Tokoh Tokoh Islam NUsantara

Syaikh Abdul Malik
Latar Belakang Dan Nasab
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash’ad bin Muhammad Ilyas, atau lebih dikenal sebagai Syaikh Muhammad Abdul Malik. Beliau dilahirkan di Kedung Paruk, Purwokerto pada hari Jum’at, 3 Rajab 1294 H/1881 M. Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan “Surat Kekancingan” (semacam surat pernyataan kelahiran) dari Pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin
Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.
Pendidikan
Sejak kecil Syaikh Abdul Malik belajar Al-Qur’an dari ayahnya, Syaikh Muhammad Ilyas, kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH. Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Beliau juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja, sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini terdapat saudara Syaikh Abdul Malik yang bernama Kiai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya, yang memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.
Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa oleh sang ayah, beliau dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain.
Pada tahun 1327 H. Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya beliau berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya meninggal dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja. Sepeninggal ayahnya, Syaikh Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Syaikh Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, beliau kemudian lebih dikenal sebagai Syaikh Abdul Malik Kedung Paruk.
Menurut beberapa santrinya, Syaikh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam satu waktu. Perlu diketahui, Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jamaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Beliau bekerjasama dengan asy-Syaikh Mathar Makkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Makkah, beliau memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Makkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar.
Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar al-‘Allamah.
Syaikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci, di antaranya:
• Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, beliau berguru kepada Sayyid Umar Syatha’ dan Sayyid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin Hasyiyah Fathul Mu’in).
• Dalam ilmu Hadits, beliau berguru pada Sayyid Thoha bin Yahya al-Maghribi (ulama Hadhramaut yang tinggal di Makkah), Sayyid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayyid Muhsin al-Musawwa, asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi.
• Dalam bidang ilmu Syariah dan Thariqah Alawiyah beliau berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar al-Aththas, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).
• Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi al-Makki (Makkah).
Murid-Murid
Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH. Khalil (Sirampog, Brebes), KH. Anshori (Linggapura, Brebes), KH. Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.
Murid-murid lainnya dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH. Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH. Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah an-Naqsabandiyah al-Khalidiyah), KH. Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH. Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kiai, ulama maupun shalihin.
Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu al-
Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.” Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.
Selain menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syaikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kiai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.
Dakwah Dan Perjuangan
Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syaikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka beliau pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, beliau justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka beliau pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.
Pada masa Gestapu, Syaikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syaikh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.
Keluarga
Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri
pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, Kiai Abu Bakar bin Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953 M, pada usia sekitar 30 tahun).
Istri kedua Syaikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syaikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, “Pak Kiai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat.” Mendengar permintaan ini, Syaikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya. Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syaikh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab Syaikh Abdul Malik diteruskan.
Kepribadian
Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat
Nabi Khidir As atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat al-Fatih, al-Anwar dan lain-lain.
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan
menghormatinya. Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH. Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.
Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Sholeh berkata kepada para jamaah, ”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaikh Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya. Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”
Wafat
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syaikh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya’ dan masuk ke dalam kamar khalwatnya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus. Syaikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.
Iklan
Report this ad
Report this ad
Habib Ali Bungur
Latar Belakang Dan Nasab
Al Habib Ali bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Ja’far bin Ali bin Husein bin Al-Quthb Al-Habib Umar bin Abdurrahman bin Aqil al-Aththas bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman as-Seqqaf bin Muhammad Mauladawileh bin Ali Maula Darrak bin Alwy al-Ghuyyur bin Al-
Faqih Al-Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali Ar-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib ibin Sayidatina Fathimah az-Zahra binti Rasulullah SAW.
Habib Ali bin Husin al-Aththas dilahirkan di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 H atau 1889 M, juga dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Karena pada akhir hayatnya, beliau dan keluarga tinggal di Bungur, Jakarta Pusat. Sebelumnya, guru sejumlah kiai Jakarta ini tinggal di Cikini, Jakarta Pusat. Hingga kala itu namanya dikenal dengan sebutan Habib Ali Cikini.; Pada tahun 1960-an, rumahnya di Cikini terbakar. Maka beliau pun pindah ke Bungur, sebuah kampung di kawasan Senen, yang mayoritas penduduknya warga Betawi.
Pendidikan
Sejak usia enam tahun beliau telah menuntut ilmu keislaman pada sebuah ma’had atau pesantren di Hadramaut. Setelah menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 M dalam usia 23 tahun beliau pun menunaikan ibadah haji. Di Makkah, Habib Ali menetap selama lima tahun yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama. Pada tahun 1917 M, beliau kembali ke Huraidhah, dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1920 M, dalam usia 41 tahun, beliau pun berangkat ke Jakarta. Hanya dalam waktu singkat, Habib Ali yang selalu dekat dengan rakyat itu, telah dapat menguasai bahasa Indonesia. Beliau mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang dibangun oleh pelukis Raden Saleh. Beliau dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat setempat.
Setelah menetap di Jakarta, beliau berguru kepada para ulama yang berada di tanah air, diantaranya :
• Al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Empang Bogor)
• Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Aththas (Pekalongan)
• Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya)
• Al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor (Bondowoso).
Dakwah
Semasa hidupnya Habib Ali al-Aththas selalu berjuang membela ummat, kesederhanaan serta istiqomahnya dalam mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari menjadi tauladan yang baik bagi ummat. Beliau selalu mengajarkan dan mempraktekkan bahwa Islam mengajak ummat dari kegelapan pada cahaya yang terang, membawa dari taraf kemiskinan kepada taraf keadilan dan kemakmuran.
Habib Ali al-Aththas, selama 56 tahun telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama. Bukan saja di Indonesia, juga di Malaysia dan Singapura, banyak muridnya. Di antara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu. Seperti Habib Muhammad bin Ali al-Habsyi (putra Habib Ali Kwitang), Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih (Malang), KH. Abdurrazzaq Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh ( penulis terkenal dan produktif di masanya), KH. Abdullah Sjafi’ie (pimpinan majelis taklim Assyfi’iyah), KH. Thohir Rohili (pimpinan majelis taklim Attahiriyah), KH. Syafi’i Hadzami (ketua umum MUI Jakarta), dan puluhan ulama lainnya. Bahkan, para muridnya itu kemudian menjadi guru para mubaligh, dan perguruan tinggi Islam.
Karya Dan Pemikiran
Habib yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama terkemuka di Betawi itu, pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fiqih, falsafah, tasawuf, dan perbandingan mazhab. Menguasai berbagai kitab kuning dari berbagai mazhab.
Lewat tangan Habib Ali al-Aththas, lahir sebuah karya besar dan penting, kitab Taj al-A’ras fi Manaqib al-Habib al-Quthub Shalih bin Abdullah al-Aththas; terdiri dari dua jilid tebal, jilid pertama 812 halaman (termasuk daftar isi) sedangkan jilid ke dua 867 halaman. Dalam kitab yang diterbitkan tahun 1977 ini, Habib Ali meenguraikan perjalanan hidup banyak tokoh Ulama dan orang-orang terkemuka yang pernah beliau jumpai, khususnya di Hadramaut, baik dari kalangan Habaib maupun yang lain.
Dalam kitab yang terbilang langka ini, juga terdapat ulasan-ulasan mengenai persoalan-persoalan penting. Baik yang berkaitan dengan habaib maupu yang bersifat umum. Seperti dalil-dalil tentang karomah para wali, bahasan tentang ‘ilmu yaqin, haqqul yaqin dan ‘ainul yaqin. Juga mengenai thariqoh Alawiyah, pandangan ulama Alawiyyinmengenai karya-karya Ibnu Arabi, air zamzam, firasat orang mu’min sebagaimana yang tertera dalam hadits, ruqyah.
Dibahas pula mengenai penjajahan Inggris terhadap Hadramaut, keadaan Hadramaut sebelum dijajah, serangan kaum Wahabi di Huraidhah dan Wadi ‘Amd, masuknya Isam di Jawa, Sultan Hasanuddin Banten, perang dunia II, mengenai Imam Yahya dari Yaman, tentang Betawi, pemakaman tanah abang, kisah Laila dan Majnun. Juga persoalan – persoalan fiqih dalam Madzhab Syafi’i, celak mata dan lain-lain.
Wafat
Habib Ali bin Husein al-Aththas wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dam usia 88 tahun dan beliau dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, condet Jakarta timur.
* Dari berbagai sumber

Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi

Habib Ali Kwitang
Latar Belakang Dan Nasab
Ibunda Habib Ali al-Habsyi bernama Nyai Salmah, puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. Ketika awal perkawinannya dengan Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi, beliau lama sekali tidak memperoleh seorang putra pun. Pada suatu ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah mimpinya itu kepada suaminya.
Mendengar mimpi istrinya, Habib Abdurrahman segera menemui Habib Syeikh bin Ahmad Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Habib Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi tersebut bahwa Nyai Salmah akan mendapatkan seorang putra yang shaleh dan ilmunya akan melimpah-limpah keberkatannya. Apa yang dikemukakan oleh Habib Syeikh itu tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil ‘Awal 1286 H. bertepatan tanggal 20 April 1870 M. lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, kelak kemudian lebih terkenal dengan sebutan Habib Ali Kwitang.
