumah. Disiplin.

Rumus ini akan buyar kalo yang satu nau di isolasi sementara yang lain masih keluyuran. Bubar dah skema lockdown.

*

Sekarang kita ke negeri ini, kita buka mata dan hati ya. Saya sampaikan ini murni pendapat atas masalah kemanusiaan. Sentimen politik kita bahas nanti. Bukan saatnya.

Begini...

Ramai di linimasa ini, sahabat dominan menyerukan lockdown. Menganggap bahwa skenario Wuhan dan Italia bisa kita lakukan.

Dari apa yang saya lihat hari ini - semoga saya salah - Total Lockdown bukan skenario kita. Kecuali cuma slowdown soci distancing, bubarin keramaian. Itu masih bisa. Tapi kalo ngekep warga di rumah. Hmmm.. Susah.

Lockdown itu membutuhkan jumlah petugas yang cukup. Di Italia, polisi mondar-mandir, yang keluar tanpa keperluan didenda ratusan euro. Cek aja linimasa. Banyak beritanya.

Itu aja sudah pake polisi, terjadi puluhan ribu pelanggaran. Masih aja keluar.

Lalu kita lihat di Indonesia. Jelas sulit

Bisa dibayangkan polisi kita nahan masyarakat gak keluar rumah. yang keluar di denda. Ditilang aja ngamuk kok. Apalagi didenda untuk sekedar keluar rumah. Wah.. Chaos.

Belum lagi, di Wuhan dan Italia, mereka punya solusi, kalo diam di rumah, stay at home, work for home, makan mereka terjamin. Di Indonesia rada repot.

Di kita, kalo gak keluar rumah, makannya gimana? Seriusan ini.

Saya nulis begini bukan berarti besok Anda langsung ngumpul-ngumpul dan keluar rumah. Arah tulisan says gak kesitu.

Saya cuma ingin buka mata kita semua. Lockdown kayak Wuhan dan Itali, untuk negeri dengan sosio kultur kayak Indonesia. Gak bisa.

Rame kan di berita, udah jelas jadi suspect, malah bantu-bantu nikahan tetangga. Ditelpon sama dinkes untuk ngontrol, malah ngakunya di rumah, padahal jalan-jalan.

Itu cuma ngisolasi 1 orang aja, kita gak sanggup lho. Asli. Apalagi 271 juta jiwa di hold. Atau Jabodetabek aja deh, 25 jutaan warga, di hold gak boleh keluar rumah kompak. Gak bisa. Beneran.

Menutup event-event perkumpulan insyaAllah bisa. Meniadakan gathering ibadah bisa. InsyaAllah. Tapi kalo total lockdown. Apalagi bahasanya lockdown antar daerah. Nampak resiko sosialnya besar dan ini juga yang kayaknya ada di fikiran Pak Jokowi.

Maka bisa dilihat di Iran. Mereka masih terus aktivitas. Adanya yang terjangkit covid-19 dan sakit berat, ya mereka hadapi. Nanti saya jelaskan di tulisan berikut, kenapa Iran begitu.

*

Keadaan diatas membuat skenario "pukul nyamuk satu-satu" gak mungkin jalan.

Kita gak bisa paksa warga didalam rumah. Kita gak bisa membersihkan pergerakan.

Akan tetap terus terjadi pergerakan massa, walau kecil. Padahal yang bergerak bisa jadi sudah positif covid-19 namun tanpa gejala apa-apa. Ini yang membuat skenario lockdown buyar.

Belum lagi dengan slowdown nya Jakarta. Dan status Jakarta menjadi episenter pendemi. Membuat banyak warga jabodetabek mudik ke kampung halaman.

Panah-panah merah sudah menyebar ke daerah. Ini seperti anak-anak muda Lombardi yang mudik ke Italia selatan. Persis.

Intinya skenario Lockdown sulit jalan.

Lalu bagaimana mengakhiri wabah ini?

Satu dua expert sudah mulai bicara. Walau malu-malu. Kecuali menteri pertahanan Israel yang pada akhirnya bicara tentang ini juga : Herd Immunity. Termasuk PM Inggris Pak Borris.

Begini,

Virus yang menjangkiti tubuh akan diserang oleh antibodi ini. Inilah tafakur mendalam kita hari ini, antibodi kita menyusun bahan baku serangan untuk virus covid-19. Khusus untuk si dia saja.

Maka muncul angka 14 harian, atau kurang, dimana antibodi kita menyusun serangan ke covid. Hingga antibodi yang khusus dibentuk untuk covid terbentuk.

