Islam dan Islamisme

🏮 *Islam vs Islamisme*

*Syariat*
Apakah beda ?..
Islam dan Islamisme?....
sangat berbeda.
 perbedaan itu adalah :
*Islamisme*  merupakan gerakan yang berkeinginan untuk *memaksakan satu penafsiran agama (perlokusi islamisme menyebutnya dengan hukum syariat) kepada masyarakat* dan *penafsiran tersebut dipaksakan sebagai undang-undang negara* (perlokusi gerakan islamisme menyebutnya dengan *penegakkan syariat atau penegakkan khilafah untuk tegakknya syariat*)


Sedangkan

*Islam* memberikan peluang kepada para pemeluknya untuk *memberikan tafsir kepada agama Islam*


Ketua PC NU Australia & New Zeland, *Prof. Nadirsyah Hosen* dalam seminar Argumen Fiqh Kebangsaan, menyebutkan :

Dalam Fiqh, meniscayakan adanya perbedaan pendapat, sehingga tidak ada pemutlakan dalam fiqh. Perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli fiqh itu hal yang biasa dan lumrah dan tidak perlu sampai saling mengkafirkan apalagi menghalalkan darah hanya gara-gara beda fiqh. Bagi siapa saja yang belajar fiqh dan membuka-kitab-kitab fiqh semisal Bidayatul Mujtahidnya Ibnu Rusyd, Al Mughninya Ibnu Qudaimmah, Syarh Muhajabnya Imam Nawawi atau kitab lainya, disitu akan banyak diketemukan berbagai macam perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh.


Pemaksaan satu penafsiran untuk dipaksakan kepada umat yang dipaksakan sebagai konstitusi negara, dalam kenyataanya bertentangan dengan Islam itu sendiri, yang pada kenyataanya Islam memberikan ruang terbuka bagi penafsiran pemeluknya terhadap Islam.

Lagi Pula, tafsiran Islamisme yang akan ditegakkan itu juga confius, membingungkan, syariat mahdzab siapa yang akan ditegakkan... terlebih adanya pandangan ekstrim bahwa ibadah-ibadah mahdhah umat islam dianggap tidak absah bila syariat belum tegak diatas tatanan Khilafah atau berdirinya Negara Islam, karena pada kenyataanya tafsiran ini justru a historis jika ditinjau dari sejarah kenabian.

--------------
🇮🇩 *Jayalah Indonesia dengan Pancasila & Kebhinekaannya*

Islam dan Politik

#212, ISLAM, DAN POLITIK

Saya dari dulu menganggap gerakan #212 adalah gerakan politik bersampul agama. Kenapa gerakan politik? Karena jelas maksud dan tujuannya adalah politik. Dulu tujuannya menjegal Ahok. Kini semangatnya dipelihara melalui reuni untuk menjegal Jokowi. Kenapa bersampul agama? Karena yang terjadi sebenarnya adalah fronting: depannya agama, belakangnya politik. Bungkusnya ayat, isinya politik. Tidurnya di masjid, salatnya di jalan. Dengkur-nya di Istiqlal, jum'atannya di Monas. Podiumnya khotbah, isinya agitasi politik.

Apakah agama tidak boleh berurusan dengan politik? Tentu saja boleh, tinggal bagaimana bentuk relasinya. Dalam negara-bangsa majemuk seperti Indonesia, agama seharusnya menjadi sumber INSPIRASI politik. Nilai-nilai agama diambil sarinya, kemudian dibahasakan dalam idiom-idiom objektif yang bisa diterima semua orang seperti kesetaraan, keadilan, kejujuran, tepo seliro, dlsb. Dalam istilah Alm. Profesor Kuntowijoyo, ini disebut dengan objektivikasi. Agama sebagai INSPIRASI akan menjadi titik temu atau kalimatun sawa' (كلمة سواء).

Agama mulai menjadi masalah begitu diangkat menjadi ASPIRASI politik. Begitu agama masuk ranah aspirasi, hasilnya tidak lain adalah SEGREGASI. Apa yang sudah dipersatukan oleh ikrar politik (bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu), akan pecah kembali oleh agama. Jembatan sintesis agama dan negara ambrol. Setiap pemeluk agama ingin ajaran dan idiom agamanya diangkat dalam legislasi. Lahirlah kemudian Perda Syariah, Perda Injil, dll yang menyenangkan satu kelompok meresahkan kelompok lain. Keresahan menyemai bibit-bibit konflik. Konflik tinggal naik setingkat menjadi kekerasan. Kekerasan pintu masuk pertumpahan darah.

Anda mau bukti? Dua partai pemenang pemilu Mesir tahun 2011 adalah partai berbasis massa Ikhwan Muslimun (Hizb al-Hurriyah wal Adâlah) dan partai beraliran Salafi-Wahabi (Hizb al-Nour). Program pertama mereka, begitu menang pemilu, adalah amandemen Pasal 2 Konstitusi Mesir Tahun 1971. Pasal 2 Konstitusi Tahun 1971 berbunyi:

الإسلام دين الدولة، واللغة العربية لغتها الرسمية، ومبادئ الشريعة الإسلامية مصدر للتشريع

“Islam adalah agama negara, bahasa Arab adalah bahasa resmi, prinsip-prinsip syariah Islam adalah sumber legislasi.”

Di sini istilah yang digunakan adalah “prinsip-prinsip syariah”  (مبادئ الشريعة). Artinya bukan fikih an sich, tetapi ushul fiqh. Fikih itu produk hukum, ushul fiqh itu legal spirit-nya. Dalam kaca mata ushul fiqh, hukum yang sudah mengandung lima atau enam tujuan pokok agama atau الشريعة مقاصد yaitu melindungi jiwa, agama, akal, harta, keturunan, dan kehormatan itu sudah syar’i, tanpa harus distempel syariah. Jadi UU Lalu Lintas itu sudah syar’i, yang harus dipatuhi. Tidak boleh orang Islam yang mau menjalankan syari’at Islam atau syi’ar Islam—misal naik motor mau salat jum’at atau pengajian akbar—tidak pakai helm. Istilah lain yang digunakan adalah masdar lit tasyri’ yaitu sumber dalam proses legislasi. Artinya prinsip-prinsip hukum Islam menjadi inspirasi dalam pembentukan hukum. Inspirasi tidak sama dengan aspirasi.

Lantas apa yang dilakukan dua partai itu? Dengan suara besar di parlemen, mereka mengubah bunyi Pasal 2 menjadi:

الإسلام دين الدولة، واللغة العربية لغتها الرسمية، ومبادئ الشريعة الإسلامية المصدر الرئيسى للتشريع

Tidak ada yang diubah dari pasal ini, cuma ditambah kata الرئيسى yang artinya utama. Kini artinya menjadi:

“Islam adalah agama negara, bahasa Arab adalah bahasa resmi, prinsip-prinsip syariah Islam adalah sumber utama legislasi.”

Kata “utama” menonjolkan dominasi prinsip-prinsip hukum Islam sebagai sumber primer legislasi. Pengutamaan artinya segregasi terhadap sumber lain yang dianggap sekunder. Ini masih ditambah dengan Pasal 219 yang berbunyi:

 مبادئ  الشريعة  الإسلامية  تشمل أدلتها الكلية، وقواعدها الأصولية والفقهية، ومصادرها المعتبرة، فى مذاهب أهل السنة والجماعة

"Prinsip-prinsip syariat Islam memuat dalil-dalilnya yang menyeluruh, kaedah-kaedahnya yang pokok dan fiqhiyah, dan sumber-sumbernya yang diakui dalam madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Tambahan kata الرئيسى dalam artikel 2 dan penambahan artikel 219 adalah wujud aspirasi Islam yang berhasil dituangkan dalam legislasi. Apa yang kemudian terjadi? Masa terbelah dalam pro dan kontra. Referendum dilakukan. Hasilnya dimenangi kelompok pendukung perluasan syariat Islam dalam legislasi. Gelombang protes meluas, kerusuhan massa pecah.  Jenderal Abdel Fattah al-Sisi mengambil alih kekuasaan pada 3 Juli 2013. Massa pendukung dan penentang Presiden yang dikup, Muhammad Morsi, terlibat bentrok. Konstitusi Mesir dikembalikan ke naskah awal. Pasal 219 dihapus. Sepanjang berlangsungnya revolusi berdarah, ratusan korban meninggal, ribuan lainnya luka-luka. 

Alhasil, penonjolan aspirasi, meskipun dalam wujud kata-kata pendek, menimbulkan segregasi dan konflik berdarah. Ratusan nyawa melayang. Keamanan lenyap. Umat justru terkendala menjalankan syariat Islam. Kita bersyukur tidak mengalami gelombang Arab Spring. NKRI jadi contoh terbaik simbiosis Islam dan negara di saat negara-negara Arab sedang mencari bentuk dengan ongkos yang sangat mahal. Di sini negara tidak anti-agama, bahkan memfasilitasi pelaksanaan ajaran agama. Namun, negara tidak berdasar agama, karena masyarakatnya multiagama. Secara normatif, kedudukan mereka sederajat. Mereka semua warga negara yang sama kedudukannya di muka hukum. Semua boleh memilih dan dipilih dan berhak untuk tidak menjadi obyek dari ujaran kebencian: kafir! atau haram memilih pemimpin kafir! Sebab, dalam NKRI berdasar konstitusi, tidak ada idiom kafir! Kafir hanya ada di ranah privat masing-masing agama.