Al-Habib Abdurrahman al-Habsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke Rahmatullah ketika putra beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut. Habib Abdurrahman wafat pada tahun 1881 M, dan dimakamkan di Cikini, belakang Taman Ismail Marzuki, yang kala itu milik Raden Saleh.
Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Habib Abdullah menikah di Semarang dan ketika dalam pelayaran kembali ke Pontianak, beliau wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali datang dari Hadramaut, lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para Sultan dari Klan Algadri.
Nasab Habib Ali al-Habsyi adalah: Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi (shahib syi’ib) bin Muhammad bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi, nasab ini terus bersambung hingga Rasulullah SAW.
Pendidikan
Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali al-Habsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman al-Habsyi tidak meninggalkan harta benda apapun.
Ketika usianya mencapai sekitar 11 tahun, Habib Ali berangkat ke Hadramaut untuk belajar agama. Tempat pertama yang ditujunya ialah ke rubath Al-Habib ‘Abdur Rahman bin ‘Alwi al-’Aydrus. Di sana beliau belajar dengan para ulamanya, antara lain yang menjadi gurunya ialah:
• Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahib Maulid Simthud Duror)
• Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas
• Al-Habib Hasan bin Ahmad al-Aydrus
• Al-Habib Zein bin Alwi Ba’abud
• Asy-Syaikh Hasan bin Awadh Mukkaddam
• Al-Imam Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur (Mufti Ad-Dhiyyar al-Hadramiyyah)
• Al-Habib Umar bin Idrus bin Alwi al-Aydrus
• Al-Habib Alwi bin Abdurrahman al-Masyhur
Pada tahun 1300 H, Habib Ali menghadiri majelis maulid yang diadakan oleh Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahib Maulid Simthud Duror) di Seiwun, Hadramaut. Pada saat itu hadir pula Al-Quthub Al-Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdhor beserta anak-anaknya. Di sana Habib Ali bertemu dengan para ulama dan auliya’. Di kesempatan itulah beliau pergunakan untuk meminta doa dan ijazah kepada mereka. Setelah bermukim selama enam tahun di Hadramaut, sekitar tahun 1303 H bertepatan dengan tahun 1886 M beliau pulang ke tanah air.
Walaupun Habib Ali lama belajar di Hadramaut, beliau tidak menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya sudah cukup. Beliau masih dan selalu mengambil manfaat dari para alim ulama yang ada di Indonesia saat itu. Beliau mengambil ilmu dari mereka. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah:
• Al-Habib Muhammad bin Thohir al-Haddad (Tegal)
• Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya)
• Al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Empang, Bogor)
• Al-Habib Husain bin Muhsin asy-Syami al-Aththas (Jakarta)
• Al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor (Bondowoso)
• Al-Habib Ahmad bin Muhsin al-Haddar (Bangil)
• Al-Habib Abdullah bin Ali al-Haddad (Bangil)
• Al-Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi)
• Al-Habib Muhammad bin Alwi ash-Shulaibiyah al-Aydrus
• Al-Habib Salim bin Abdurrahman al-Jufri
• Al-Habib Husein bin Muhsin al-Aththas
• Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan)
• K.H. Abdul Hamid (Jatinegara)
• KH. Mujtaba bin Ahmad (Jatinegara).
Pada usia 20 tahun Habib Ali al-Habsyi menikah dengan Hababah Aisyah Assegaf dari Banjarmasin. Beberapa waktu kemudian beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya, Rasulullah SAW di Madinah. Selama di sana beliau pergunakan untuk menuntut ilmu dan mendapatkan ijazah dari ulama di Makkah, diantaranya:
• Al-Imam Muhammad bin Husain al-Habsyi (Mufti Makkah)
• Sayyid Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati
• Asy-Syaikh Muhammad Said Babsail (Pengarang Kitab I’aanathuth Thoolibiin)
• Asy-Syaikh Umar Hamdan al-Maghribi
• Asy-Syaikh Umar bin Abi Bakar Bajunaid
• Al-Habib Abdullah bin Muhammad Sholih az-Zawawi.
Sedangkan di kota Madinah Al-Munawwaroh, beliau belajar kepada:
• Al-Habib Ali bin Ali al-Habsyi
• Al-Habib Abdullah Jamalullail (Syaikh Al-Asaadah)
• Asy-Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Azabi, anak dari pengarang kitab Maulid Azabi.
Dakwah
Setelah kembali ke tanah air, Habib Ali al-Habsyi aktif dalam mengembangkan dakwah Islamiyyah, mengajak ummat Islam untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam dengan dasar cinta kepada Allah dan Muhammad SAW. Selain di pengajian tetap di Majlis Taklim Kwitang yang diadakan setiap hari Minggu pagi sejak kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang dengan kunjungan ummat Islam yang berpuluh-puluh ribu, beliau juga aktif menjalankan dakwah di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung.
Selain itu Habib Ali juga berdakwah ke Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Srilangka dan Mesir. Selain itu beliau juga sempat menulis beberapa kitab, di antaranya Al-Azhar al-Wardiyyah fi as-Shuurah an-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi ash-Shalawat ala Khair al-Bariyyah.
Pada tahun 1919 M, Habib Ali mendapat mandat untuk mensyiarkan Maulid Simthud Duror dari gurunya, Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, bahkan isyarat dari Rasulullah SAW. Maka pada tahun 1920 M, Habib Ali mulai menggelar Maulid dengan membaca Simthud Duror di kawasan Tanah Abang. Dan pada tahun 1937 M, acara maulid diselenggarakan di Kwitang, Jakarta Pusat.
Selama hayatnya, Habib Ali al-Habsyi melaksanakan Maulid dengan pembacaan Simthud Duror, rutin setiap akhir Kamis atau Lamis terakhir bulan Rabi’ul Awwal sebanyak 51 kali. Di tangan beliau, Maulid Simthud Duror bekembang dengan pesat dan dikunjungi jamaah bukan hanya dari masyarakat Jabotabek, tapi juga dari daerah-daerah lain dan bahkan dari negara-negara sahabat.
Dalam rangka memantapkan tugas dakwahnya, Habib Ali membangun Masjid ar-Riyadh tahun 1940-an di Kwitang serta di samping masjid tersebut didirikannya sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah Unwanul Falah. Tanah yang digunakan untuk membangun masjid tersebut merupakan wakaf yang sebagian diberikan oleh seorang betawi bernama Haji Jaelani (Mad Jaelani) asal Kwitang. Banyak ulama Betawi atau Jakarta yang pernah menjadi muridnya atau pernah belajar di madrasah yang didirikannya.
Di antara muridnya yang terkenal adalah KH. ‘Abdullah Syafi’i (pendiri Majlis Taklim Assyafi’iyah), KH. Thahir Rohili (pendiri Majlis Taklim Atthohiriyah) dan KH. Fathullah Harun (ayah dari Dr. Musa Fathullah Harun, seorang bekas pensyarah UKM).
Dalam dakwahnya selama 80 tahun, Habib Ali selalu menganjurkan agar ummat Islam senantiasa berbudi luhur, memegang teguh ukhuwah Islamiyah dan meneladani keluhuran budi Rasulullah SAW, beliau juga menganjurkan kepada kaum ibu untuk menjadi tiang masyarakat dan Negara, dengan mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dan Rasulnya.
Wafat
Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi sebelum akhir hayatnya pada tahun 1968 M. mengalami pingsan selama kurang lebih 40 hari. Beliau hanya berbaring di tempat tidurnya tanpa sadarkan diri. Dalam keadaan itu beliau senantiasa disuapi air zamzam oleh putranya sebagai pengganti makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.
40 hari kemudian, akhirnya Habib Ali al-Habsyi mulai sadar. Dipanggillah putranya: “Ya Muhammad, antar Abah ke hammam (kamar mandi) untuk bersih-bersih diri.” Mendengar ucapan ayahandanya seperti itu, Habib Muhammad merasa sangat senang karena ayahnya sudah berangsur sembuh. Diantarlah ayahnya oleh Habib Muhammad ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri.
Usai Habib Ali al-Habsyi mandi dan berwudhu, beliau duduk di tempat tidurnya dan meminta dipakaikan pakaian kebesarannya yaitu jubah, imamah dan rida’nya. Lalu beliau meminta putranya untuk membacakan qashidah “Jadad Sulaima ” yang menjadi kegemaran beliau. Qashidah tersebut adalah karangan guru beliau, yaitu Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahib Simthud Duror). “Ya Muhammad, aku lihat Rasulullah sudah hadir. Bacalah qashidah Jadad Sulaima. Lekaslah baca, ayo Bismillah!”
Mendengar ucapan ayahnya, segera Habib Muhammad membacakan qashidah tersebut sambil menangis dan tidak mampu menyelesaikan qashidah tersebut. Akhirnya yang melanjutkan qashidahnya adalah Habib Husein bin Thaha al-Haddad.
Setelah selesai pembacaan qashidah tersebut, Habib Ali al-Habsyi berkata: “Ya Muhammad, hari apakah ini?”. Habib Muhammad menjawab: “Hari Ahad ya Abah. Jamaah sudah penuh hadir di Majelis.”
Kemudian Habib Ali al-Habsyi kembali berkata: “Ya Muhammad, kirimkan salamku pada seluruh jamaah. Dan pintakan maaf atas diriku pada seluruh jamaah. Pintakan maaf untukku pada mereka. Sesungguhnya diri ini tidak lama lagi, karena sudah datang Rasulullah dan datuk-datuk kita.”
