Memahami Pancasila dari Berbagai Sudut Sejarah

TERUNGKAP, SEJAK AWAL NU DAN MUHAMMADIYAH MENOLAK PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA.

Oleh : Ali Baharsyah

Jangan terburu2 menuduh PKI atau radikal kepada mereka yang tidak setuju pancasila. Kerena tokoh2 Islam pendiri bangsa Ini juga menolak Pancasila.

NU ketika masih bergabung dengan PPP pasca dibubarkannya Partai Masumi dianggap kelompok garis keras oleh rezim orde baru  karena paling lantang menolak Pancasila.

Dibawah ini ada satu  tulisan panjang tapi menarik dibawa ditulis oleh salah seorang staf UGM  disarikan dari desertasi doctoral  Faisal Ismail.

Selamat Membaca.

....
NU dan Pancasila: Dulu dan Kini
admin - Oktober 23, 2017
Azis Anwar | CRCS | Perspektif

Nahdlatul Ulama (NU) kini telah menjadi salah satu ormas Islam yang lantang mendukung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Diberitakan di website NU, peringatan Hari Santri 22 Oktober tahun ini mengambil tema Meneguhkan Peran Santri dalam Bela Negara, Menjaga Pancasila, dan NKRI.

Di antara ormas-ormas Islam, NU paling keras suaranya dalam mendukung penerapan Perppu 2/2017 untuk membubarkan ormas yang mengampanyekan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Sepekan sebelum peringatan Hari Santri, dikabarkan lebih dari 20 ribu Nahdliyin berkumpul di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, mendeklarasikan “Front Penggerak Pancasila”.

Terkait sikapnya dengan Pancasila, sesungguhnya NU mengalami pergulatan yang dinamis. Di awal-awal perumusan Pancasila, perwakilan NU menginginkan Islam sebagai dasar negara. Sikap ini berubah seiring perubahan rezim dan konfigurasi politik.

Masa Perumusan

Pada masa sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) untuk membuat rancangan konstitusi (UUD), perwakilan NU kala itu, Kiai Wachid Hasjim (bapaknya Gus Dur) ingin mempertahankan “tujuh kata” (“dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja”) setelah kata “Ketoehanan”, sebagaimana dinyatakan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hasil kesepakatan Panitia Sembilan.

Wachid Hasjim juga mengusulkan untuk dimasukkan dalam rancangan konstitusi bahwa presiden Indonesia harus seorang Muslim dan bahwa negara Indonesia berdasarkan Islam, bukan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang kini tercantum di pasal 29 UUD ’45.

Perwakilan Indonesia Timur Johanes Latuharhary sempat keberatan dengan “tujuh kata” itu. Namun Wachid Hasjim bersikukuh bahwa itu sudah merupakan kesepakatan Panitia Sembilan. Sukarno, dengan berlinang air mata, membujuk agar yang tak setuju dengan Piagam Jakarta bersedia berkorban karena itu merupakan “hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan paham antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.” Usulan Kiai Wahid Hasyim terpenuhi hingga akhir sidang BPUPK.

“Tujuh kata” beserta turunannya itu  baru dicoret dalam pertemuan selama 15 menit yang diinisiasi oleh Mohammad Hatta pada pagi hari menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 untuk mengesahkan UUD. Dalam lobi singkat untuk mencoret “tujuh kata” itu, Mohammad Hatta membujuk tokoh Islam.

(Komposisi anggota PPKI berbeda dari BPUPK. Jika anggota BPUPK dipilih berdasarkan latar belakang ideologis dan perwakilan golongan, anggota PPKI tersusun  terutama dari perwakilan kedaerahan dan organisasi. Dari 27 anggota PPKI, hanya 4 saja yang bisa dihitung “mewakili” Islam, yaitu Wachid Hasjim [NU], Ki Bagus Hadikoesoemo [Muhammadiyah], Kasman Singodimedjo [komandan PETA], dan Teuku Hasan [Aceh].)