Toleransi semestinya dibangun dengan kesediaan setiap pemeluk agama menjadikan ajaran agamanya sebagai sumber etik dan moral, bukan aspirasi politik. Penonjolan aspirasi agama akan membuat bangsa ini tidak kunjung lepas landas, tersandera dalam urusan ideologi prinsip yang sebenarnya sudah tuntas pada tahun 1945. Kita masih ‘umek’ bertengkar simbol agama ketika negara lain sudah menemukan benua baru: benua maya yang isinya ICT (information and communication technology), artificial intelligent, dan big data analytics. Tanpa kesediaan menerima NKRI sebagai bentuk final perjanjian, Indonesia akan terus menjadi ma’mum masbuq dalam konstelasi peradaban dunia.

M Kholid Syeirazi

Sekilas Walisanga

Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa pada tahun 1404, mereka diantaranya:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur Negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat.


Nama asli beliau (syekh Subakir)
adalah SYEKH TAMBUH ALY BEN SYEKHBAQIR (SYEKH SUBAKIR) bin Abdulloh bin Aly bin Ahmad bin Aly bin Ahmad bin Abdulloh bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Aly bin Abubakar bin Salman bin Hasyim bin Ahmad bin Badrudin bin Barkatulloh bin Syafiq bin Badrudin bin Omar bin Aly bin Salman Alfarisiy Asshohabi Rodliyallohu anhu waanhum ajmain.

Memiliki spesialisasi di bidang Ekologi Islam. Beliau adalah cicit dari sahabat Nabi Muhammad saw, yaitu Salman Al-Farisi. Kemudian beliau menjadi utusan dari Sultan Muhammad 1, sebagai salah satu dari anggota wali songo angkatan pertama atau lebih dikenal sebagai  Syaikh Subakir berdakwah di daerah Magelang Jawa Tengah, dan menjadikan Gunung Tidar sebagai Pesantrennya

 Walisongo menurut periode waktu
Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1] majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:

Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).
Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).
Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).

Anotasi Lengkap atas Berbagai Karya Ulama Nusantara

Anotasi Lengkap atas Berbagai Karya Ulama Nusantara

Oleh: Rijal Mumazziq Z

Sejak wacana Islam Nusantara digaungkan, pro kontra terus berlangsung. Pihak yang kontra bahkan membuat gosip yang aneh-aneh dan tidak bertanggungjawab, bahwa Islam Nusantara adalah proyek liberalisasi, kalau shalat berbahasa daerah, kalau mati dibungkus kain batik, dsb. Isu murahan ini gencar dilancarkan sebelum Muktamar NU 2015 silam.

Anda pro atau kontra Islam Nusantara, silahkan. Eyel-eyelan soal maksud "Islam Nusantara" yang memubazirkan waktu juga silahkan. Itu urusan anda. Tapi, yang pasti, di tengah terpaan gosip ini, generasi muda NU terus berkarya dengan memperkokoh kajian seputar Islam Nusantara. Ada Mas Amirul Ulum yang banyak menulis biografi ulama Nusantara, ada juga Gus Nanal Ainal Fauz yang turut serta dalam kajian di bidang ini dengan menerbitkan karya-karya ulama kita melalui lembaga yang dirintisnya, Turats Ulama Nusantara.

Setelah Mas Zainul Milal Bizawi menulis "Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama Santri 1830-1945" yang mengupas jaringan para ulama Nusantara, di mana karya ini menjadi salah satu sumbangsih penting bagi kajian Islam Nusantara, Mas  Ahmad Ginanjar Sya'ban Sya'ban memperkokoh bidang ini dengan karya terbarunya, "Mahakarya Islam Nusantara: Kitab, Naskah, Manuskrip dan Korespondensi Ulama Nusantara".

Bagi saya, buku setebal lebih dari 600 halaman ini adalah salah satu karya terbaik yang membedah karya-karya ulama Nusantara di abad yang lampau, maupun karya ulama Arab yang mengupas ulama kita. Sebagai seorang filolog-santri, Mas Ginanjar dengan baik mengupas isi, menjelaskan riwayat dan genealogi keilmuan penulisnya, serta membedah konteks zaman saat sebuah karya ditulis.

Demikian pentingnya buku ini, saya menilainya sebagai embrio yang mulai tampak dalam mewujudkan "bibliografi karya ulama-ulama Nusantara", semacam ensiklopedi yang memberikan kita data sekaligus bentangan peta khazanah keilmuan ulama-ulama Nusantara. Penulis, yang merupakan alumni Lirboyo ini, punya kapasitas memadai untuk menjelajahi kekayaan intelektual ulama Nusantara. Dengan ketelatenan dia membaca, memberikan catatan, bahkan melakukan pembacaan secara kritis atas sebuah teks, baik yang masih berupa manuskrip, maupun yang sudah dicetak.

Misalnya, Mas Ginanjar mengupas kitab yang beranak pinak dalam kajian Madzhab Syafii di Nusantara. Diawali dengan kitab fiqh "As-Sirath al-Mustaqim" karya Syekh Nuruddin Arraniri, mufti Kesultanan Aceh. Kitab berbahasa Melayu klasik ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Syekh Abdurrauf Assinkili dengan karyanya, "Mir-at at-Thullab" yang juga berbahasa Melayu klasik.

Dua kitab di atas dikokohkan lagi kajian fiqhnya oleh Syekh Jalaluddin Asyi (Aceh) dengan karyanya, "Umdat al-Ahkam", yang disambut dan dilanjut dengan ulasan lebih luas lagi oleh ulama asal Banjarmasin, Syekh Arsyad al-Banjari melalui "Sabil al-Muhtadin" dan ulama asal Pattani, Thailand, Syekh Dawud Fatthani dengan "Sullam al-Mubtadi'"-nya. Semua kitab di atas ditulis menggunakan bahasa Melayu yang menjadi Lingua Franca kawasan Nusantara saat itu.

Berbagai karya berbahasa Melayu di atas kemudian disempurnakan lagi oleh murid Syekh Dawud Fatthani, Syekh Nawawi al-Bantani, dengan karyanya yang berbahasa Arab, "Nihayat Az-Zain", yang dilanjutkan oleh muridnya lagi, Syekh Mahfudz Attarmasiy dengan "Hasyiah at-Tarmasiy". Kitab berbahasa Arab ini juga disambut dan dilanjutkan dengan baik oleh kawan sejawatnya, yaitu Sayyid Utsman bin Yahya, Mufti Batavia, dengan karyanya, "Irsyad al-Anam" yang berbahasa Melayu dialek Betawi, dan Syekh Soleh Darat dengan "Al-Majmu'ah Asy-Syariah" yang berbahasa Jawa, dan dilanjutkan lagi oleh muridnya, Syekh Raden Mukhtar Natanegara Atharid Al-Bughury (Bogor) melalui kitabnya, "Kifayat al-Mubtadiin" yang berbahasa Sunda, dan seterusnya.

Karena merupakan anotasi atas lebih dari 100 kitab, maka berbagai penjelasan dalam buku ini menjadi semacam struktur rangka yang saling menopang membentuk bangunan Islam Nusantara.

Dengan mendaras berbagai karya ulama di dalam buku ini, kita dapat menemukan titik tumpu koneksi ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah sebagai bagian dari proses transmisi ajaran Islam, dan dinamika yang terjadi dalam proses transmisi ini. Misalnya, seorang murid Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, yaitu Syekh Mahmud al-Masri, menghimpun biografi ulama Nusantara abad 14 Hijri sekaligus guru-guru Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, melalui kitab "Tasynif al-Asma' bi Ijazah as-Syuyukh wa al-Sama'". Di dalam kitab ini terdapat sekira 30 ulama Nusantara yang peenah berkiprah di Masjidil Haram, di mana sebagian dari mereka sangat asing dan tidak populer di Indonesia. Untunglah, dengan karya itu, Syekh Mahmud al-Masri berhasil mendokumentasikan nama-nama ulama kita yang berperan penting dalam transmisi keilmuan di Haramain.

Melalui buku ini, kita semakin paham apabila Nusantara memiliki banyak ulama yang mencerahkan umatnya melalui karya tulis di berbagai bidang: nahwu, sharaf, fiqh, aqidah, tafsir, tasawuf, dan sebagainya. Bahkan, ulama sekaliber Syekh Khatib al-Minangkabawi sempat berpolemik dengan Syekh M Hasyim Asy'ari  mengenai Sarekat Islam. Hasil diskusi ini direkam dalam Tanbih al-Anam dan Kaff al-Awam.

Selain mengupas kitab, buku ini juga mengulas korespondensi antara ulama, catatan perjalanan haji seorang bangsawan Sunda, genealogi intelektual, tipikal khas naskah Islam Nusantara, hal ihwal tulisan "Kabikaj" yang dianggap jimat kitab, sampai ulasan mengenai buku kecil pemikiran Bung Karno yang diterbitkan di Kairo era Gamal Abd Nasser.

Dengan buku ini, kita semakin paham bahwa pasca Walisongo sampai era penjajahan tidak terjadi peristiwa fatrah intelektual, sebagaimana yang dicurigai selama ini. Sebab, ternyata dalam rentang waktu 500 tahun sejak Islamisasi Nusantara, ulama-ulama kita hadir mengisi ruang keilmuan dengan berbagai topik yang sangat dinamis.

Wallahu A'lam
----

Nasehat Taiwan untuk Mertua

Buat para wanita & pria yg sudah berstatus *MERTUA* atau *Calon MERTUA* harus di baca ya baik yg sdh punya mantu  maupun belum_.

*_10 nasehat yang diberikan oleh seorang Pengacara dari Taiwan untuk para mertua._*

*1.* Jangan bertahan pendapat bahwa kita harus tinggal bersama anak (laki) dan menantu.
Usirlah mereka (memang begitu bahasanya-趕出去), walaupun mereka hanya bisa mengontrak. itu adalah urusan mereka.