Dengan perasaan sedih yang mendalam, Habib Muhammad pun akhirnya menyampaikan pesan ayahnya pada semua jamaah yang hadir di Majelis Ta’lim Kwitang hari Minggu pagi itu. Tidak lama setelah itu, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sebelum wafatnya, beliau mengajak kepada yang berada di sekitarnya untuk membaca talqin dzikir “ La Ilaha Illallah ”. Semua yang hadir, termasuk Habib Ali bin Husein al-Aththas (Habib Ali Bungur), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, dan para keluarga mengikuti ucapan Habib Ali al-Habsyi yang semakin lama semakin perlahan hingga hembusan nafasnya yang terakhir kali.
Akhirnya Habib Ali al-Habsyi wafat di pangkuan Habib Ali bin Husein al-Aththas dalam keadaan berpakaian kebesarannya. Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi wafat hari Ahad 20 Rajab 1388 H/13 Oktober 1968 M. dan dimakamkan di Kwitang.
* Dari berbagai sumber
Syaikh Kholil Bangkalan
Latar Belakang Dan Nasab
Tidak ada yang tahu kapan persisnya Syaikh Kholil dilahirkan. Sebagian sesepuh keturunan Syaikh Kholil ada yang memperkirakan bahwa Syaikh Kholil lahir pada tahun 1252 H, atau sekitar tahun 1835 M.
Syaikh Kholil adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga
“Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath al-Alawi al-Husaini.
Berikut ini adalah silsilah nasab Syaikh Muhammad Kholil al- Maduri, terlebih dahulu silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Sunan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga) “Azmatkhan al-Alawi al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.
Jalur Sunan Kudus (garis laki-laki):
• Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan
• Kiai Abdul Lathif (Dimakamkan di Bangkalan)
√ Kiai Hamim (Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan)[1]
• Kiai Abdul Karim
• Kiai Muharram (Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan)
• Kiai Abdul Azhim (Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan)
√ Kiai Selase (Dimakamkan di Selase Petapan, Trageh, Bangkalan)[2]
• Kiai Martalaksana (Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan)
• Kiai Badrul Budur (Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan)
• Kiai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek, dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan)
• Kiai Khatib (Ada yang menyebutnya “Ratib”, dimakamkan di Pranggan, Sumenep)
• Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal, dimakamkan di Sumenep)
• Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos, dimakamkan di Ampel Surabaya)
• Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus, dimakamkan di Kudus)
• Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung, dimakamkan di Kudus)
• Sayyid Fadhal Ali al-Murtadha (Raden Santri/Raja Pandita, dimakamkan di Gresik)
• Sayyid Ibrahim (Asmarakandi, dimakamkan di Tuban)
• Sayyid Husain Jamaluddin (Dimakamkan di Bugis)
• Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin Akbar (Dimakamkan di Naseradab, India)
• Sayyid Abdullah (Dimakamkan di Naserabad, India)
• Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (Dimakamkan di Naserabad, India)
• Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih (Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Muhammad Shahib Mirbath (Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Ali Khali’ Qasam (Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Alawi (Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Muhammad (Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Alawi (Dimakamkan di Sahal, Yaman)
• Sayyid Abdullah/Ubaidillah (Dimakamkan di Hadramaut, Yaman)
• Al-Imam Ahmad al-Muhajir (Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Isa An-Naqib (Dimakamkan di Bashrah, Iraq)
• Sayyid Muhammad An-Naqib (Dimakamkan di Bashrah, Iraq)
• Al-mam Ali al-Uradhi (Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah)
• Al-Imam Ja’far ash-Shadiq (Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah)
• Al-Imam Muhammad al-Baqir (Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah)
• Al-Imam Ali Zainal Abidin (Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah)
• Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib (Dimakamkan di Karbala, Iraq)
• Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW (Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah).
Maka, dari jalur Sunan Kudus, Syaikh Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Ampel (garis perempuan):
• [2]Nyai Tepi Selase (Istri Kiai Selase bin Martalaksana, dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan)
• Nyai Komala (Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan)
• Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana, dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan)
√ Sayyid Muhammad Khatib (Raden Bandardayo, dimakamkan di Sedayu Gresik)[3]
• Sayyid Musa (Sunan Pakuan, dimakamkan di dekat Gunung Muria Kudus)
• Sayyid Qasim (Sunan Drajat, dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan)
• Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel, dimakamkan di Ampel, Surabaya)
• Sayyid Ibrahim Asmarakandi (Dimakamkan di Tuban)
• Sayyid Husain Jamaluddin Akbar (Dimakamkan di Bugis).
[2]Di sini nasab Nyai Tepi Selase dan Kiai Selase bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Syaikh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Giri (garis perempuan)
• [3]Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khatib bin Sayyid Musa, dimakamkan di Giri, Gresik)
• Ali Khairul Fatihi (Panembahan Kulon, dimakamkan di Giri, Gresik)
• Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri, dimakamkan di Giri, Gresik)
• Maulana Ishaq (Dimakamkan di Pasai)
• Sayyid Ibrahim Asmarakandi (Dimakamkan di Tuban)
• Sayyid Husain Jamaluddin Akbar (Dimakamkan di Bugis).
[3]Di sini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khatib bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Giri, Syaikh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.
Di sini nasab Nyai Khadijah dan Kiai Hamim bertemu.
Jalur Basyaiban (garis perempuan):
• Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim bin Abdul Karim, dimakamkan di Bangkalan)[1]
• Kiai Asror Karomah
• Sayyid Abdullah
• Sayyid Ali Al-Akbar
• Sayyid Sulaiman (Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang)
√ Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Maulana Hasanuddin)[4]
• Sayyid Umar
• Sayyid Muhammad
• Sayyid Abdul Wahhab
• Sayyid Abu Bakar Basyaiban
• Sayyid Muhammad
• Sayyid Hasan at-Turabi
• Sayyid Ali
• Al-Imam Muhammad al-Faqih al-Muqaddam
• Sayyid Ali
• Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Syaikh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Gunung Jati (garis perempuan):
• Syarifah Khadijah (Istri Sayyid Abdurrahman bin Umar Basyaiban)[4]
• Maulana Hasanuddin (Dimakamkan di Banten)
• Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, dimakamkan di Cirebon)
• Sayyid Abdullah Umdatuddin
• Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam
• Sayyid Husain Jamaluddin Akbar (Dimakamkan di Bugis).
[4]Di sini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Syaikh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.
Pendidikan
Semenjak kecil Syaikh Kholil tinggal bersama kakaknya, Nyai Maryam binti Abdul Lathif. Nyai Maryam bersama sang suami, Kiai Kaffal, yang merawat dan mendidik beliau. Mengajarinya membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama. Melihat kecerdasan dan bakat Kholil kecil, Kiai Kaffal dan Nyai Maryam berpikir untuk memondokkannya ke sebuah pesantren, agar Syaikh Kholil dapat menimba ilmu dan terdidik lebih serius. Maka mereka pun memilih pesantren Bunga, Gresik, yang diasuh oleh Kiai Sholeh. Namun tidak berapa lama kemudian Syaikh Kholil dimondokkan di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, yang di asuh oleh Kiai Asyik.
Ketika menginjak remaja, beliau pindah ke Pesantren Kebon Candi Pasuruan yang diasuh oleh Kiai Arif. Syaikh Kholil belajar dan tinggal di Pesantren Kebon Candi, namun sambil belajar pada Kiai Nur Hasan Sidogiri. Kiai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya (Kiai Nur Hasan bin Khotim bin Asror Karomah). Setiap berangkat ke Sidogiri, beliau jalan kaki dari Kebon Candi yang berjarak kurang lebih tujuh kilometer.
Untuk mendapatkan ilmu, Syaikh Kholil rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Kebon Candi ke Sidogiri, beliau tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga beliau -dalam perjalanannya itu khatam berkali-kali. Sebenarnya, bisa saja Syaikh Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi beliau untuk tetap tinggal di Kebon Candi, yaitu agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah beliau memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi santri, Syaikh Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Qur’an. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Qur’an).
Kemandirian Syaikh Kholil juga nampak ketika beliau berkeinginan untuk menimba ilmu ke Makkah. Karena pada masa itu, belajar ke Makkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, Syaikh Kholil memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Syaikh Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, beliau mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut beliau tabung. Sedangkan untuk makan, Syaikh Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Syaikh Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Syaikh Kholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Selama dalam perjalanan ke Makkah, beliau selalu dalam keadaan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari banyak digunakan membaca Al-Qur’an dan shalawat, sedangkan pada malam hari digunakan melakukan wirid
dan taqarub kepada Allah. Hal itu dilakukannya terus menerus sampai di Makkah. Setibanya di Makkah, Syaikh Kholil segera bergabung dengan teman-temannya dari Jawa.
Selama di Makkah, Syaikh Kholil belajar dengan Syaikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Makkah ialah Syaikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Mustafa bin Muhammad al- Afifi al-Makki, Syaikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syaikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syaikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjidil Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian beliau lebih banyak mengaji kepada para Syaikh yang bermadzhab Syafi’i.
Sewaktu berada di Makkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Syaikh Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Kholil dan Syaikh Shaleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Syaikh Kholil sewaktu belajar di Makkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Syaikh Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sepulang dari Makkah, Syaikh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencari peluang untuk mengamalkan ilmunya, Syaikh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul.
Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syaikh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syaikh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalah orang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri. Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syaikh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syaikh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.
Setelah yakin bahwa Syaikh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syaikh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syaikh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama.
Sejak saat itu, Syaikh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syaikh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syaikh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (1861 M).
Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syaikh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syaikh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa. Syaikh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa.
Pada tahun 1280 H. (1863 M.) lahirlah putri Syaikh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syakh Kholil) dengan Kiai Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H. Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288 H., Kiai Muntaha yang telah berubah nama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura, saat itu beliau berusia 22 tahun. Maka Syaikh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan hingga sembilan tahun. Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syaikh Kholil pun menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syaikh Kholil sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan.
Murid-Murid
Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Syaikh Kholil. Selain itu, murid Syaikh Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun. Berikut ini sebagian murid Syaikh Kholil yang mudah dikenal saat ini :
• KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
• KH. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.
• KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).
• KH. Bisri Syamsuri : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
• KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah.
• KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Qur’an. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
• KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
• KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
• KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.
• KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
• KH. Asy’ari : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
• KH. Abi Sujak : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
• KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
• KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
• KH. Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan.
• KH Usmuni : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
• KH. Karimullah : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
• KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
• KH. Munawwir : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
• KH. Khozin : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
• KH. Nawawi : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.
• KH. Abdul Hadi : Lamongan.
• KH. Zainudin : Nganjuk
• KH. Maksum : Lasem
• KH. Abdul Fatah : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fattah, Tulungagung.
• KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
• KH. Munajad : Kertosono
• KH. Romli Tamim : Rejoso Jombang
• KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang.
• KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura.
• KH. Hasbullah Abubakar Tebul, Kwayar Bangkalan Madura (Makam Kramat Pantai Kedung Cowek Surabaya)
• KH. Muhammad Thohir Jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
• KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso.
• KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat.
• KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik.
• Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, Pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.
• KH. Abdul Hamid bin Itsbat, Banyuwangi.
Karya Dan Pemikiran
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Syaikh Khalil, akan tetapi beliau meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku.
Ada pun peninggalan Syaikh Khalil diantaranya:
• Pertama, Syaikh Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah
Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Syaikh Khalil yang setelah lulus mendirikan pesantren.
• Kedua, selain Pesantren yang Syaikh Khalil tinggal di Madura –khususnya, beliau juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil beliau didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin ummat.
Syaikh Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri. Beliau adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Syaikh Khalil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan beliau.
Keluarga
Ada sembilan wanita yang tercatat sebagai istri Syaikh Kholil, beberapa diantara mereka beliau nikahi setelah beberapa istri
sebelumnya meninggal dunia. Hal itu sangatlan wajar, karena Syaikh Kholil itu berumur panjang, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau berumur lebih dari seratus tahun, maka beliaupun beberapa kali kedahuluan meninggal oleh istri dan beberapa kali menikah lagi. Itulah sebabnya Syaikh Kholil memiliki istri yang banyak. Mereka adalah:
• Nyai Raden Ayu Assek binti Ludrapati.
• Nyai Ummu Rahma.
• Nyai Raden Ayu Arbi’ah.
• Nyai Kuttab.
• Nyai Raden Ayu Nur Jati.
• Nyai Mesi.
• Nyai Sailah.
Dari sembilan istri itu, hanya empat orang yang menurunkan keturunan Syaikh Kholil. Mereka adalah: Nyai Assek, Nyai Ummu Rahmah, Nyai Arbi’ah dan Nyai Mesi.
Putra-putri Syaikh Kholil
Dengan Nyai Assek:
-Ahmad (Meninggal masih kecil).
-Nyai Khotimah.
-KH. M. Hasan.
Dengan Nyai Ummu Rahma:
-Nyai Rahma.
Dengan Nyai Arbi’ah:
-KH. Imron.
Dengan Nyai Mesi :
-KH. Badawi.
-Nyai Asma’.
Dari keenam putra-putri itu, hanya empat yang menurunkan keturunan sampai sekarang, yaitu selain KH. M. Hasan dan KH. Badawi.
Wafat
Syaikhuna Waliyullah Muhammad Kholil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadhan 1341 H./14 Mei 1923 M. Beliau dimakamkan di Bangkalan Madura.
* Dari berbagai sumber

K.H. Abdul Wahab Hasbullah

K.H. Abdul Wahab Hasbullah
Latar Belakang Dan Nasab
KH. Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, 31 Maret 1888. Ayah beliau adalah Kiai Hasbullah Said, pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah. Kiai Hasbullah adalah putra dari Nyai Fatimah binti Abdus Salam (Kiai Sihah) yang tak lain adalah saudara kandung Nyai Layyinah binti Abdus Salam, ibu dari Nyai Halimah (ibunda Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari).
Pendidikan
Masa pendidikan KH. Abdul Wahab dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, beliau secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh di lingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini beliau diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barzanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul.
Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Kiai Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al-Qur’an dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Abdul Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, beliau dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, KH. Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Di antara pesantren yang pernah disinggahi KH. Ahmad Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy‘ari.
Khusus di Pesantren Tebuireng, beliau cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, beliau menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut.
Setelah merasa cukup bekal dari para ulama di Jawa dan Madura, beliau ke Makkah untuk belajar pada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di sana seperti Syaikh Mahfudz Termas dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selain belajar agama saat di Makkah itu, beliau juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.
Peranan Dalam Bidang Sosial Dan Kebangsaan
KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan ummat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan Nahdhiyyin. Beliau merupakan seorang ulama besar Indonesia yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu KH. Abdul Wahab membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada tahun 1914 M.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Beliau telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan analisis keislaman.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, KH. Abdul Wahab bersama KH. Mas Mansyur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916 M. Dari organisasi inilah KH. Abdul Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH. Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), KH. Alwi Abdul Aziz, KH. Ma’shum (Lasem) dan KH. Cholil (Kasingan Rembang).
Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 M. KH. Abdul Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari memimpin organisiasi ini. Sementara KH. Abdul Wahab menjadi sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah KH. Bisri Syansuri.
Di tengah gencarnya usaha melawan penjajahan muncul persoalan baru di dunia Islam, yaitu terjadinya ekspansi gerakan Wahabi dari Najed, Arab Pedalaman yang menguasai Hijaz tempat suci Makkah dikuasai tahun 1924 M dan menaklukkan Madinah 1925 M.
Persoalan menjadi genting ketika aliran baru itu hanya memberlakukan satu aliran, yakni Wahabi yang puritan dan ekslusif. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali yang selama ini hidup berdampingan di Tanah Suci itu, tidak diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan di Tanah Suci. Anehnya, kelompok modernis Indonesia setuju dengan paham Wahabi.
KH. Abdul Wahab lantas membentuk Komite Khilafat beranggotakan para ulama pesantren, dengan nama Komite Hijaz atas izin KH. Hasyim Asy’ari. Komite ini bertujuan untuk mencegah cara beragama model Wahabi yang tidak toleran dan keras kepala, yang dipimpin langsung Raja Abdul Aziz.
Untuk mengirimkan delegasi ini diperlukan organisasi yang kuat dan besar, maka dibentuklah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926. KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama Syaikh Ghonaim al-Misri yang diutus mewakili NU untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud. Usaha ini direspon baik oleh raja Abdul Aziz.
Beberapa hal penting hasil dari Komite Hijaz ini di antaranya adalah, makam Nabi Muhammad SAW dan situs-situs sejarah Islam tidak jadi dibongkar serta dibolehkannya praktik madzhab yang beragam, walaupun belum boleh mengajar dan memimpin di Haramain.
Seorang Inspirator GP Ansor
Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH. Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH. Abdul Wahab Hasbullah -yang kemudian menjadi pendiri NU- membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah —ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Mahfudz Siddiq, KH. Wahid Hasyim, KH. Dachlan.
Karya Dan Pemikiran
Selain ahli dalam bidang politik, KH. Abdul Wahab adalah seorang ulama tauhid dan juga fiqih yag sangat mendalam dan luas pengetahuannya. Dengan ilmunya itu, itu dengan mudah mampu menerapkan prinsip-prinsip fiqih dalam kehidupan modern secara progresif, termasuk dalam bidang fiqih siyasah.
Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah Wal Jama’ah, menunjukkan kedalaman penguasanya di bidang ilmu dasar tersebut. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah Waljamaah di lingkungan NU.
Dalam tiap bahtsul masail muktamar NU, beliau selalu memberikan pandangannya yang mampu menerobos berbagai macam jalan buntu (mauquf) yang dihadapi ulama lain.
KH. Abdul Wahab sadar betul mengenai pentingnya pendidikan masyarakat umum. Karena itu dirintis beberapa majalah dan surat kabar seperti Berita Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat, dan sebagainya. Beliau sendiri aktif salah seorang penyandang dananya dan sekaligus sebagai penulisnya. Propaganda di sini juga sangat diperlukan dan media ini sangat strategis dalam mepropagandakan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu semakin memperoleh relevansinya ketika KH. Mahfudz Siddiq dan KH. Wahd Hasyim turut aktif dalam menggerakkan pengembangan media massa itu.
Keluarga
Pada tahun 1914 M. KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan putri Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu beliau tinggal bersama mertua di kampung Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 M bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921 M.