Maka setelah terbentuk antibodi alami covid, tubuh kita kebal covid. Secara teori, tidak lagi bisa dijangkiti covid-19. Mudah-mudahan teorinya bener.

Nah, Ketika sudah cukup banyak masyarakat yang terjangkiti covid-19, akan terbentuk "sekawanan" manusia yang sudah kebal covid-19. Dan disaat itulah terbentuk namanya Kekebalan Kawanan : Herd Immunity.

Coba deh, buka video-video yang viral tentang melandaikan kurva. Kan disitu

 sudah diberitahu, bahwa pada akhirnya semua orang akan terjangkit. Tinggal kecepatan lonjakan yang gejala berat saja. Itu yang diperlambat.

Ikhtiar social diatancing kita akan kesitu arahnya. Melandaikan kurva. Memberikan waktu bagi paramedis untuk melayani yang sakit berat. Jangan sampai okupansi rumah sakit gak cukup. Maka jangan sampai yang positif covid dan gejala berat jumlahnya puluhan ribu atas satu waktu.

Teori Herd Community ini berat untuk disampaikan. Secara ilmiah, 60%-70% masyarakat akan terjangkit. Dan kemudian mayoritas yang bertahan akan membentuk antibodi alami.

Di Wuhan, mungkin gak butuh sampai 60-70 persen. Karena mereka total lockdown. Mereka sampai semprot kota pake disinfektan 2 hari sekali. memang targetnya bunuh virus. Bisa jadi juga mereka sudah nemu vaksin. Sudah di shot ke sebagian besar populasi. Itu juga bikin Herd Immunity.

Italia juga nampak cara memeranginya sama. Total Lockdown.

Namun lihatlah Iran, mereka nampaknya pake teori ini, biarkan semua terpapar pada akhirnya. Mereka gak punya kapasitas untuk lockdown. Yang ada tinggal gali kuburan massal di Qom. Ini fakta.

Nampak Iran sudah memahami tracknya. Berharap Her Immunity.

Iran menjadi parah karena adanya embargo dari US, yang membuat alat-alat medis kurang. Iran sampai mau minjem ke IMF untuk perawatan. Skenario paparan maksimal memang butuh persiapan.

Walau skenario terpapar xepat tidak kita pilih, melihat kondisi negeri dan perilakunya, inilah yang sebenarnya akan kita hadapi.

**

Saya secara pribadi berharap, slowdown dan social distancing yang kita lakukan sekarang akan memperlambat penularan, memberikan waktu pada fasilitas kesehatan untuk bersiap. Tapi tidak bisa mencegah penularan pada semua.

Adapun waktu yang terus berjalan, semoga bisa menjadi buying time untuk menunggu vaksin.

Sampai di titik ini, Anda pembaca mungkin merasa saya mendoakan yang buruk untuk negeri. Sama sekali tidak. Ini ulasan ilmiah dari studi literatur saja. Bahwa begitulah wabah berakhir. Hampir semua orang terjangkit dan membentuk antibodi alami.

Semoga sampai disini hati tetap dingin dan optimis. Karena ini baru setengah tulisan. Berikutnya saya akan menuliskan tentang konsekuensinya.

*

Target saya menulis ini adalah... agar kita sebagai anak bangsa bisa memitigasi konsekuensinya.

Karena inilah yang saya bisa rasakan dan simpulkan. Walau mudah-mudahan salah. Her Immunity ini skenario negeri kita.

Maka konsekuensi pertama adalah "bersiap terpapar"

Slowdown di rumah ini harus menjadikan kita pribadi yang sehat jasmani dan batin. Karena paparannya cepat atau lambat akan segera datang. Apalagi si covid ini rada bandel, cepet nular.

Makan yang bergizi , perkuat imunitas tubuh, istirahat yang cukup, olahraga gerakkan tubuh, bantu tubuh menyiapkan metabolisme yang optimum, untuk memproduksi antibodi covid secara mandiri.

Untuk urusan ini sudah banyak yang menuliskannya. Saya gak mau nulis ulang. Silakan cari sendiri.

Termasuk persiapan batin, mulailah memaafkan diri sendiri, memaafkan orang lain, saling mendoakan. Kita perlu batin yang sehat untuk masa-masa ekstrim seperti ini.

*

Konsekuensi kedua adalah "mayoritas jadi carrier"

Dengan demografi anak negeri yang penuh anak muda. Secara statistik, masyarakat kita akan mengalami gejala ringan di anak muda. Bahkan tak bergejala.