Suatu keindahan akan tercipta karena jarak yang jauh, akan menjamin hubungan yang lebih baik antara menantu dan mertua.

*2.* Jangan menganggap menantu perempuan anda sebagai *ANAK*, anggaplah dia sebagai istri dari anak anda. Dan hanya sebagai teman anda.

Anda boleh menganggap anak laki anda belum dewasa, tapi hormatilah menantu anda seperti dia se level (同輩) dengan anda.

Jika kamu memarahi dia satu patah kata, akan diingat oleh dia seumur hidup. Didunia ini, hanya mama dia sendiri yg boleh mengurusnya, anda tidak boleh.

*3.* Kalau menantu anda suka beli beli barang, suka lihat film seri korea, suka main hp, tidak mau cuci baju dan masak, juga tidak bisa menjaga kebersihan, dan tidak mau menata rumah. dan tidak mau menjaga anak.
Itu semua bukan urusan anda . Itu adalah urusan antara anak anda dan menantu anda.

*Ingat!!!* masalah dan urusan anak anda bukanlah urusan anda. Anak anda sudah dewasa mampu mengatur rumah tangganya sendiri.

*4.* Kalaupun harus tinggal bersama, haruslah bisa saling menghormati.

Jangan menyentuh barang-barang mereka. Jangan masuk kamar mereka tanpa ijin. Jangan mencuci pakaian mereka. Jangan membantu dan mendidik cucu. Anda harus mempunyai cukup waktu dan tenaga untuk memikirkan hal positif lain. Urusan mereka biarkanlah mereka mengatasinya, tak perlu anda terlalu merisaukan.

*5.* Jika mereka bertengkar, anggaplah tidak mendengar.

Jika anda bertengkar dengan pasangan anda, apakah anda suka mertua anda ikut campur? Maka... kalau anda ikut campur, itu aneh.

Kalau anak anda mengomel tentang istrinya, beritahukanlah tentang kebaikan istrinya dan kemudian lupakan.
Kalau menantu anda mengomel tentang suaminya, maka marahilah anak anda supaya bisa memperbaiki diri.

*6.* *Cucu anda adalah :* buah hati dr anak anda dan menantu anda. Bukan anda dan pasangan anda.

Pendidikan yang melampaui generasi....
(maksudnya, kakek dan nenek mendidik cucu) tidaklah terlalu bagus. Biarkanlah mereka mendidik anaknya sendiri.

Jangan sekali-kali merampas hak mereka untuk mendidik anaknya apalagi mencampurinya. Bagaimanapun cara mereka mendidik...dan tidak cocok  dengan anda, toh yg menanggung akibatnya adalah mereka sendiri. Anda hanya boleh sebatas memberi saran dan masukan kepada anak anda sebagai orangtua cucu anda.


*7.* Cucu anda bukanlah milik anda.

Cucu anda adalah buah hati dari anak dan menantu anda.
Jangan sekali-kali merasa anda berhak untuk melakukan segalanya kepada cucu anda, anda harus minta ijin terlebih dahulu kepada anak atau menantu anda.

*8.* Menantu tidak harus *berbakti* pada *ANDA.* (maksudnya anda tak perlu *MENUNTUT* ).

Yang harus berbakti pada anda adalah anak anda. Didiklah anak anda menjadi seorang yang bertanggung jawab, dan mampu membuat hubungan antara anda dan menantu anda menjadi harmonis.
*PESAN* saya, jika menantu anda berbuat *BAIK* terhadap anda, sering-seringlah *DISEBUT* dan jika anda berbuat baik terhadap menantu anda, segera *LUPAkan*.

*9.* Jika anak dan menantu anda mengurus perceraian di pengadilan. Janganlah datang.

Ini membuat anak anda seperti *'anak mama'.*
dan andapun tidak bisa berbuat apa-apa. Anda tidak bisa masuk kedalam ruang peleraian, anda hanya bisa menunggu diluar dengan gelisah.

*10.* Rencanakanlah kehidupan pensiun anda. Jangan membuat semuanya terlalu dititik beratkan pada anak anda.

*Perjalanan hidup sudah tinggal separoh, masih banyak hal baru yg menarik yg bisa dipelajari dan dikerjakan.*
*Adalah tugas anda untuk mengisi hari tua anda agar lebih berarti. Silahkan pakai harta anda dengan bijaksana sebelum anda meninggal. Jangan biarkan harta anda cuma menjadi warisan untuk anak dan anda tidak bisa menikmatinya.*

*Tolonglah ingat baik2 teman... kita yg sdh punya menantu perempuan maupun menantu laki2... kita jangan melakukan yg bukan haknya kita...*

jika kita mau menjadi *MERTUA* yg baik.

Engkau Bagian dari diriku

Engkau Bagian Dariku, dan Aku Bagian Darimu

Salah satu akhlak Rasulullah SAW adalah membuat siapapun merasa nyaman berbicara dan bergaul dengan beliau. Orang Arab Badui yang jauh-jauh datang  menemui beliau gemetaran saat berhadapan dengan Nabi. Untuk menenangkannya Nabi mengatakan, seperti direkam dalam Kitab Sunan Ibn Majah (hadis nomor 3303):

“aku bukan raja. Aku putra seorang perempuan yang juga senang makan daging dendeng (yang dikeringkan di bawah sinar matahari).”

Lihatlah bukan saja Nabi mengatakan bahwa beliau tidak perlu dihormati sebagaimana raja, tapi beliau juga mencari titik kesamaan antara tradisi Badui dengan apa yang dilakukannya. Dengan cara demikian, Badui itu merasa nyaman.

Pesona Sang Nabi memang luar biasa. Salah satu akhlak yang beliau contohkan adalah membuat semua orang merasa akrab. Ini menyebabkan kita kesulitan menentukan siapa sebenarnya sahabat beliau yang paling dekat.

Terhadap Sayyidina Abu Bakar ra beliau bersabda: “seandainya aku diperkenankan mengambil kekasih, tentu aku pilih Abu Bakar” (hadis nomor 447).

Di lain kesempatan Kitab Sahih Bukhari (hadis nomor 3430) menceritakan tatkala Rasul memutuskan pergi dalam perang Tabuk dan meminta Ali bin Abi Thalib ra tinggal di Madinah menjaga anak-anak dan perempuan yang tidak berperang, Sayyidina Ali tetap ingin pergi berperang, lantas Rasul menenangkannya:

‘Tidak inginkah kamu hai Ali memperoleh posisi di sisiku seperti posisi Harun di sisi Musa?” Rasul merujuk pada peristiwa Nabi Musa pergi menerima perintah Allah dan memercayakan urusan umat kepada Nabi Harun.

Tentang Sayyidina Umar bin Khattab ra, amat banyak riwayat yang menyebutkan keutamaanya. Kitab Sahih Bukhari (hadis nomor 80) menceritakan mimpi Rasul: “Ketika tidur, aku bermimpi meminum (segelas) susu hingga aku dapat melihat aliran air dari kukuku, kemudian aku berikan (sisanya kepada) ‘Umar”. Orang-orang bertanya; “Apa maknanya (susu tersebut)? Rasulullah menjawab: “Ilmu”.

Pernah terjadi rebutan hak asuh anak Sayyidina Hamzah yang gugur di perang Uhud. Ali mengambilnya dengan alasan, “dia anak perempuan pamanku”. Ja’far mengatakan, “Istriku itu bibinya anak perempuan ini.” Zaid tidak mau kalah dan mengatakan, “Dia anak perempuan saudaraku”. Kitab Sahih Bukhari (hadis nomor 3920) menceritakan bagaimana Rasul kemudian menengahi dengan membuat semua pihak merasa nyaman:

“Bibi adalah pegganti ibu” maka Rasul memberikannya kepada Bibi anak itu. Lantas Rasul berkata kepada Ali, “Engkau bagian dariku, dan aku bagian darimu.” Rasul berkata kepada Ja’far: “Akhlakku menyerupai akhlakmu”. Dan kepada Zaid, Rasul berkata: “Engkau saudara dan maula kami”. Semua menjadi senang dengan keputusan Nabi.

Mari yuk kita terus jaga akhlak kita agar kelak Nabi Muhammad berbisik mesra kepada kita:

“Engkau bagian dari umatku, akhlakmu menyerupai akhlakku dan engkaulah saudaraku”. Duh Gusti….

Shallu ‘alan Nabi….