Setelah itu KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, putri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebab setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya beliau menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya ini. Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putri Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang selanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas. Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia.
Kemudian KH. Abdul Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah beliau memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama KH. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku KH. Abdul Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setelah itupun beliau menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan KH. Abdul Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib.
Wafat
KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pads tanggal; 29 Desember 1971, empat hari setelah beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam pada Muktamar NU di Surabaya.
* Dari berbagai sumber
K.H. Mas Mansyur
K.H. Mas Mansyur (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 – meninggal di Surabaya, 25 April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan pahlawan nasional Indonesia.
Keluarga
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan terhormat pada saat itu.
Pendidikan
Nyantri pada Kyai Kholil Bangkalan
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, beliau juga belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansyur berusia sepuluh tahun, beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, beliau mengkaji Al-Qur’an dan mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama beliau belajar di sana kurang lebih dua tahun, Kiai Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansyur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
Belajar di Makkah dan Mesir
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan Jawa Timur. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansyur tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansyur tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, beliau sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, beliau belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansyur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Beliau berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu beliau singgah dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 beliau pulang ke Indonesia.
Menikah
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, beliau menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan Loek-loek. Di samping menikah dengan Siti Zakijah, beliau juga menikah dengan Halimah. Beliau menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Bergabung dengan Sarekat Islam
Langkah awal Mas Mansyur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Sarekat Islam. Peristiwa yang beliau saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Beliau dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.
Taswir Al-Afkar
Di samping itu, Mas Mansyur juga membentuk majelis diskusi bersama K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh Masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansyur dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati dari nama yang mereka munculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak mau permasalahan yang mereka diskusikan merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara Mas Mansyur dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah mengenai masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansyur keluar dari Taswir al-Afkar.
Kepenulisan
Mas Mansyur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Soeara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Soeara Santri mendapat sukses yang gemilang. Djinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansyur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas Mansyur mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Di samping itu, Mas Mansyur juga pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansyur pernah dimuat di Siaran dan Kentoengan di Surabaya; Penagandjoer dan Islam Bergerak di Jogjakarta; Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansyur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits Nabawijah; Sjarat Sjahnja Nikah; Risalah Tauhid dan Sjirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Kegiatan di Muhammadiyah
Mulai Aktif Di Muhammadiyah
Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, beliau juga aktif dalam organisasi, meskipun aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansyur masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansyur dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansyur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansyur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.
Terpilih Menjadi Ketua PB Muhammadiyah
Mas Mansyur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada bulan Oktober 1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansyur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam). Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu KH. Hisjam (Ketua Pengurus Besar), KH. Moechtar (Wakil Ketua), dan KH. Sjuja’ sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagoes Hadikoesoemo diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansyur (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansyur menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansyur juga banyak didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.
Gaya kepemimpinan
Terpilihnya Mas Mansyur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah meniscayakannya untuk pindah ke Jogjakarta bersama keluarganya. Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji, melainkan beliau diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, sehingga beliau mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut. Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansyur juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansyur selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya. Namun beliau tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansyur juga banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk pula dicatat, Mas Mansyur tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Beliau berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi beliau melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.
Kegiatan Politik
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansyur juga banyak melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansyur sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, beliau pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansyur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansyur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai tersebut, sehingga beliau memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Meninggal Dunia
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar dari sakitnya. Namun beliau tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya beliau ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Kalisosok. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansyur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu K.H. Fakhruddin.
Pranala Luar
• (Indonesia) Biografi Mas Mansyur di Muhammadiyah.com
Syaikh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Beliau juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa (“tuan guru penyelamat kita dari Gowa”) oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.
Masa Muda Dan Pendidikan
Syaikh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir beliau dinamakan Muhammad Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syaikh Yusuf.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syaikh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.
Kembali dari Cikoang, Syaikh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syaikh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten beliau bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syaikh Yusuf berguru pada Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qadiriyah.
Syaikh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syaikh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syaikh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.
Masa Perjuangan
Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syaikh Yusuf pindah ke Banten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, dan Syaikh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.
Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syaikh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684.
Masa Pembuangan
Sri Lanka
Di Sri Lanka, Syaikh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syaikh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syaikh Yusuf.
Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syaikh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, beliau diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.
Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, Syaikh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika beliau wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.
Sumber
• (Indonesia) “Perjuangannya tak Kenal Surut”, Republika
• artikel di Suara Hidayatullah, Agustus 1999
• Genealogy Bone [1] Genealogy Bone
• Genealogy Gowa [2] Genealogi Gowa
• [3] buginese.com
• Menengok Kampung Macassar di Cape Town
Syaikh Hasyim Asy'ari
Latar Belakang Dan Nasab
Nama lengkapnya Muhammad Hasyim Asy’ari. Beliau lahir di Desa Nggedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada tanggal 10 April 1875 M./ 4 Jumadil Awwal 1292 H. Masa dalam kandungan dan kelahiran beliau, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. di antaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh ke dalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
KH. Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari bin Abdul Wahid, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah binti Kiai Utsman. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fathanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan.
Berdasarkan silsilah KH. Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan dari Sultan Pajang Jaka Tingkir. Berikut silsilahnya: KH. Hasyim Asy’ari bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdur Rahman (Mas Karebet/Jaka Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya).
Pendidikan
Di masa kecil KH. Hasym Asy’ari tinggal bersama kakeknya, Kiai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Ini berlangsung selama 6 tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
KH. Hasyim Asy’ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh KH. Abdullah Faqih), kemudian di Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan Kiai Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., KH. Hasyim Asy’ari yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Makkah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Di Makkah, awalnya KH. Hasyim Asy’ari belajar dibawah bimbingan Syaikh Mahfudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Shahih Bukhari di Makkah. Syaikh Mahfudz adalah ahli hadits dan hal ini sangat menarik minat belajar KH. Hasyim Asy’ari sehingga sekembalinya ke Indonesia pesantren beliau sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadits. Beliau mendapatkan ijazah langsung dari Syaikh Mahfudz untuk mengajar Shahih Bukhari, dimana Syaikh Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadits dari 23 generasi penerima karya ini. Selain belajar hadits beliau juga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
KH. Hasyim Asy’ari juga mempelajari fiqih madzhab Syafi’i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar. Di masa belajar pada Syaikh Ahmad Khatib inilah KH. Hasyim Asy’ari mempelajari Tafsir Al-Manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya beliau mengagumi rasionalitas pemikiran Abduh akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Abduh terhadap ulama tradisionalis.
Gurunya yang lain adalah termasuk ulama terkenal dari Banten yang mukim di Makkah yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Sementara guru yang lain diantaranya Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz at-Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al-Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami KH. Hasyim Asy’ari di tanah suci Makkah. Setelah tujuh bulan bermukim di Makkah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Makkah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Makkah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdo’a untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah.
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Makkah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, sebagai bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
Pada tahun 1313 H./1899 M., sepulangnya dari Makkah, KH. Hasyim Asy’ari memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Nggedang yang diasuh oleh mendiang kakeknya, sekaligus tempat dimana beliau dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu beliau mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Di sinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga KH. Hasyim Asy’ari kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren dan dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanya besar di kalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannya.
Pada tanggal 26 Rabi’ul Awwal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti KH. Abas Buntet, KH. Sholeh Benda Kereb, KH. Syamsuri Wanantara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesulitan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi. Pesantren Tebuireng kemudian berkembang menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Keluarga/b>
Setelah menikah dengan Nyai Nafisah binti Kiai Ya’qub dan putri Kiai Banjar Melati, KH. Hasyim Asy’ari pernah beberapa kali menikah.
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas, pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini beliau dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid
6. Abdul Hakim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10. Muhammad Yusuf
Menjelang akhir tahun 1930 M., KH. Hasyim Asy’ari menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliau dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
3. Chotijah
4. Muhammad Ya’kub
Peranan Dalam Bidang Sosial Dan Kebangsaan
Peran KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan.
Disamping aktif mengajar KH. Hasyim Asy’ari juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sya’ban 1344 H./31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah an-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi Rois Akbar NU, sebuah gelar yang hingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham Ahlussunnah Waljama’ah.
KH. Hasyim Asy’ari juga terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah Belanda. Masa-masa revolusi fisik di tahun 1940 M., barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 M. KH. Hasyim Asy’ari pernah ditangkap dan ditahan di Jombang, dan dipindahkan ke penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan negara Republik Indonesia, yaitu dengan diserukan Resolusi Jihad yang beliau fatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional .
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 KH. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum Dewan Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Karya Dan Pemikiran
KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang produktif menulis. Telah banyak kitab-kitab beliau yang terbit, dan setiap tahunnya pun dikaji dimana-mana. Waktu yang digunakan KH. Hasyim Asy’ari untuk menulis biasanya adalah pagi hari diantara jam 10.00 sampai menjelang Dzuhur.
Tulisan beliau beragam, ada yang menerangkan agama, aqidah, syari’ah, fiqih, hadits, hubungan sesama manusia, politik, etika, sejarah dan sebagainya. Kitab yang beliau tulis merupakan pengalaman yang pernah beliau alami. Seperti Kitab at-Tanbihat al-Wajibat, adalah sebuah kitab yang berisikan pengalaman beliau atas perayaan maulid yang dicampuri dengan berbagai macam kemungkaran. Peristiwa ini terjadi ketika beliau pergi ke Sewulan Madiun pada 1355 H. Ada juga kitab beliau yang berjudul Ziyadah at-Ta’liqot, isinya adalah perdebatan/ikhtilaf beliau dengan Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan yang menolak amaliyah NU.