Maka anak muda negeri ini akan dominan menjadi cariier virus.

Ini juga yang harusnya diedukasi mendalam. Bahwa positif covid-19 bukan seperti positif HIV. Ini ada diberita, begitu positif covid-19 malah kabur. Salah faham kayaknya. Butuh diedukasi.

Dengan simpulan ini, saya menyarankan bangun gerakan pisahkan manula dan anak muda. untuk usia 50 tahun keatas, jangan sampai berbaur dengan yang muda.

Inget gak, 60-70% harus terpapar virus agar terbentuk Herd Immunity.

Kita siasati saja. 60% yang terjangkit itu biar anak muda saja. Kemungkinan illnes beratnya kecil. Dibawah 10%. Begitu kata lietaratur ya. Cross cek aja. Gak maksud sok tau.

Ini juga termasuk pada resiko kerja. Untuk di rumah sakit misalnya. Dokter senior, konsulen senior, mundur aja

ke belakang meja. Kontrol dari jauh. Komando dari meja. Jadi penasehat dan pengarah ke dokter-dokter yang under 50. Seriusan ini. Bisa gak kira-kira. Atau etis gak kira-kira.

Karena kalo pola paparan mayoritas ini kena ke generasi elder negeri ini, ini yang membuat tingkat kematian tinggi seperti Italia.

Pada orang tua, pada masayikh itu terdapat kemuliaan dan kebaikan, kita sangat perlu keberadaan mereka untuk tetap sehat dan mendoakan kita. Mengarahkan. Dan menasehati.

Baca data yang jujur. China 2M populasi, Italia 60 juta Populasi. Angka kematian di Italia sudah melebihi Cina akan covid. Ini karena para manula gak segera dipisahkan dengan yang muda.

*

Konsekuensi ketiga "Siapkan Fasilitas Medis"

Angka ilmiahnya sudah ada. 60% Terjangkit. Mayoritas tanpa gejala.

20% gejala ringan. Bisa isolasi mandiri.

10% gejala berat yang dimana sepertiganya diprediksi meninggal. Maka muncul angka kematian 3%.

Coba simulasi aja. Gak nakut-nakutin, agar kita bersiap.

Barusan saya sudah ketik simulasi angkanya. Tapi saya gak tega. Jadi saya hapus lagi. Hitung saja sendiri ya.

Intinya,....

Jangan sampai kayak Italia hari ini, kaget gak ada tempat rawat. Padahal Italia ini negeri yang kesehatan gratis. Kesehatan ini jadi nomor 1 perhatian. Ujian memang. Kita doakan segera berlalu.

Akhirnya sibuk bangun tenda darurat. Sibuk nyari gedung untuk rumah sakit. Full sampe lorong-lorong kepake semua.

Kita jangan sampai kaget di akhir. Mumpung ada waktu, siapin aja dari sekarang.

Jangan nunggu intruksi pemerintah, sediakan aja secara swadaya dari arus bawah. Siapin bangunannnya. Bed nya. Pelan-pelan.

Dengan skenario terpapar 60% populasi, lebih baik mumpung ada waktu kita bersiap. Karena jumlah penduduk kita 4,5 kali Italia. Beneran.

Saya sudah teriak-teriak berkali-kali, kalo pendekatan pencegahan/preventif gak bisa, ya sudah fokus pengobatan.

Maka saya membaca langkah Pak Jokowi, beliau sebenernya menuju pada Herd Immunity.

"5 juta obat sudah dibeli"

Ini sudah langkah pengobatan. Adapun ceramah tentang pembatasan gerak, hanya normatif.

"Mohon pada pemerintah daerah untuk memperhatikan prosedur kesehatan"

Tafsirnya luas. Tapi kalo niat ngobatin, jelas, beliau impor obat. Jelas sudah arahnya.

Wisma Atlet towernya akan dijadikan rumah sakit darurat.

Ada pulau yang disiapkan jadi pulai isolasi.

Arah pemerintah ini nampak bersiap mengobati dan merawat ketimbang melockdown. Karena perhitungannya bisa jadi kita banyak anak muda, memang yang diharapkan antibodi alami anak negeri yang bekerja. Lalu selamatkan yang elder.

Maka konsekuensi ketiga ini perlu kita dalami.

Satu masjid satu rumah sakit darurat.
Pak Erick Tohir saja sudah calling relawan. Oprec relawan secara nasional. Ndak lama lagi akan banyak program wakaf dan infaq alat medis.

Memang kesitu arahnya. Virus akan memapar ke mayoritas anak bangsa. Biarkan Herd Immunity terbentuk dengan sendirinya.