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Link tulisan:  http://nadirhosen.net/kehidupan/ummat/246-engkau-bagian-dariku-dan-aku-bagian-darimu

Luasnya Ilmu


Borjuis

Ketika Kaum Borjuis Bicara Kebutuhan Kaum Proletar (Soal 50 ribu cukup 3 hari)

Kaum proletar memang biasa menjadi bahan politik bagi kaum borjuis untuk menerangkan soal nilai uang dan belanjaan, tanpa sadar kaum borjuis melakukan penghinaan kepada kaum proletar

Sejak kapan kaum borjuis menilai nilai uang dan belanjaannya? ketika mereka dengan santai keluar masuk restoran mahal, membeli kebutuhan puluhan bahkan ratusan juta hanya untuk penampilan, tinggal dirumah yang bukan kontrakan, pembantu dirumah dengan gaji UMP selalu standby melayani serta kemana-mana pulang dan pergi turun dari mobil milik pribadi

Sementara kaum proletar, setiap hari harus berpikir dan bertarung tentang hidup dan makan, bagaimana berpikir anak-anaknya yang berjumlah lebih dari tiga untuk tetap sehat karena kalau sampai sakit pasti akan ditolak rumah sakit, memenuhi makan minimal satu kali sehari (bukan minimal tetapi mungkin sudah terlalu biasa) untuk tujuh orang didalam rumahnya (pasangan suami istri, dua orang saudara dari daerah yang sedang mencari pekerjaan dan tiga orang anaknya), belum lagi memikirkan sewa rumah kontrakan petakan tiap bulan, ongkos suami bekerja dan anak-anak sekolah dan belum lagi tagihan listrik serta bon utangan warung untuk beli gas dan minyak sayur

Jangan sakiti kaum proletar dengan otak borjuismu, memberitahukan ke semua orang dengan tertawa lepas seolah cerdas, padahal hasilnya tidak realistis

Mengapa kaum borjuis tidak pernah bisa berpikir bahwa ekonomi itu saling terkait satu sama lain, nilai uang (50 ribu) yang didapat adalah hasil bekerja ditempat kerja yang juga terancam ditutup dan dipecat karena kontrak kerja kini tak lebih dari tiga bulan akibat praktek outsourching , nilai uang (50 ribu) adalah nilai ketidapastian karena mengantisipasi ketidakpastian naik atau turun harga kebutuhan dipasar, mengapa kaum borjuis tidak membawa uang 10 ribu saja seperti kaum proletar biasa lakukan ketika ke pasar (karena 10 ribu adalah uang sisa yang bisa dibelanjakan)

Untuk merasakan itu modal utamanya adalah memposisikan, bagaimana kaum borjuis memposisikan kalau menjadi kaum proletar, hidup serba pas-pasan dan standar nilainya pun harus pas-pas an, tidak dengan nilai 50 ribu yang bagi kaum proletar sangat bernilai, pakailah nilai 10 ribu bahkan 5 ribu an itupun dalam kondisi lecek karena hasil uang parkiran

Nilai uang 50 ribu dimata kaum borjuis, mungkin tidak bernilai apa-apa bahkan masih dinilai kurang untuk sekedar memenuhi harga kuota bulanan pada handphone miliknya yang berharga puluhan juta

Sementara nilai 50 ribu bagi kaum proletar adalah nilai kebanggaan bisa untuk ‘senjata’ pegangan bertarung esok hari, bagaimana dirinya bisa bertahan dan bertarung esok hari dengan bekal yang masih ditangan, selalu dihiasi kekuatiran esok akan ditagih penagih utang, kekuatiran esok akan ditagih pemilik kontrakan, kekuatiran esok anaknya ada yang sakit atau kekuatiran esok suaminya akan diberhentikan dari tempat kerjanya dan uang 50 ribu itu bisa dipakai untuk berkeliling kembali mencari kerjaan

Mengapa kaum borjuis tidak berani untuk ikut melawan dan memperjuangkan nasib kaum proletar? karena semua soal nilai uang akhir ujungnya adalah pada pemilik regulasi (kebijakan)

Berharga atau tidak, cukup atau tidak maka lihatlah situasi secara komperhensif (menyeluruh dan lengkap), bagaimana sistem pengupahan, apakah sistem outsorching sudah dihapuskan, sudah baik kah pelayanan kesehatan untuk rakyat miskin, sudah stabilkah harga pangan dan pokok dipasar, bagaimana aksi spekulan dan mafia impor, sudah pemerintah beri perlindungan bagi petani dan nelayan, bla bla bla hingga akhirnya nilai 50 ribu itu bisa jadi penilaian

Dan sangat disayangkan, kaum borjuis hanya membuat soal nilai uang belanjaan cukup tiga hari tersebut, ternyata hanya untuk bahan politik semata, mereka lupakan substansi persoalan regulasi yang ada, dan kembali kaum proletar dilupakan tanpa tersisa

Sengaja menggunakan bahasa kaum borjuis dan kaum proletar dalam bahasan kali ini, semata menyesuaikan bahasan sebutan kaum marhaen dimana sang borjuis calon legislatif tersebut bernaung, yang katanya memiliki tujuan menjadi partai pembela wong cilik, partainya pembela kaum proletar, tapi apakah itu disadarinya?

bang dw ( Dedi Wahyudi )
#SelamatPagi


Pendidikan Abad 21

Pendidikan di Abad 21

30 tahun dari sekarang kita tak pernah tahu skill apa yang paling dibutuhkan karena zaman berubah begitu cepatnya.
Diprediksikan dalam satu dekade manusia harus berganti profesi.

Perlukah anak diajari pemrograman bahasa komputer C+ misalnya? Atau karena Cina lagi berjaya perlukah belajar bahasa Cina?

30 tahun ke depan program C+ barangkali sudah diganti bahasa lain. Begitu juga bahasa Cina sudah bisa digantikan aplikasi penerjemah yang semakin canggih. Kita hanya perlu tahu satu kata, Ni Hau.

Lalu apa skill yang dibutuhkan anak2 kita? Para ahli pendidikan menyatakan bahwa sikap mental yang kuat (mental baja) dan fleksibilitas sangat diperlukan.

Selain itu ada 4 skill lain yaitu 4C:
1. Critical Thinkin
2. Communication
3. Collaboration
4. Creativity

Melihat skill masa depan dan kita bandingkan dengan yang diajarkan di pesantren rasanya sudah sangat sesuai.

Pesantren mendidik santrinya agar bermental baja. Setiap waktu di pesantren tidak ada yang kosong. Satu kegiatan berganti dengan kegiatan lain. Full activities 24 jam, 7 hari seminggu.

Begitu juga santri diajari fleksibel: setiap tahun ganti teman sekamar, ganti teman sekelas, ganti teman klub muhadoroh. Santri dilarang berkumpul dengan teman sedaerahnya, kecuali pada acara tertentu.

Nah, Communication juga diajarkan dengan praktiknya yaitu muhadoroh atau latihan pidato. Bahkan setiap orang didaulat menjadi ketua organisasi ini ketua organisasi itu yang tugasnya antara lain berbicara di depan umum.
Bereslah.

Nah, Collaboration juga sudah terpenuhi. Santri diajarkan bisa bekerjasama dengan teman sekamar, teman gugus depan Pramuka, dsb.

Lalu, Creativity juga diajarkan. Drama yang dilombakan setiap semester sangat kental dengan kreativitas. Pentas panggung gembira yang ditampilkan setiap tahun menjadi bukti seberapa tinggi kreativitas santri.

Nah, terakhir Critical Thinking. Ada yang mau memberi contoh? Atau barangkali belum ada di pesantren karena kultur pesantren yang sami’na wa atho’na sehingga harus diajarkan saat kuliah?

Disarikan dari 21 Lessons for 21st Century by Yuval Noah Harari oleh Hery Azwan.

Pergulatan Hidup

Ceramah KH Ali Masyhuri di Haul KH Abd Hamid Pasuruan ke 37 tgl 17 November 2018
A. Hidup ini merupakan pergulatan antara kebatilan dan kebenaran
B. Berpikir dan menimbang apa yg kita ucapkan
C. Perbaikan Iman harus melalui perbaikan hati, perbaikan hati melalui perbaikan lisan
D. Tiga (3) pesan Baginda Nabi:
1. Jaga lisanmu.
-. Dalamnya hati seseorang bisa dilihat dari ucapannya
2. Lapangkanlah rumahmu.
-. Allah memberi rejeki hambanya itu melihat kebutuhannya tidak melihat keinginannya. Maka belajarnya berpikir positif. Berpikir positif ini merupakan kekuatan dasar dan setengah dari kesuksesan.
-. Jika menginginkan rumah 'jembar' maka dirikanlah sholat malam dan sinarilah dg bacaan Al Qur'an
3. Tangisilah atas kesalahanmu
-. Dosa dan kesalahan tdk untuk dibanggakan tapi harus disesali dan ditangisi
-. Mari menangisi diri sendiri sebelum ditangisi oleh orang lain
-. Hidup di era gombalisasi ini:
a. Banyak orang mendirikan bangunan tapi tidak dia tempati
b. Banyak orang mengumpulkan makanan tapi tidak dia makan
c. Banyak orang punya teman di dunia maya tapi miskin teman di dunia nyata.
Ini dikarenakan miskin Keilahian, sinyal ke Allah kecil.
E. Santri harus:
1. Teguh dalam pendirian
2. Kuat pegang prinsip
3. Bijak dalam melangkah
4. Luwes dalam bertindak
F. Supaya berkah umur'e, berkah rejekine, dan berkah anak turune, langkahnya:
1. Buang kebencian dari hati kita
2. Buang kegelisahan dan kekhawatiran dari pikiran kita.
Para wali tdk merasa gelisah dan khawatir krn tauhidnya benar
3. Hiduplah sederhana.
Hidup sederhana ini merupakan sikap cerdas mengetahui dan memahami mana kebutuhan dan keinginan
4. Belajarlah suka memberi.
-. Rubahlah pola pikir  dari 'apa yang bisa didapat dari orang lain ke apa yg bisa diberikan ke orang lain'
-. Jgn merasa gengsi krn memberi sedikit sebab tdk memberi itu lebih sedikit.