Beliau juga sering mengisi kolom pada majalah dan surat kabar pada waktu itu, seperti, Panji Masjarakat, Soeara Masjoemi, dan Swara Nahdhotul Oelama’. Tulisan beliau biasanya berbentuk artikel, fatwa, ceramah dan jawaban atas pertanyaan para pembaca (beliau sebagai pengasuh rubrik tanya jawab masalah fiqiyyah).
Untuk membudayakan tradisi tulis menulis di kalangan warga NU, bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah, beliau mendirikan majalah NU dengan nama “Soeara Nahdhotoel Oelama”. Edisi perdananya terbit pada 1 Shafar 1346 H./1930 M. (empat tahun setelah NU didirikan). Selain berisikan informasi penting tentang laju perkembangan NU, di dalamnya juga terdapat berita-berita aktual seputar nasional. Majalah ini memiliki ciri khas yang tak dijumpai majalah lainnya, yakni bertuliskan Jawa pegon (bahasa jawa yang ditulis dengan huruf hijaiyah). Atas prakarsa beliau inilah, kini telah beredar banyak majalah NU di Nusantara hingga menjadikan generasi muda NU gemar untuk tulis menulis.
Adapun karya-karya KH. Hasyim Asy’ari yang dapat ditelusuri dan dijumpai hingga saat ini diantaranya:
1. Al-Tibyan fi an-Nahy ‘an Muqathaah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Penjelasan dalam melarang memutus silaturrahim sanak famili, kerabat dan saudara.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan hukum pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-Aimmah al-Arba’ah. Risalah yang menerangkan memperkuat berpegang teguh atas madzhab empat.
4. Mawaidz. Beberapa Nasihat.
5. Arba’in Haditsan Tata’alliq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar Nahdhatul Ulama’
Kelima kitab karya KH. Hasyim Asy’ari di atas dikumpulkan menjadi satu kitab yang diatasnya diberi judul besar AT-TIBYAN berjumlah 41 halaman.
Kitab-kitabnya yang lain diantaranya:
1. An-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para Rasul.
2. At-Tanbihat al- Wajibatliman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib untuk orang yang mengadakan kegiatan maulid dicampuri dengan kemungkaran.
3. Risalah Ahli Sunnah Waljama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syrat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahlussunnah Waljama’ah menerangkan tentang hadits-hadits yang menjelaskan kematian serta tanda-tanda hari qiyamat dan menjelaskan kefahaman sunnah dan bid’ah.
4. Ziyadah Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syaikh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Tambahan yang berhubungan atas nadzm Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan.
5. Dhu’ul Misbah fi Bayan Ahkam an-Nikah. Cahayanya sebuah yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah.
6. Ad-Durosul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyaroh. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah.
7. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarah Risalah al-Wali Ruslan li Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari. Komentar atas kitab Fath ar-Rahman penjelas Kitab Risalah al-Wali Ruslan karya Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
8. Ar-Risalah at-Tauhidiyah. Risalah tauhid.
9. Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid.
10. Ar-Risalah al-Jama’ah.
11. Ar-risalah fi al-’Aqaid. Menerangkan aqidah.
12. Ar-risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang ilmu tasawuf.
13. Adab al-Alim wal Muta’allim fi maa Yahtaju Ilayh al-Muta’allim fi Ahwali Ta’alumihi wa maa Ta’limihi. Etiika pengajar dan pelajar dalam hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pelajar selama belajar.
Bila Kiai Kholil Bangkalan terkenal dengan sebutan “Syaikhuna Waliyullah” maka KH. Hasyim Asy’ari mendapat gelar “Hadratus Syaikh”. Gelar Maha Guru ini mutlaq diberikan kepada KH. Hasyim Asy’ari sebab hampir seluruh ulama’ tanah Jawa pernah berguru kepada beliau. Tercatat seperti KH. Abdul Karim (pendiri Pesantren Lirboyo Kediri), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Pesantren Tambak Beras), KH. Romly (Pesantren Darul Ulum) dan lain-lain.
Meski beliau menyandang banyak gelar seperti yang dituliskan dalam taqridz atas Kitab Sirajut Thalibin karya Kiai Ihsan Jampes, hal ini tidak menjadikannya sombong. Beliau tidak pernah menyebutkan gelar itu sama sekali. Padahal beliau adalah orang yang paling pas untuk mendapatkan gelar tersebut. Terbukti pada manuskrip asli karya-karya beliau. Di sana tidak ditemukan embel-embel yang menyertai nama beliau , seperti Kiai, Haji, Syaih, Alim, apalagi al-Allamah. Akan tetapi beliau lebih memilih embel-embel yang bersifatnya merendahkan diri kepada Allah. Beliau selalu menulis kata-kata al-Faqir (yang faqir), al-Haqir (yang hina), sebelum namanya disebut. Inilah salah satu sifat tawadhu’ yang beliau miliki.
Wafat
Pada tanggal 6 Ramadhan 1366 H. jam 9 malam, setelah mengimami shalat Tarawih, sebagaimana biasanya KH. Hasyim Asy’ari duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping KH. Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa KH. Hasyim Asy’ari terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Allah SWT berkehendak lain pada kekasihnya itu. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan tanggal 6 Ramadhan 1366 H.
* Dari berbagai sumber
Syaikh Nawawi al-Bantani
Latar Belakang Dan Nasab
Indonesia pernah memiliki seorang ulama termasyhur di jazirah Arab. Beliau menjadi imam di Masjidil Haram, mengajar di Haramain, menulis buku yang tersebar di Timur Tengah. Dialah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Namanya sangat terkenal di Saudi hingga dijuluki “Sayyid Ulama al-Hijaz”, yakni ulama di kawasan Hijaz. Kefakihannya dalam agama pun membuatnya dijuluki Nawawi ats-Tsani atau Nawawi Kedua, maksudnya penerus ulama dunia terkenal, Imam Nawawi (wafat 676 H./1277 M.)
Nama dan gelar lengkap beliau, yakni Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Beliau lahir di Kampung Pesisir Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, pada tahun 1230 H. atau 1815 M.
Ayah Syaikh Nawawi al-Bantani bernama Kiai Umar bin Arabi dan ibunya bernama Zubaidah. Keduanya adalah penduduk asli desa Tanara kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang, Banten. Ayahnya seorang ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami Desa Tanara itu dan pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah tersebut. Secara geneologis, Syaikh Nawawi merupakan keturunan ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten I).
Silsilah keturunan Syaikh Nawawi dari ayahnya adalah Umar bin Arabi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Masbugil bin Masqun bin Masnun bin Maswi bin Tajul Arusy Tanara bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah bin Amatudin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Sahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Mubajir Ilalahi bin Imam Isya Al-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Aridhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Sayyidatuna Fatimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW.:
Adapun silsilah keturunan pihak Ibunya adalah bahwa Syaikh Nawawi putra Nyi Zubaidah binti Muhammad Singaraja.
Dalam masalah-masalah Agama keluarga Syaikh Nawawi termasuk keluarga besar yang menonjol di daerahnya. Semua anggota keluarganya adalah orang-orang yang suka menuntut ilmu khususnya ilmu-ilmu pengetahuan agama. Ini semua membukakan jalan seluas-luasnya bagi Syaikh Nawawi untuk meraih sukses dalam bidang ilmu pengetahuan.
Pendidikan
Pada usia lima tahun, Syaikh Nawawi al-Bantani belajar langsung dibawah asuhan Ayahandanya. Dari ayahnyalah Syaikh Nawawi mendapatkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu Agama seperti bahasa Arab, tauhid, fiqih dan tafsir. Setelah itu barulah beliau dan kedua adiknya, Ahmad dan Tamim belajar kepada ulama ulama lain seperti Kiai Sahal di Banten dan Kiai Yusuf seorang Ulama terkenal di Purwakarta.
Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai pengembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur, setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar bahasa.
Syaikh Nawawi adalah seorang ulama yang haus akan ilmu pengetahuan. Setelah belajar kepada orang tuanya sendiri dan beberapa ulama di Jawa, dalam usianya yang relatif muda, 15 tahun, Syaikh Nawawi bersama kedua saudaranya Tamin dan Ahmad berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Tapi, setelah musim haji usai, beliau tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan beliau bertahan di Kota Suci Makkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama terkenal pada zaman itu, di antaranya adalah Syaikh Ahmad an-Nahrawi, Syaikh Ahmad ad-Dumyati, Syaikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syaikh Zainuddin Aceh, Syaikh Ahmad Khathib Sambas, Syaikh Syihabuddin, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Abdul Hamid Daghastani, Syaikh Yusuf Sunbulawani, Syaikhah Fatimah binti Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syaikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syaikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syaikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syaikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani.
Setelah merasa bekal ilmunya cukup, Syaikh Nawawi kembali ke tanah air. Beliau lalu mengajar di pesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Syaikh Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar.