Yang perlawanan antibodinya tanpa gejala ya alhamdulillah.

Yang sakit ringan-sedang bisa isolasi mandiri di rumah. Semoga rumahnya ada. repot kalo yg gak punya rumah, kamarnya gak cukup, perlu ada rumah isolasi tambahan.

Yang sakit berat, semoga fasilitas kesehatan kita bisa obati dan tanggulangi.

Dan semoga angka kematian rendah. Angka 8,5% death rate itu karena di kita belum banyak yang test covid. Kasihan Pak Jokowi, jadi bulan-bulanan data yang kurang representatif.

Saya yakin death rate kita kecil. Coba saja nanti mass rapid test. Akan banyak yang positif tanpa gejala. dan death rate akan kecil sekali.

*

Panjang ya.. Saya juga sampe keram ini nulisnya. Maaf.

Semoga Herd Immunity segera terbentuk untuk negeri ini.

Segera kita beraktifitas lagi.

Segera kita belanja lagi ke kaki lima, gerakkan ekonomi UMKM.

Segera kita wisata domestik lagi, lakukan economic transfer antar daerah.

Segera kita produksi apa-apa yang gak di impor lagi. Mumpung negeri orang lagi restart pabrik, mumpung gak ada yang berani ke Indonesia.

Segera kita bangun negeri, dunia lagi de-globalisasi. Sekat-sekar antar negara makin keras dan tebal.

Bagus aja itu mah... Kesempatan kit

a urus diri kita sendiri. Nanam bawang putih sendiri. Nanam padi sendiri. Bikin baju sendiri. Wassalam import. Ahlan wa sahlan kemandirian negeri.

Segeralah terbentuk wahai Herd Immunitiy.

URS

***

Tulisan ini adalah bentuk muhasabah keras untuk anak negeri, jika kita tidak bisa se serius Wuhan dan Italia, maka skenarionya akan menuju Herd Immunity dengan alami.

WARNING :
Yang mengcopy tulisan saya ke grup-grup WA, mohon sertakan link source utama, agar para pembaca dapat melihat dialektika diskusi di kolom komentar.

#AllahMahaKuat
#MomenKebangkitanNegeri
#HerdImmunity

Pengajian NU di Kota Industri ?

(Catatan bagus unt renungan kita semua)

Merebut Tafsir:  Benarkan kaum proletar kota meninggalkan NU?

oleh Lies Marcoes

“ Dulu seluas sawah-sawah di wilayah kami, seluas itu pula wilayah NU. Tapi sekarang, bersama menyusutnya sawah-sawah kami, yang ngaji NU hanya tinggal di pinggiran-pinggiran, atau mereka yang telah mapan dan ingin merawat ingatan tentang kampung halaman. Sementara  sebagian besar kaum buruh dipastikan  ikut  “ngaji sunnah” (Salafi)”.

Mungkin hipotesis salah seorang peneliti Rumah Kitab ini kelewat serampangan. Namun temuan-temuan bagaimana kaum perempuan buruh di pinggiran Jakarta itu begitu aktif dalam pengajian sunnah seolah mengkonfirmasi pernyataan itu. 
     
Siang tadi, saya mendengarkan paparan tiga lagi peneliti lapangan yang mengamati wilayah industri. Selama 10 minggu dan masih tersisa beberapa minggu mendatang, para peneliti itu  menyimak  denyut nadi kehidupan sehari-hari kaum pekerja perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik besar di wilayah penelitian mereka. Mereka mengamati  bagaimana perempuan pekerja atau mantan pekerja mendefinisikan tentang kehidupan mereka; mendeteksi apakah mereka mengalami penyempitan ruang-ruang kehidupan sosial ekonomi dan eksistensinya sebagai perempuan di era dan wilayah industri itu yang disebabkan oleh pandang-pandangan keagamaan yang semakin mengeras dan kaku atau oleh sikap yang makin intoleran kepada perempuan. Jawabannya masih sedang mereka dalami, tapi sejumlah indikasi menarik untuk direnungkan.