Pergulatan Hidup

Ceramah KH Ali Masyhuri di Haul KH Abd Hamid Pasuruan ke 37 tgl 17 November 2018
A. Hidup ini merupakan pergulatan antara kebatilan dan kebenaran
B. Berpikir dan menimbang apa yg kita ucapkan
C. Perbaikan Iman harus melalui perbaikan hati, perbaikan hati melalui perbaikan lisan
D. Tiga (3) pesan Baginda Nabi:
1. Jaga lisanmu.
-. Dalamnya hati seseorang bisa dilihat dari ucapannya
2. Lapangkanlah rumahmu.
-. Allah memberi rejeki hambanya itu melihat kebutuhannya tidak melihat keinginannya. Maka belajarnya berpikir positif. Berpikir positif ini merupakan kekuatan dasar dan setengah dari kesuksesan.
-. Jika menginginkan rumah 'jembar' maka dirikanlah sholat malam dan sinarilah dg bacaan Al Qur'an
3. Tangisilah atas kesalahanmu
-. Dosa dan kesalahan tdk untuk dibanggakan tapi harus disesali dan ditangisi
-. Mari menangisi diri sendiri sebelum ditangisi oleh orang lain
-. Hidup di era gombalisasi ini:
a. Banyak orang mendirikan bangunan tapi tidak dia tempati
b. Banyak orang mengumpulkan makanan tapi tidak dia makan
c. Banyak orang punya teman di dunia maya tapi miskin teman di dunia nyata.
Ini dikarenakan miskin Keilahian, sinyal ke Allah kecil.
E. Santri harus:
1. Teguh dalam pendirian
2. Kuat pegang prinsip
3. Bijak dalam melangkah
4. Luwes dalam bertindak
F. Supaya berkah umur'e, berkah rejekine, dan berkah anak turune, langkahnya:
1. Buang kebencian dari hati kita
2. Buang kegelisahan dan kekhawatiran dari pikiran kita.
Para wali tdk merasa gelisah dan khawatir krn tauhidnya benar
3. Hiduplah sederhana.
Hidup sederhana ini merupakan sikap cerdas mengetahui dan memahami mana kebutuhan dan keinginan
4. Belajarlah suka memberi.
-. Rubahlah pola pikir  dari 'apa yang bisa didapat dari orang lain ke apa yg bisa diberikan ke orang lain'
-. Jgn merasa gengsi krn memberi sedikit sebab tdk memberi itu lebih sedikit.

Mbah Mangli

-Mbah Mangli, Waliyullah dari Gunung Andong-

Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang nama Kyai H. Asykari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana yang penuh karomah.

Beliau lahir dengan nama Muhammad Bahri di dukuh Nepen desa Krecek kecamatan Pare Kediri pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 02.00 malam.

Beliau adalah anak bungsu dari Muhammad Ishak keturunan dari Maulana Hasanudin putra Sunan Gunung Jati. Sedangkan ibunya keturunan dari Kiyai Ageng Hasan Besari yang masih keturunan dari Sunan Kalijaga.

Menurut almarhum KH Hamim Jazuli atau Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah.

Kyai Hasan Asy'ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN). Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yg mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia.

Mbah Mangli dikaruniai karomah “melipat bumi” yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya.

Mbah mangli juga ikut Toriqoh Alawiyah. Beliau sering mengikuti maulid dimasjid arriyad yg dipimpin oleh HABIB ANIS BIN ALWI ALHABSYI setiap malam jumat sejak zaman HABIB ALWI BIN ALI ALHABSYI.

Adapun wiridan wajib dipondok pesantren Mbah Mangli adalah ROTIB AL HADDAD, ROTIB AL ATHOS dan ROTIB SYAKRON sampai sekarang.

Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli karena bermukim di dusun Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.

Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera.

Ia juga tidak memerlukan pengeras suara untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang.

Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks (MMC).

Konon Gusdur semasa hidupnya sering berziarah ke makam Mbah Mangli (wafat pada tahun 2007) yang telah berjasa menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong-Telomoyo

Dikisahkan suatu hari Abah Guru Sekumpul, seorang Waliyullah dari Martapura Kalimantan Selatan suatu hari kedatangan seorang tamu dari Magelang Jawa Tengah. Tamu tersebut adalah Kiai Hasan Asy'ari, atau biasa dipanggil Mbah Mangli.

Kedatangan Mbah Mangli di sambut Abah Guru Sekumpul dengan hangat, dan kala itu Mbah Mangli menghendaki untuk menginap di rumah Abah Guru Sekumpul. Abah Guru Sekumpul pun menyediakan sebuah kamar buat Mbah Mangli tidur dan beristirahat.

Pada waktu malam, Abah Guru Sekumpul melewati kamar yang digunakan Mbah Mangli untuk istirahat, dan pada saat itu pintu kamar itu terbuka, Abah Guru Sekumpul melihat Mbah Mangli tidur di lantai, tidak di kasur/ranjang yang sudah disediakan.

Abah Guru Sekumpul sangat menjaga adab beliau kepada seorang kiai sepuh, maka Abah Guru Sekumpul pun juga tidur dan berbaring dilantai di depan kamar tidur yang ditempati Mbah Mangli, hal ini karena tawadhu dan menghormati tamunya.

اللهم صل علي سيدنا محمد وعلي اله وصحبه وسلم


Jihad Islam

Jihad (Arabجهاد‎) menurut syariat Islamadalah berjuang dengan sungguh-sungguh.[1]Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan Din (atau bisa diartikan sebagai agama) Allah atau menjaga Din tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasuldan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi dengan damai dan saling mengasihi. Namun dalam berjihad, Islam melarang pemaksaan dan kekerasan, termasuk membunuh warga sipil yang tidak ikut berperang, seperti wanita, anak-anak, hingga manula.

Tradisi Maulid Masjid Kauman

PEMBACAAN RIWAYAT KANGJENG NABI MUHAMMAD SAW DI MASJID GEDE KAUMAN
~ TRADISI SEJAK ZAMAN DEMAK

Pada tanggal 11 Maulud atau malam terakhir gamelan Kyai Sekati ada komplek Masjid Besar.  Malam itu disebut juga “Malam Garebeg.” Saat itu sebagian besar anggota masyarakat berduyun-duyun  ke Alun-Alun Utara. Lalu berkumpul di samping pintu masuk Pagelaran dan Masjid Besar.

Ketika malam Garebeg Maulud, Sri Sultan berada di Serambi Masjid Besar bersama Pangeran dan Bupati.  Sri Sultan beserta rombongan berangkat dari pintu gerbang Srimanganti menuju pintu gerbang Masjid Besar lewat Rotowijayan. Dari pintu masuk, Sri Sultan belok ke kiri ke bangsal Pagongan Selatan. Di tempat tersebut dilangsungkan upacara Udik-Udik yang dilakukan Pangeran Tertinggi.

Kyai Pengulu dan stafnya menunggu di Masjid Besar. Upacara Udik-Udik dilakukan lagi. Bedanya, kali ini Sri Sultan sendiri atau Kyai Pengulu yang melakukannya. Setelah rampung, Sri Sultan kembali ke masjid Besar. Beliau lalu duduk di serambi sambil menghadap ke timur. Kyai Pangulu dan stafnya duduk berhadapa muka dengan Sri Sultan. Para Pangeran dan bupati di sisi selatan. Sedangkan para tamu ada di utara.

Setelah semuanya ada di posisi masing-masing, lalu prosesi pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad S.A.W. dimulai.

Silakan hadir besok malam Selasa (11 Mulud) di Masjid Gede Kauman, Ngayogyakarta.

Gambar : Pembacaan riwayat Nabi zaman Sultan HB VIII (1920~1930s)

3 Paku Bumi Jakarta

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat berpidato di PP. al-Fachriyah, sekitar tahun 1994: “Di Jakarta ini, sebagai Pakunya ada tiga. Mereka itu auliya’ minal aqthab wasshalihin (para wali Allah, termasuk pemimpinnya para wali dan orang-orang shaleh). Bersyukur kepada Allah adanya mereka di kota ini, terasa aman dan jauhnya segala marabahaya di kota ini. Semua Allah hindarkan berkat adanya mereka. Tiga mereka itu adalah:


1. Al-Habib Husein bin Abubakar Alaydrus Luar Batang, dengan kekeramatannya yang luar biasa.
2. Al-Habib Utsman bin Yahya Mufti Betawi, dengan kitab-kitabnya.
3. Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, dengan dakwahnya.

Di masa mereka, hidup saja orang-orang bahagia di dekatnya. Beruntunglah kalian ahli Jakarta.”

Di kesempatan lain, saat Gus Dur menghadiri acara haul ketiga almaghfurlah KH. Ilyas bin H. Kenan, pendiri Pesantren Yayasan Pendidikan Islam al-Kenaniyah Jl. Pulo Nangka Barat II Kayu Putih Jakarta Timur mengatakan: “Mari kita bacakan al-Fatihah kepada para almarhum yang menjadi ‘pelindung’ kota Jakarta. Yaitu Pangeran Jayakarta (Habib Ahmad), Habib Abdul Halim Marunda, Habib Husein Alaydrus Luar Batang, seorang habib yang sempat berdomisili di Kebon Jeruk dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang.”

Gus Dur menambahkan: “Ada satu hal yang paling penting. Kita boleh-boleh saja berbeda cara, berbeda pendapat, berbeda jalan, tapi perasaan kita tetap sama. Ini penting sekali. Saya terus terang saja ikut tahlil di sini, kira-kira 30 persen bacaan tahlilnya saya tidak tahu. Karena di Jawa Timur tidak begitu.”

Dan banyak yang tidak tahu, ternyata Gus Dur pernah mengaji lagsung epada Habib Ali Kwitang. Sebagaimana yang didengar langsung oleh Ustadz Antoe Djibril dari Gus Dur sewaktu di daerah Comal. Beliau bilang begini: “Saya ini biar begini pernah merasakan baca kitab di hadapan seorang ulama kaliber dunia, yaitu Habib Ali Kwitang. Walaupun itu ya cuma kitab tipis tetapi tabaruk bermuwajahahnya yang tiada duanya.”