Murid-Murid
Akhirnya, kembalilah Syaikh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan beliau menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syaikh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Syaikh Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah beliau menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, beliau juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia.
Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Makkah ditahun 1884-1885 M menyebut, Syaikh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya.
Diriwayatkan bahwa Syaikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab. Barangkali ulama Banten yang terkenal itu kurang menguasai bahasa Melayu yang lebih umum dan luas digunakan pada zaman itu. Oleh sebab itu, maka tidak banyak muridnya yang berasal dari luar Jawa.
Adapun murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang menjadi ulama terkenal sangat banyak, di antaranya adalah, Syaikh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jawa Timur). Murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang terkenal lainnya ialah KH. Raden Asnawi (Kudus, Jawa Tengah), KH. Tubagus Muhammad Asnawi (Caringin, Purwakarta, Jawa Barat), Syaikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Syaikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani, Syaikh Kholil Madura dan masih banyak lagi.
Salah seorang cucunya, yang juga mendapat pendidikan sepenuhnya dari beliau ialah Syaikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani al-Jawi (1285 H/1868 M – 1324 H/1906 M). Pada halaman pertama Al-Aqwalul Mulhaqat, Syaikh Abdul Haq al-Bantani menyebut bahwa Syaikh Nawawi al-Bantani adalah orang tuanya (Syaikhnya), orang yang memberi petunjuk dan pembimbingnya. Pada bagian kulit kitab pula beliau menulis bahwa beliau adalah ‘sibthun’ (cucu) an-Nawawi Tsani. Selain orang-orang yang tersebut di atas, banyak murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 M. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin pemberontak Cilegon ialah: Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Semuanya adalah murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang dididik di Makkah.
Karya-Karya
Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syaikh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, beliau tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Beliau termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syaikh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis.
Ulama asal Mesir, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kitabnya “al-Durûs min Madhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Haram” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas) seperti:
1. Targhibul Musytaqin, selesai Jum’at, 13 Jumadil Akhir 1284 H./1867 M. Cetakan awal Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1311 H.
2. Fat-hus Shamadil `Alim, selesai awal Jumadil Awal 1286 H./1869 M. Dicetak oleh Mathba’ah Daril Kutubil Arabiyah al-Kubra, Mesir 1328 H.
3. Syarah Miraqil `Ubudiyah, selesai 13 Dzulkaidah 1289 H./1872 M. Cetakan pertama Mathba’ah al-Azhariyah al-Mashriyah, Mesir 1308 H.
4. Madarijus Su’ud ila Iktisa’il Burud, mulai menulis 18 Rabi’ul Awal 1293 H./1876 M. Dicetak oleh Mathba’ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, akhir Dzulkaidah 1327 H.
5. Hidayatul Azkiya’ ila Thariqil Auliya’, mulai menulis 22 Rabi’ul Akhir 1293 H./1876 M. selesai 13 Jumadil Akhir 1293 H./1876 M. Diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan, Surabaya, tanpa menyebut tahun penerbitan.
6. Fat-hul Majid fi Syarhi Durril Farid, selesai 7 Ramadhan 1294 H./1877 M. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1304 H.
7. Bughyatul `Awam fi Syarhi Maulidi Saiyidil Anam, selesai 17 Shafar 1294 H./1877 M. Dicetak oleh Mathba’ah al-Jadidah al-’Amirah, Mesir, 1297 H.
8. Syarah Tijanud Darari, selesai 7 Rabi’ul Awal 1297 H./1879 M. Cetakan pertama oleh Mathba’ah `Abdul Hamid Ahmad Hanafi, Mesir, 1369 M.
9. Syarah Mishbahu Zhulmi `alan Nahjil Atammi, selesai Jumadil Awal 1305 H./1887 M. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1314 H. atas biaya saudara kandung pengarang yaitu Syaikh Abdullah al-Bantani.
10. Nasha-ihul `Ibad, selesai 21 Shafar 1311 H./1893 M. Cetakan kedua oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1323 H.
11. Al-Futuhatul Madaniyah fisy Syu’bil Imaniyah, tanpa tarikh. Dicetak di bagian tepi kitab nomor 10, oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1323 H.
12. Hilyatus Shibyan Syarhu Fat-hir Rahman fi Tajwidil Quran, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Makkah, 1332 H.
13. Qatrul Ghaits fi Syarhi Masaili Abil Laits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Makkah, 1321 H
14. Mirqatu Su’udi Tashdiq Syarhu Sulamit Taufiq, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah, Makkah 1304 H.
15. Ats-Tsimarul Yani’ah fir Riyadhil Badi’ah, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Bahiyah, Mesir, Syaban 1299 H. Dicetak juga oleh Mathba’ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, 1342 H.
16. Tanqihul Qaulil Hatsits fi Syarhi Lubabil Hadits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyah, Mesir, tanpa tarikh.
17. Bahjatul Wasail bi Syarhi Masail, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Haramain, Singapura-Jeddah, tanpa tarikh.
18. Fat-hul Mujib Syarhu Manasik al- ‘Allamah al-Khatib, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah at-Taraqqil Majidiyah, Makkah, 1328 H.
19. Nihayatuz Zain Irsyadil Mubtadi-in, tanpa tarikh. Diterbitkan oleh Syarikat al-Ma’arif, Bandung, Indonesia, tanpa tarikh.
20. Al-Fushushul Yaqutiyah `alar Raudhatil Bahiyah fi Abwabit Tashrifiyah, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Bahiyah, Mesir, awal Syaaban 1299 H.
Karya tafsirnya, al-Munir sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi dan Imam Jalaluddîn al-Mahalli yang sangat terkenal itu. Sementara Kasyifah al-Saja merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Naja, karya Syaikh Salim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis ketimbang matan yang dikomentarinya.
Karya-karya beliau di bidang Ilmu Aqidah misalnya Tîjan al-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja. Adapun Qami’u al-Thugyan, Nashaih al-‘Ibad dan Minhaj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih karya beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain. Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci.
Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.
Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, beliau mendapat gelar : Sayyid Ulama al-Hijaz, Al-Imam wa Al-Fahm al- Mudaqqiq, A’yan Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah, Imam Ulama al-Haramain.
Pemikiran
Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syaikh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, beliau memiliki caranya tersendiri. Syaikh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti beliau kooperatif dengan mereka. Syaikh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Beliau lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syaikh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Al Qur’an dan Al-Hadits, selain juga Ijma’ dan Qiyas . Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syaikh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fiqih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.
Wafat
Syaikh Nawawi al-Bantani wafat pada 25 Syawal 1314 H. atau bertepatan pada tahun 1897 M. dalam usia 84 tahun. Di tempat kediamannya di kampung Syi’ib Ali, sebuah kawasan di pinggiran kota Makkah, jenazahnya dimakamkan di pemakaman Ma’la Makkah, berdekatan dengan makam Ibnu Hajar dan Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq. Syaikh Nawawi al-Bantani wafat pada saat sedang menyusun buku yang menguraikan Minhaj ath-Thalibin-nya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah Hujam an-Nawawi.
Dalam perjalanan hidupnya Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam dan Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.
Karomah
1. Menjadikan telunjuknya lampu
Pada suatu waktu beliau pernah mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau yang dijadikan sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf atau rumah-rumahan, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu agar dapat menerangi jari kanannya yang digunakan untuk menulis itu. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang.
2. Melihat Ka’bah dengan telunjuknya
Karomah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan.
Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah SAW yaitu Sayyid Utsman bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi. Masjid Ulama dan Mufti Betawi itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsman sendiri.
Kemudian, beliau kedatangan anak remaja (Syaikh Nawawi) yang menyalahkan arah kiblatnya. Saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya itu menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsman. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsman tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojannya itu sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesjidnya itu harus dibetulkan.
Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi meletakan tangan kirinya ke bahu Sayyid Utsman (merangkul) dan tangan kanannya menunjuk sesuatu.
Syaikh Nawawi berkata: “Lihatlah Sayyid!, itulah Ka΄bah tempat kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak ke kiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah”. Sayyid Utsman termangu dan keheranan. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsman merasa takjub dan menyadari remaja yang bertubuh kecil dihadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun beliau berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsman langsung memeluk tubuh kecil beliau dan berjabat tangan sambil bermaksud mencium tangannya. Ketika Sayyid Utsman ingin mencium tanganya, ditariklah tangannya (Syaikh Nawawi), Sayyid Utsman pun kebingungan mengapa beliau tidak mau?, Sayyid Utsman pun bertanya dan Syaikh Nawawi menjawab: “Karena saya tidak pantas untuk bersalaman sambil dicium begitu olehmu”.
Subhanallah alangkah bagusnya akhlak beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.
3. Mayatnya yang luarbiasa
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek, masih harum dan tidak lapuk sedikitpun.
Tentu saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil.
Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Makkah dan yang paling aneh kuburan beliau satu-satunya kuburan yang tumbuh rumput bahkan rumputnya hijau dan bagus. Subhanallah.
4. Tidur di lidah ular
Konon pada suatu malam hari dimana beliau melanjutkan perjalanannya ke Makkah, beliau kelelahan dan mencari sebuah gubuk yang tak berpenghuni atau saung. Setelah mencari-cari akhirnya beliau menemukan lampu yang sangat redup dan kecil. Akhirnya beliau tiba di suatu tempat tersebut dan memulai untuk beristirahat. Saking lelahnya tidurlah beliau dengan meletakan tongkatnya dengan posisi berdiri.