Satu peneliti berlatar belakang NU, dengan suara parau melaporkan, pengajian yang umumnya diikuti para buruh perempuan itu mayoritas - untuk tidak dikatakan semua yang mereka hadiri adalah “kajian sunah”. Kajian sunnah adalah kajian yang menunjuk kepada jenis kajian Salafi yang meyakini bahwa ajaran agama yang paling benar dan otentik adalah yang bersumber dari tradisi sunnah era Salaf yaitu suatu era yang paling dekat dengan masa Nabi.  Setiap hari dari Senin hingga Minggu terdapat puluhan “kajian sunah” di masjid-masjid kompleks, baik kompleks perumahan maupun mesjid perusahaan. Dalam tiap minggunya puncak kajian berlangsung hari Sabtu, mencapai 17 kajian untuk satu wilayah industri saja. Dan peneliti ini  memastikan dengan menunjuk satu daftar poster -poster kajian yang semuanya merupakan kajian sunnah Salafi.

Dalam kajian-kajian itu tema-tema yang dibahas  terjadwal dengan tetap. Terbanyak adalah membahas  tentang tauhid, penegasan tentang prinsip-prinip monotesme yang  ketat. Di titik ini dari penuturan mereka, keluar ragam istilah yang menerjemahkan prinsip tauhid murni yang mereka fahami. Kata “takut bid’ah” “ jangan sampai musyrik” atau ‘harus pakai rujukan yang jelas” menjadi penanda betapa hati-hatinya - untuk tidak dikatakan betapa tegangnya cara mereka beragama. Pengajian-pengajian mereka sangat serius, nyaris tak ada senda gurau tak ada model pengajian majelis taklim yang ditayangkan TV yang penuh gelak tawa yang juga menjadi ciri khas pengajian NU kultural. Memang, sesekali mereka juga ikuti pengajian model itu di mesjid umum milik pemerintah, namun setelah itu mereka akan segera ikut “taklim sunnah”.
Tema lain adalah  tentang praktik ibadah sehari-hari yang “benar” menurut ajaran sunah; cara berwudu yang benar, cara shalat yang benar, cara berpakaian yang benar, cara berkeluarga yang benar dan seterusnya. Meskipun kajian sunnah  umumnya menolak kajian tafsir (unsur rasionalitas penafsir dikhawatirkan mencederai ajaran Tauhid padahal  kebenaran terletak pada otentisitas teks kitab suci),  beberapa klub pengajian ini  melakukan kajian tafsir tertentu. Sudah barang tentu  kajian dengan tema khas perempuan menjadi tema paling banyak disajikan.   Dapat diduga isu perempuan yang paling banyak  adalah  kewajiban menggunakan  jilbab syar’i plus hijab.
Para perempuan itu mendapatkan informasi beragam kajian itu dari  media- media  online. Dengan HP mereka dapat mengakses ragam kajian dan kontennya. Dan dalam setiap aktivitas kajian itu mereka rajin menyimak, mencatat dan bertanya (melalui secarik kertas).

Pertanyaannya adalah, apakah kini kaum proletar kota tak lagi cocok dengan model pengajian-pengajian NU? Mengapa ngaji model  NU di wilayah yang dulunya basis NU sekarang menjadi pinggiran? Kajian sunah mereka gandrungi karena memberi jawaban-jawaban pasti: boleh  atau tidak boleh. Kehidupan mereka sebagai pekerja diatur oleh ritme dunia kerja yang sesuai irama detik menit dan jam.  Jenis kajian instan tampaknya sesuai dengan ritme kerja mereka sebagai kaum urban yang tenaganya sudah diperas habis. Mereka ingin mendapat hal yang pasti pasti saja dan tak lagi punya waktu untuk menyimak model kajian NU yang memberi pilihan-pilihan. Sebagai pendatang dari desa tak semua mereka kenal tradisi persantren,  mereka tak tertarik pada model ngaji  yang membahas kata per kata “utawi iki iku” khas kajian kitab kuning. Lebih dari itu mereka membutuhkan jawaban yang relevan dengan dunia mereka kini sebagai orang kota yang ingin punya patokan dalam hidup yang serba abu-abu.
Ini jelas tak lagi sama dengan ketika mereka di desa yang jadwalnya diatur oleh musim bertani atau oleh ritme ibadah serta mengikuti pengajian sebagai kegiatan komunal atau menjaga tradisi. Tesis kelahiran NU adalah untuk menjaga tradisi yang dikhayati kaum miskin perdesaan agrartis, namun  kini kaum miskin itu telah berpindah ke kota bersama menghilangnya sawah dan sumber ekonomi di desa. Kaum miskin itu kini ada di kota dan menjadi warga miskin kota yang tak lagi bergantung kepada dunia agrartis melainkan kepada industri.  Apakah perubahan basis itu tak ditangkap oleh NU melainkan oleh kaum Salafi?  Saya hanya ingin bertanya. Wallu’a’lam# Lies Marcoes 6 Maret 2020