Habib Alwi Alatas mengatakan: “Tidak ada sosok kiai yang cinta terhadap habaib seperti Gus Dur. Jadi tirulah Gus Dur, maqamnya diangkat sebab cinta beliau kepada habaib.”

MENGENAL SOSOK KH.MUHAMMAD MUHAJIRIN AMSARAD

MENGENAL SOSOK KH.MUHAMMAD MUHAJIRIN AMSARAD DAARI.pimpinan pondok pesantren annida al islamy bekasi.

KH Muhammad Muhadjirin Amsar, panggilan akrab KH Muhadjirin atau Mat Jirin adalah ulama yang dikenal luas di kalangan masyarakat Bekasi, yang besar andilnya dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Sebagai ilmuwan, ia dikenal tidak saja di lingkungan Bekasi tetapi juga di luar negeri, khususnya di Masjidil Haram. Sebagai salah seorang guru terbaik di Masjidil Haram, ia menerima penghargaan berupa sebuah jam tangan berlapis emas bertuliskan al Mamlakatussuudiyyah dari Raja Faisal.

Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, KH Muhajirin aktif di organisasi Hizbullah, tetapi sebatas sebagai penjalin ukhuwah di kalangan pejuang dengan landasan patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.

KH Muhajirin lahir di Jakarta, 10 November 1921. Pendidikan formal ditempuhnya di Darul ‘Ulum Addiniyyah, Makkah Al-Mukarramah (1949-1955). Ia juga memperdalam ilmu melalui sejumlah jalur pendidikan nonformal, seperti Pesantren Mester (Jatinegara) Jakarta (1936-1946), beberapa pesantren di Jawa Barat (1942), pesantren di Jakarta Kota (1942), Pesantren Buntet Cirebon (1942-1945), Masjidil Haram, Mekkah (1947-1955), dan Masjid Nabawi, Madinah (1947-1955).

Ia dikenal sebagai salah seorang staf pengajar di Darul Ulum Makkah al-Mukarromah. Di dalam negeri ia mengajar di Pesantren Bahagia bersama Kiai Abdur Rahman dan Kiai Noer Ali. Aktivitasnya tidak terbatas pada mengajar karena pada 1963 ia pun mendirikan Perguruan Annida Al-Islamy Bekasi, sekaligus menjadi pimpinannya.

Karya tulisnya antara lain Misbah Al Zhulam Fi Syarhi Al Bulugh A Maram, 8 Jilid (fiqih hadist), Idhoh Al Maurud, 2 Jilid (ushul fiqih), Muhammad Rasulullah (tarikh), Mirah A Muslmin Fi Siroh Khulafa Al Rasyidin (tarikh), Al Muntakhab Min Tarikh Daulah Umayah (tarikh), Qowaid Al Khoms Al Bahiyyah (qowaid fiqih), al-Istidzkar(mustholah hadist/ushul hadits), Ta’liqot Ala Matini Al jauharoh 2 Jilid (tauhid), Mukhtaroh Al Balaghoh 2 Jilid (balaghah), Qowaid Al Nahwiyah 2 Jilid (nahwu/tata bahasa Arab), Al Qoul Al Hatsis Fi Mustholah Al Hadits (ushul fiqih), Taysir Al Ushul I Ilmi Al Ushul (ushul fiqih), Qowaid Al Mantiq 2 Jilid (mantiq), Mutholaah Mahfudzot, Takhrij Al Furu’ Ala Al Ushul, Tathbiq Al Ayat Bi Al Hadist, Tasawwuf, dan Faroid. Selain itu ada juga tulisan2 yang belum sempat dicetak.

# diolah dr berbagai sumber

Pemikiran Moderat

1. Pemikiran moderat adalah pemikiran yg menyediakan ruang bagi orang lain untuk memiliki pandangan yg berbeda.

2. Pemikiran moderat menghargai kepercayaan orang lain dan pandangan hidupnya.

3. Pemikiran moderat tidak menjadikan pendapat seseorang menjadi kebenaran mutlak sementara lainnya sebagai pendapat yg salah yg tdk usah diperdebatkan.

4. Pemikiran moderat tidak pernah menyetujui kekerasan atas nama apapun.

5. Pemikiran moderat menolak penafsiran tunggal terhadap suatu teks. Sebuah kalimat mungkin saja dapat diterjemahkan dalam berbagai cara.

6. Pemikiran moderat selalu terbuka terhadap kritik yg membangun

7. Pemikiran moderat selalu mencari perspektif yg adil dan bermanfaat bagi semua.

Puasanya Ghandi

Puasanya Ghandi

 on 
486121_150640215088871_786914508_nPuasa, menahan diri dari makan minum dan berhubungan seks, menjadi suatu ritual umum di dalam hampir semua kelompok spiritual dan keagamaan. Kenyataan bahwa puasa adalah praktik spiritual yang lazim jauh sebelum Islam diakui sendiri oleh Islam, ketika mengeluarkan perintah kewajiban puasa kepada pemeluknya: “Wahai orang-orang beriman diperintahkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” (QS 2:183). Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa ada praktik puasa di kalangan umat sebelum atau di selain Islam.
Tentu saja puasa antara Muslim dan kelompok-kelompok keagamaan dan spiritual lain berbeda baik di dalam bentuk maupun tujuannya. Kendati demikian, secara umum tujuan puasa adalah suatu upaya pengendalian dan pembentukan jiwa. Jiwa adalah sebuah kawasan terbuka. Ia akan menjadi hutan rimba segala kejahatan jika dibiarkan tumbuh dan berkembang begitu saja. Iri, dengki, dendam, marah, dan segala bentuk penyakit hati lainnya, bisa membuat jiwa menjadi kawasan hitam. Disiplin pengendalian diri akan menjadikan jiwa sebagai taman yang indah, tempat segala kebaikan bermuara dan berkembang. Salah satu di antara formula pengendalian jiwa tak lain adalah dengan berpuasa.
Puasa adalah gerakan batin. Gerakan yang halus dan lembut. Ia berbasis pada ketulusan dan keikhlasan. Ia laku pribadi yang tenang, jernih dan bersih. Namun di balik ketenangan dan diamnya itu terdapat kekuatan untuk mendorong perubahan. Tujuan utama puasa adalah transformasi jiwa pribadi. Dari jiwa pribadi itu kemudian pindah ke jiwa sosial masyarakat, ketika puasa memendarkan pengaruh positifnya pada lingkungan sekelilingnya.
Dalam hal ini, barangkali perlu mengenang puasa seorang jiwa besar abad 20: Mahatma Ghandi.
Sejak 6 Oktober 1924 Mahatma Ghandi melaksanakan puasa selama 21 hari. Puasa ini ia dilakukan di rumah seorang Muslim nasionalis India, Mohamad Ali, adik Shaukat Ali. Dua dokter Islam terus menerus menjaganya dan seorang misionaris Kristen, Charles Freer Andrewa, menjadi perawatnya.
Ghandi memutuskan berpuasa sebagai suatu seruan terhadap orang-orang Muslim dan Hindu yang kala itu terlibat konflik. Konflik itu menghabiskan energi, merusak batin dan pikiran, dan akhirnya menghancurkan sendi-sendiri kehidupan sosial. Perlawanan nasional terhadap kolonialisme melalui gerakan tanpa kekerasan menjadi melemah dan mengendor ketika tulang punggung gerakan itu sendiri: Hindu dan Muslim terpecah. Mati tenggelam dalam perseteruan internal.
Sepanjang 21 hari itu, Ghandi tidak makan apapun, kecuali minum sedikit air putih plus sejimpit garam. Tiap hari ia duduk, diam dan merenung. Dari taman jiwanya yang tenang dan hampa dari nafsu dunia itu, lahir sejumlah kata-kata hikmah yang sangat inspiratif. “Yang perlu pada saat ini bukanlah suatu agama, melainkan saling menghormati dan toleransi antar pemeluk berbagai agama,” demikian tulisnya pada hari kedua puasa. Kehendak merdeka yang diangankan warga India, dan dipimpin di antaranya oleh Ghandi sendiri melalui gerakan ahimsanya, ia renungkan ulang melalui puasanya itu. Ia katakan bahwa perjuangan harus ditujukan kepada hati orang-orang India terlebih dulu. Jiwa mereka harus bebas dari nafsu untuk menyingkirkan dan meniadakan orang lain. Mereka harus percaya diri, karena percaya diri berarti percaya kepada Tuhan. Kemerdekaan batin mendahului dan mengalasi kemerdekaan fisik.
Puasa Ghandi memang tidak sepenuhnya berhasil menghentikan konflik Hindu-Musim yang telah menyala dan membakar hati masing-masing pemeluk itu sedemikian rupa. Tapi dunia terus mengenang bagaimana ‘meditasi timur’, puasa itu, digunakan oleh Ghandi sebagai suatu seruan untuk perubahan.
Puasa, apakah itu sebagai suatu kewajiban keagamaan atau kehendak pribadi, pertama-tama adalah suatu upaya transformasi diri. Perubahan di dalam diri akan membawa perubahan di dalam masyarakat. Puasa di sini bukan semata untuk memenuhi kewajiban ilahi, tapi telah menjadi tuntutan kemasyarakatan, tuntutan kemanusiaan.
http://www.gusdurian.net
Penulis: Direktur Eksekutif YLKiS