Pagi pun datang dan beliau terbangun dari tidurnya untuk sholat dan kemudian melanjutkan perjalananya. Setelah kurang lebih 7 langkah dari tempat peristirahatannya itu, beliau menyentuh darah dari ujung tongkatnya tersebut, dengan heran kemudian beliau menoleh ke belakang dan menemui ular raksasa yang sedang beranjak pergi. Tanpa disadari ternyata semalem beliau tidur di lidah seekor ular raksasa dan tongkatnya yang berposisi berdiri tersebut merintangi kedua gigi ular itu. Beliau pun langsung menyebut kalimat istighfar dan memuji kebesaran Allah SWT dengan mengucapkan kalimat kebesaran-NYA.
5. Mengeluarkan buah rambutan dari tangannya
Di Makkah beliau mendirikan tempat mengajar/sekolah dengan murid yang lumayan banyak.
Di suatu hari beliau menerangkan kepada para santri-santrinya.
Syaikh Nawawi: “Sunnah Islam kalau berbuka puasa itu hendaknya memakan yang manis-manis terlebih dahulu, kalau di sini terdapat buah kurma, di tempatku ada yang tidak kalah manisnya dengan kurma”
Santri-santri:” Betul syaikh kalo di tempat kami kurma, lalu bagaimana dengan tempat syaikh yang tidak tumbuh buah kurma?”
Syaikh Nawawi: “Sebentar”.
Syaikh Nawawi langsung menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya. Santri-santri pun sangat heran apa yang dilakukan gurunya tersebut dan terdengar di telinga para santri suara seperti orang yang sedang mengambil buah-buahan dari pohonnya.
Kemudian Syaikh Nawawi menyuguhkan buah rambutan yang persis seperti baru diambil dari pohonnya. Santri-santri pun sangat terheran-heran dengan apa yang dilakukan oleh gurunya tersebut.
“Nah ini yang aku makan pertama ketika berbuka puasa di tempatku, silahkan dicicipi”, kata Syaikh Nawawi sambil membagikannya kepada para santri di kelasnya mengajar.
Para santri pun langsung mencicipi dan sangat menikmati kemanisan buah rambutan yang diberikan gurunya itu.
Kesimpulan
1. Syaikh Nawawi al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Mahfudz Termas. Ini menunjukkan bahwa keilmuannya sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syaikh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898 M., lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar, jika beliau dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi, Khadijah di Ma’la.
2. Syaikh Nawawi al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” yang berarti “Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama Hijaz” atau “Akar dari Ulama Hijaz”. Yang menarik dari gelar di atas adalah beliau tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi” sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi di tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau juga mendapat gelar “al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq” yang berarti “Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam”. Snouck Hourgronje memberi gelar “Doktor Teologi”.
3. Pada tahun 1870 M., Syaikh Nawawi diundang para ulama Universitas Al-Azhar dalam sebuah seminar dan diskusi, sebagai apresiasi terhadap penyebaran buku-buku Syaikh Nawawi di Mesir. Ini membuktikan bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syaikh Nawawi al-Bantani.
4. Paling tidak terdapat 34 karya Syaikh Nawawi yang tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Namun beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai alim terpandang di Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.
5. Kelebihan dari Syaikh Nawawi al-Bantani adalah menjelaskan makna terdalam dari bahasa Arab, termasuk sastra Arab yang susah dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan Syaikh Nawawi memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar jika syarah Syaikh Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai maksud penulis awal. Bahkan, di Indonesia dan beberapa segara lain, syarah Syaikh Nawawi paling banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan dibandingkan dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.
6. Syaikh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam penuh perdebatan ekstrim antara pemikiran yang berorientasi pada syari’at dan mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu sisi (seperti Wahabi) serta sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan syari’at di sisi lain (seperti tarekat aliran Ibn Arabi). Kelebihan dari Syaikh Nawawi adalah mengambil jalan tengah di antara keduanya. Menurutnya, syari’at memberikan panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian rohani. Karena itu, seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syari’at dengan baik, namun rohaninya masih kotor. Hal sama juga berlaku bagi seorang sufi. Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang hakiki, bukan kesucian rohani yang semu, jika ia melanggar atau malah menabrak aturan syari’at. Selain itu, di masa itu juga muncul pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan aqli dan mengabaikan naqli atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli. Namun Syaikh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya, bahwa dalil naqli dan aqli harus digunakan secara bersamaan. Namun jika ada pertentangan di antara kedunya, maka dalil naqli harus diutamakan.
7. Dalam konteks Indonesia, Syaikh Nawawi merupakan tokoh penting yang memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Teologi ‘Asy’ariyah. Teologi ini merupakan teologi jalan tengah antara Teologi Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi Jabariyah yang menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
8. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi dengan baik oleh Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, banyak kalangan yang berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara berpikir yang dianut oleh Syaikh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri NU, KH. Hasyim ‘Asy’ari merupakan salah satu murid dari Syaikh Nawawi al-Bantani.
9. Dalam konteks penjajahan, Syaikh Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa bekerja sama dengan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Karena itu, murid-murid Syaikh Nawawi al-Bantani merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan Belanda, misalnya, merupakan salah satu contoh dari karya murid Syaikh Nawawi. Karena itu, wajar jika Syaikh Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata” Snouck Hourgronje.
10. Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesianis dari Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu menggunakan kitab-kitab yang ditulis Syaikh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin, sekurang-kurangnya 22 karangan Syaikh Nawawi yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren itu.
* Dari berbagai sumber
Datuk Ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di wilayah timur nusantara, yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gantarang (Sulawesi) serta Kerajaan Kutai (Kalimantan) dan Kerajaan Bima (Nusa Tenggara). Datuk Ri Bandang bersama dua orang saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dengan gelar Khatib Sulung dan Datuk Ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu dan seorang temannya, Tuan Tunggang Parangan melaksanakan syiar Islam sejak kedatangannya pada penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya ke kerajaan-kerajaan yang ada di timur nusantara pada masa itu.[1][2]
Dakwah Islam
Pada awalnya, Datuk Ri Bandang berdakwah di Makassar (Kerajaan Gowa, Sulawesi), tapi karena situasi masyarakat yang belum memungkinkan beliau pergi ke Kutai (Kerajaan Kutai, Kalimantan), dan melaksanakan syiar Islam bersama temannya, Tuan Tunggang Parangan di kerajaan tersebut. Namun akhirnya beliau kembali lagi ke Gowa karena melihat kondisi yang juga belum kondusif. Temannya, Tuan Tunggang Parangan tetap bertahan di Kutai, dan akhirnya berhasil mengajak Raja Kutai (Raja Mahkota) beserta seluruh petinggi kerajaan masuk Islam.
Setelah kembali lagi ke Makassar, Datuk Ri Bandang bersama dua saudaranya Datuk Patimang dan Datuk Ri Tiro menyebarkan agama Islam dengan cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan keahlian yang mereka miliki dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar ketika itu. Datuk Ri Bandang yang ahli fikih berdakwah di Kerajaan Gowa dan Tallo, sedangkan Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sementara Datuk Ri Tiro yang ahli tasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba[3]
Pada mulanya Datuk Ri Bandang bersama Datuk Patimang melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut agama Islam. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dengan wilayah yang meliputi Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur serta Kota Palopo, Tana Toraja, Kolaka (Sulawesi Tenggara) hingga Poso (Sulawesi Tengah).
Dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang dilakukan Datuk Ri Bandang dan Datuk Patimang dapat diterima Raja Luwu dan masyarakatnya. Bermula dari masuk Islam-nya seorang petinggi kerajaan yang bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan masuk Islam-nya raja Luwu yang bernama Datu’ La Pattiware Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, beserta seluruh pejabat istananya setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama dan raja tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah itu agama Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-pun dijadikan sumber hukum bagi kerajaan.[4]
Wafat
Setelah Raja Luwu dan keluarganya beserta seluruh pejabat istana masuk Islam, Datuk Ri Bandang pergi dari Kerajaan Luwu menuju wilayah lain di Sulawesi Selatan dan kemudian menetap di Makassar sambil melakukan syiar Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng. Dakwah Islam yang dilaksanakan Datuk Ri Bandang akhirnya juga berhasil mengajak Raja Gowa, I Manga’rangi Daeng Manrabia dan Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyonri beserta rakyatnya masuk Islam. Dikemudian hari sang ulama itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di wilayah Tallo.
Sementara itu Datuk Patimang menetap di Kerajaan Luwu dan meneruskan syiar Islamnya ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan lain-lain yang masih banyak belum masuk Islam. Dikemudian hari sang penyebar Islam itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu. Sedangkan Datuk Ri Tiro melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro, Bulukumba, Bantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan mantera-mantera. Datuk Ri Tiro yang kemudian berhasil mengajak raja Karaeng Tiro masuk Islam dikemudian hari juga wafat dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.
Referensi
1.^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia, Volume 3
2.^ http://www.wisatanews.com Tradisi Hanta Ua Pua, Bentuk Penghormatan Atas Rasulullah dan Ulama
3.^ Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII
4.^ http://www.seputar-indonesia.com JEJAK ULAMA DI SULSEL – Datuk Sulaiman, Penyebar Islam di Luwu