Pendidikan Tanpa Sekolah Agus Salim

Pendidikan Tanpa Sekolah Agus Salim

 on 
Agus Salim
Agus Salim menganggap pendidikan kolonial adalah “jalan berlumpur” sehingga ia tidak mau anak-anaknya tercebur di dalamnya.
Jef Last geleng-geleng kepala usai mendengar pemuda bernama Islam Basari itu sangat lancar lagi fasih berbahasa Inggris. Keheranan jurnalis asal Belanda ini sangat beralasan. Islam tidak pernah mengenyam sekolah formal namun memiliki kecerdasan yang luar biasa.
Melihat Jef Last terkaget-kaget dengan rasa tidak percaya, ayah Islam berujar: “Apakah Anda pernah mendengar tentang sebuah sekolah di mana kuda diajari meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam bahasa Inggris, dan Islam pun ikut meringkik juga dalam bahasa Inggris.”
Si ayah dari bocah bernama Islam ini tidak lain dan tidak bukan adalah Haji Agus Salim, bapak bangsa yang namanya bertebaran di buku-buku sejarah Indonesia itu. Dan memang, Agus Salim tidak pernah memasukkan anak-anaknya ke sekolah formal. Ia mendidik putra-putrinya sendiri di rumah, metode pengajaran yang kini dikenal dengan istilah homescholling.
Jalan Berlumpur Pendidikan Kolonial
Bukan berarti Agus Salim mengharamkan pendidikan formal, sama sekali tidak. Ia sendiri menapaki jenjang sekolah dari dasar hingga menjadi salah satu orang paling jenius yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Bahkan, Agus Salim pernah meraih prestasi yang sangat jarang mampu dilakukan oleh siswa-siswa sebangsanya, menjadi lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS) tahun 1903 di tiga kota besar: Batavia, Semarang, dan Surabaya (Agus Salim, Pesan-Pesan Islam: Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika Serikat, 2014).
HBS adalah sekolah menengah setara SMA milik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekolah ini hanya menerima siswa berkebangsaan Belanda atau Eropa, serta sedikit anak lokal yang orangtuanya terpandang atau punya pangkat.
Sayangnya, titel sebagai lulusan HBS terbaik ternyata tak menjamin dirinya bisa melanjutkan studi ke luar negeri. Ia melamar untuk mendapatkan beasiswa sekolah kedokteran di Belanda yang sangat diminatinya (Haji Agus Salim 1884-1954: Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, 2004).
Namun, harapannya kandas karena ia seorang pribumi, bukan sinyo apalagi berdarah Eropa murni. Jawaban dari pihak berwenang yang diperolehnya berbunyi: “Tak ada beasiswa untuk inlander.”
Pengalaman pahit itulah yang barangkali membuat Agus Salim merasakan trauma yang amat sangat dengan sekolah Belanda. Ia menganggap pendidikan kolonial bentukan Belanda sebagai “jalan berlumpur” sehingga ia tidak mau anak-anaknya ikut berkubang di dalamnya seperti yang dulu pernah dirasakannya. Selain itu, Agus Salim merasa sanggup mendidik anak-anaknya di rumah.
Dari ke-8 anaknya, hanya si bungsu Mansur Abdurrahman Sidik yang mengenyam sekolah formal. Itu pun lebih karena Mansur dilahirkan setelah era kolonial Belanda di Indonesia berakhir. Tidak demikian halnya dengan anak-anaknya yang lahir terlebih dulu: Violet Hanisah, Yusuf Taufik, Ahmad Syauket, Theodora Atia, Islam Basari, Siti Asiah, dan Maria Zenibiyang.
Sekolah Rumah Agus Salim
Bukan hal yang aneh jika anak-anak Agus Salim sangat lancar berbahasa Inggris. Bahasa harian di keluarga itu memang bahasa-bahasa asing. Andai saja Jef Last tahu, ia mungkin tak akan terlalu heran melihat Islam Basari cas cis cus dengan bahasa Inggris.
Agus Salim sendiri menguasai selusin bahasa bangsa lain, di antaranya adalah Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, Turki, dan lainnya. Tak hanya sekadar berbicara, ia kerap berpidato bahkan melontarkan guyonan dengan bahasa-bahasa asing itu (Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, 2006).
Metode pendidikan yang diterapkan Agus Salim di rumah sangat menyenangkan tapi tetap mendidik. Anak-anaknya sebagai “murid” tak harus duduk di dalam kelas seperti di sekolah formal. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung dibiasakan secara santai, seolah-olah seperti sedang bermain. Sedangkan nilai-nilai budi pekerti, pelajaran sejarah, dan materi ilmu sosial lainnya diberikan melalui bercerita dan obrolan sehari-hari.
Agus Salim juga memberikan ruang kepada anak-anaknya untuk bertanya, mengkritik, bahkan membantah jika tak sependapat dengan apa yang ia sampaikan. Tampaknya ia punya cara jitu yang merangsang anak-anaknya untuk tidak hanya menerima pelajaran saja, ia ingin para “muridnya” memiliki daya kritis. Agus Salim sendiri dikenal sebagai sosok vokal dan jago debat berjuluk singa podium.
Menjadi Cerdas Tak Harus di Kelas
Salah satu kebiasaan menyenangkan sekaligus mencerdaskan yang diterapkan Agus Salim di keluarga adalah membaca. Ia menyediakan buku-buku berbahasa asing. Hasilnya, kecerdasan anak-anak Salim berkembang pesat. Di usia, balita mereka sudah lancar baca-tulis dengan banyak bahasa.
Maka jangan heran jika anak-anak Salim sudah melahap banyak bacaan berbahasa asing di usia yang masih sangat dini. Theodora Atia alias Dolly, misalnya, pada umur 6 tahun sudah menggemari bacaan-bacaan anak remaja, semisal kisah-kisah detektif Nick Carter atau Lord Lister (100 Tahun Haji Agus Salim, 1996).
Yusuf Taufik atau Totok lain lagi. Di usia 10 tahun, ia sudah merampungkan bacaan Mahabarata yang ditulis dalam buku berbahasa Belanda. Tidak hanya membaca, Totok bahkan piawai menjelaskan makna yang terkandung dalam epos kepahlawanan India nan legendaris itu.
Belum lagi apa yang pernah dialami oleh Mohammad Roem. Tokoh pergerakan nasional yang kelak bersama-sama Agus Salim turut menegakkan kedaulatan RI ini dibikin takjub oleh Dolly dan Totok. Dua bocah itu mampu meladeninya saat berdebat tentang pengetahuan yang diajarkan di sekolah tingkat atas. Padahal, usia mereka saat itu masih awal belasan tahun.
Agus Salim memang punya alasan mendasar mengapa ia tidak memasukkan anak-anaknya ke sekolah formal, juga lantaran ia sendiri memiliki kualitas pengetahuan dan pengajaran yang mumpuni untuk mendidik putra-putrinya di rumah.
Apa yang pernah dilakukan Agus Salim setidaknya memberi gambaran di luar keumuman di Indonesia: untuk menjadi cerdas tidak harus di dalam kelas. Bersekolah di rumah atau di tempat-tempat lainnya pun bisa, tentu jika dilaksanakan dengan cara dan guru yang tepat.
(Tirto.id; 2 Mei 2017)

MELEK POLITIK GENDRUWO

"MELEK POLITIK GENDRUWO"

Kalau kita membaca buku Religion of Java (santri-abangan - priyayi) karya Clifford Geertz, khususnya bagian abangan, salah satu ritus penting kaum abangan adalah tentang berbagai kepercayaan magis, salah satunya gendruwo.  Gendruwo adalah makluk halus yang kegemarannya menakut-nakuti. Oleh karena itu, dalam khasanah jawa disebut dengan memedi (berasal dari kata medeni = memedi = menakutkan/menakuti).

Geertz menceritakan bahwa si genderuwo ini suka berwujud makhluk yang tinggi besar. Misal ketika saudara sedang bersepeda di tempat yang sepi dan gelap, atau tiba-tiba anda didorong sampai jatuh. Keusilannya bahkan sampai ke tempat tidur, dengan beralih rupa menjadi suami ketika istri tidur sendirian. Oleh karena itu, di Jawa ada istilah anak gendruwo.

Politik gendruwo adalah cara berpolitik yang menakut-nakuti, membangun pesimisme, dan seolah olah negeri ini akan bubar 12 tahun mendatang. Menakut-nakuti rakyat terhadap bahaya asing, tetapi kemudian dia tidur dengan asing,  seperti berfoto dengan Donal Trump.

Gendruwo memang tidak selalu  jahat sebagaimana  digambarkan oleh Geerzt, karena memang kegemarannya hanya suka usil. Justru yang samgat jahat adalah istrinya gendruwo, yaitu Wewe. Kalau Gendruwo laki-laki, maka Wewe adalah perempuan.  Kelakuan Wewe yang paling ditakuti oleh orang kampung adalah kesukaannya menculik anak-anak. Kalau menculik anak-anak, maka seisi kampung akan memukul apa saja sehingga kampung menjadi bising, agar Wewe melepaskan si anak yang diculik.
☕☕

Sisi “Baik” Fir’aun

# Awy A. Q.
Jika kita memperhatikan dan mempelajari kehidupan ini dengan baik, maka kita akan menemukan bahwa pada dasarnya tiap manusia itu pasti memiliki dua (atau beberapa) sisi sifat yang tak sama. Meski tingkat dominasi sifat itu juga berbeda-beda.
Tidak ada ceritanya manusia itu seluruh sifatnya lembut. Tidak ada juga manusia yang seluruh sifatnya kasar/keras. Pasti ada keduanya. Hanya saja di antara kedua sifat yang bertolak belakang itu, salah satunya pasti ada yang lebih dominan dalam pribadi tiap-tiap manusia.
Sebelum penulis masuk pada hal yang ingin penulis bicarakan, sedikit penulis akan bercerita. Beberapa waktu lalu penulis membaca beberapa hadits menarik di kitab “Syu’abul Iman”. Kita tak usah membicarakan bagaimana status hadits yang akan penulis ampaikan, itu persoalan teknis. Yang penting adalah pelajaran besarnya.
Hadits unik ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi, salah satu pionir dalam dunia ilmu hadits.
Penulis yakin bahwa setiap orang Islam pasti tahu siapa sosok antagonis yang tersebut abadi dalam al-Qur’an dengan segala kesombongan dan kejumawaannya, Fir’aun. Dan jika disebutkan kata Fir’aun, maka segera terlintas dalam benak kita segala predikat dan track record buruk. Ikon kejahatan dalam sejarah.
Segala sepak terjang kesombongannya yang luar biasa terekam dalam al-Qur’an. Bagaimana juga cara Nabi Musa menghadapinya. Hingga kematiannya yang tragis di telan oleh Laut Merah setelah laut itu terbelah oleh mukjizat pukulan tongkat Nabi Musa.
Hadits yang aku maksud tadi, berkenaan dengan Fir’aun. Sebelum Nabi Musa diutus untuk menghadapi Fir’aun, beliau sempat bertanya kepada Allah bahwa kenapa Fir’aun dibiarkan hidup begitu lama dengan segala kesombongannya, perilakunya yang memperbudak bangsa Israel, membunuh bayi-bayi laki-laki Israel, bahkan mengaku Tuhan.
Oleh Allah Ta’ala Nabi Musa diberitahu, bahwa meski Fir’aun seperti itu, dia tetap mempunyai sisi kehidupan yang lain, terutama kepada sesama bangsanya. Yaitu dia punya kebaikan perangai dan bersikap jika pada bangsanya sendiri dan sebagai raja dia tak mempersulit siapapun yang ingin menemuinya.
Maka oleh Allah, sisi kebaikan Fir’aun itu dibalas oleh-Nya dengan usia panjang dan tak pernah mengalami sakit. Versi hadits itu, Fir’aun hidup 400 tahun.
Makanya oleh Allah, Nabi Musa dan Nabi Harun diarahkan untuk bertutur kata yang baik meskipun tetap tajam, siapa tahu Fir’aun mau bertaubat. Apalagi Nabi Musa pernah juga merasakan kebaikan Fir’aun yaitu dirawat sampai dewasa.
“Fa qulaa lahu qoulan layyinan la’allahu yatadzakkaru aw yakhsya”. Begitu di al-Qur’an, sebab Fir’aun juga tetap manusia yang punya sisi baik. Dan seperti yang terekam di al-Qur’an pula diceritakan bagaimana Fir’aun membesarkan Musa kecil dalam asuhannya dengan penuh kasih sayang. Meskipun kekejamannya pada rakyatnya (khususnya yang non koptik) sangat luar biasa. Bahkan dengan kearoganannya dia mengaku tuhan.
Pelajaran moral apa yang bisa kita ambil? Bahwa mungkin kita tidak suka seseorang akan kekerasannya, keburukan perangainya. Namun bagaimanapun jangan tutup mata jika -bisa jadi- dia punya sisi kebaikan yang lain.
Begitu pula dengan seseorang yang dominan bersifat baik, pasti ada sisi jelek yang tidak kita suka. Maka semisal kita respek dengan seseorang sebab dia selalu bertutur kata sejuk, lalu tiba-tiba dalam satu tempo dia berubah tegas dan tajam yang bahkan membuat kita sendiri gerah atau bahkan tidak suka, maka kita tidak perlu heran dengan perubahan-perubahan sejenak itu, namanya manusia.
Mungkin hanya para Nabi saja yang tidak punya sisi menyebalkan sebab mereka punya kemampuan super tinggi mengontrol perilakunya. Khususnya Nabi yang sangat kita cinta, Rasulullah S.a.w.
Itupun mereka yang kebaikannya tak terilustrasi itu saja masih banyak yang benci. Apalagi kita yang tidak pernah stabil antara sifat baik dan sifat buruk kita.
Alhasil dengan pelajaran-pelajaran semisal Fir’aun ini kita bisa belajar bagaimana bersikap ke sesama manusia, khususnya ke sesama muslim. Sebab banyak sekali di antara kita yang kerap merasa paling benar.
Kita juga tak perlu heran saat lihat orang marah-marah dalam mengingatkan orang lain. Saat sekolah saja jika kita salah menjawab, dimarahi guru apalagi ini kesalahan level akidah misalkan.
Cuma memang caranya saja yang perlu dimanajemen dengan baik. Karena pada dasarnya, semelenceng apapun pemikiran dan ideologi, ia tetap bermula dari satu titik kebenaran, hanya salah penafsiran saja dan dalam cara mengingatkan, cara menjewer, keras lembutnya tergantung level kesalahan. Hal yang sangat maklum sekali dalam dunia pendidikan.
Bukan lantas misalkan perintah Allah pada Nabi Musa untuk menasihati dengan lembut itu diartikan sebagai bentuk toleransi. Tak ada yang memaknai seperti itu. Karena toleransi itu hal, dan mengingatkan, menasihati juga hal yang lain.
Tempatkanlah segala sesuatu pada tempatnya masing-masing. Sebab seseorang (apalagi jika dia muslim) yang tidak pandai menempatkan sesuatu pada tempatnya, artinya dia belum bijak dan juga belum adil. Dan kata lain belum bisa adil artinya seseorang itu masih pada wilayah dzalim. Perlu segera mengkoreksi diri untuk beranjak dari situ.
Semoga mencerahkan dan semoga kita bisa terus menaikkan kualitas kepribadian kita dengan belajar bersikap sesuai keharusan masing-masing (*)


Sumber : 
https://fachruddien.wordpress.com

MENGAPA MEMILIH NU?

*_MENGAPA MEMILIH NU?

_Di dalam Nahdlatul Ulama, kita menemukan jalan untuk berjama'ah dalam amaliyah, fikrah, harokah, dan ukhuwah._

_NU tidak hanya mengurusi politik (harokah), tapi juga :_

1. Amaliyah Aswaja, seperti tahlilan, istighotsah, ziarah kubur, maulid, qunut, muamalah, munakahah, dll. Yang fardhu, sudah pasti, yang sunnah juga NU lakoni. Seperti sholat gerhana, sholat tasbih dsb.

2. Fikrah Aswaja, seperti pesantren, sekolah, pengajian, majlis ta'lim, dakwah media dan mimbar, kajian ilmiyah bahtsul matsail, dll. Termasuk dalam fikrah, adalah akidah aswaja.

3. Ukhuwah Aswaja, yaitu basyariyah, wathoniyah, dan islamiyah. NU mengurusi perdamaian masyarakat lokal dan dunia.

_Kita menemukan muqobalah (pembanding) karakteristik ini dalam beberapa ormas lain. Walupun ada beberapa ormas yang hanya (mencolok) dalam urusan harokah, atau politik._

_Di NU, kita menemukan :_

Amaliyah : 25%
Fikrah : 25%
Harokah : 25%
Ukhuwah : 25

_Jadi NU 100%_

_Kita pilih Ber-NU, sebagai jama'ah sekaligus jam'iyyah untuk diri dan keluarga._

_Kita berjamaah, karena Nabi SAW mewajibkan untuk bersama jama'ah :_

عليكم بجماعة المسلمين وامامهم

_Kenapa berjama'ahnya di NU?_

_Karena nilai-nilai NU, sejalan dengan prinsip Islam rahmatan lil alamin._

_NU yang berpegang teguh pada Al-Qur'an, Hadits, Ijma, dan Qiyas._

_Tidak ghuluw (berlebihan/ekstrim), tetapi memiliki karakter :_

1. Tawassuthiyyah (moderat),
2. Tasamuhiyah (toleran),
3. Tawaazuniyah (keseimbangan),
4. I'tidaliyah (idealis),
5. Istiqomah (konsisten),
6. Ishlahiyyah (reformatif),
7. Tathowwuriyah (dinamis),
8. Manhajiyah (pola pikir metodologis),
9. Amar ma'ruf nahi mungkar

_Tanpa jama'ah, kita ibarat debu di semesta yang luas._

_Tanpa jam'iyyah (organisasi), kita ibarat sepotong rumput liar yang tidak terurus._

_ٍKita Ber-NU, memilih jalur NU, bersanad melalui guru2 Aswaja. Ada sandaran, ada rujukan, dan ada pertanggung jawabannya._

_NU yang lahir 1926, memiliki tanggung jawab besar untuk mengawal kehidupan beragama dan bernegara dalam bingkai NKRI._
_Dalam Bahtsul Matsail Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, jauh sebelum Indonesia merdeka disebutkan bahwa Indonesia adalah negeri Darussalam, tidak ubahnya Negara yang dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah, membangun Negara Perdamaian, Negara Darussalam bukan Negara Darul Islam. Dengan Piagam Madinah, tidak mengedepankan Islam semata tetapi persatuan dan kesatuan, sebagaimana Firman Allah_

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

_Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam [Al-Anbiyâ’/21:107]._

_Semoga kita diakui murid KH. Hasyim Asy'ari, bersambung sanad juga kepada KH. Kholil Bangkalan, Syekh Nawawi Albantani, para Imam Ahlussunnah wal Jama'ah, dan dikumpulkan bersama para ulama salafus sholeh yang mumpuni dalam duniawi dan ukhrowi._

_Aamiin ya robbal alamiin.._

الحق بلا نظام يغلبه الباطل بالنظام

_Kebenaran tanpa struktur, akan dikalahkan oleh kebathilan yang terstruktur._

Wallahul muwaafiq ilaa aqwamit thoriq..

*_Disarikan dari buku Khazanah Aswaja -  Tim Aswaja NU Center PWNU Jatim_*