Dalam Memoir-nya, Hatta menyatakan telah membujuk keempat tokoh Islam di PPKI itu untuk mencoret “tujuh kata”. Namun dalam catatan AB Kusuma, yang dikutip di buku Yudi Latif (kini kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila [UKP-PIP]), Wachid Hasjim tidak hadir dalam lobi itu karena sedang ke Surabaya dan barangkali Hatta lupa. Jika catatan AB Kusuma ini benar, berarti tidak ada perwakilan “golongan Islam” yang menandatangani Piagam Jakarta yang ikut dalam momen krusial pencoretan “tujuh kata” itu. Pada kenyataannya, nantinya pada sidang Badan Konstituante 1956-1959 untuk membuat konstitusi baru, “kelompok Islam” menyatakan “kelompok Pancasila” telah melakukan intrik politik dalam pencoretan “tujuh kata” dari Piagam Jakarta.

Masa Orde Lama

Di Badan Konstituante, NU bersama Masyumi berada dalam kelompok Islam yang mengadvokasi Islam sebagai dasar negara melawan kelompok Pancasila yang tersusun dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan partai-partai kecil lain.

Dalam sidang Konstituante, perwakilan NU Kiai Ahmad Zaini menyatakan Pancasila adalah “rumusan kosong” yang ambigu dan dapat mengakui keberadaan “penyembah pohon”. Perwakilan NU lainnya, Saifuddin Zuhri (bapak dari Menteri Agama sekarang), menyatakan bahwa sila pertama Pancasila kabur maknanya dan dapat ditafsirkan oleh tiap kelompok agama sesuai keinginan mereka sendiri.

Pendeknya, kelompok Islam (NU dan Masyumi) berpandangan bahwa Islam merupakan dasar yang lebih jelas dan komprehensif dibanding Pancasila. Persoalan dasar negara ini membuat sidang Konstituante menemui jalan buntu. Karena kegagalan tiap kelompok untuk memperoleh kuorum 2/3 dari total suara tiap kali diadakan pemungutan suara, Sukarno akhirnya membubarkan Konstituante melalui dekret presiden 5 Juli 1959. Dekret ini menyatakan UUD ‘45 kembali aktif sebagai konstitusi dan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD ’45. (Ambiguitas makna “menjiwai” ini di kemudian hari masih mempengaruhi diskursus hubungan Islam dan negara dalam konstitusi dan perundang-undangan dan sempat terangkat dalam upaya reformasi konstitusi pasca-Orde Baru.)

Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru, rezim Soeharto ingin menerapkan Pancasila hampir di segala lini kehidupan: dari demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, hingga moral Pancasila. Mengklaim ingin melindungi Pancasila dari ancaman ideologi Islam, rezim merestrukturisasi partai-partai politik menjadi tiga, dengan semua partai Islam (NU, PSII, Perti, dan Parmusi—Partai Masyumi pada saat itu sudah dibubarkan) berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pada 1970-an, untuk menentang kebijakan rezim mengenai Pancasila, terutama mengenai penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) untuk pegawai negeri dan umum dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk siswa-siswi di sekolah, Kiai Bisri Syansuri, ketua Dewan Penasehat PPP dan Rais Syuriah NU, berfatwa wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk memilih PPP, satu-satunya partai Islam, sekalipun berrisiko kehilangan jabatan dan pekerjaan.

Pada Sidang Umum MPR 1978 mengenai legalisasi P4, PPP dipimpin Kiai Bisri keluar dari sidang (walk out) sebagai bentuk protes. Pada 1970-an, orang-orang NU di dalam PPP dipandang sebagai orang-orang garis keras oleh rezim. NU pada dekade ini menjadi oposan paling kritis terhadap rezim, satu hal yang membuat rezim berupaya mempenetrasi PPP dan mengganti orang-orang NU dengan yang lebih bersahabat dengan rezim.

Perubahan Sikap

Posisi NU terhadap Pancasila mulai berubah pada dekade selanjutnya, 1980-an, terutama setelah rezim Orde Baru mengumumkan rencana untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi massa. PPP dan ormas-ormas Islam tentu menghadapi pilihan sulit: berkompromi agar partai/organisasi tetap hidup atau dibubarkan.

NU pada dekade itu mulai mengubah haluan sikapnya terhadap rezim, dari konfrontasi menjadi bersedia kompromi. NU menunjukkan penerimaannya terhadap Pancasila pada Munas 1982 dan mendeklarasikannya secara resmi pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Keputusan penting lain dari muktamar itu ialah NU kembali ke “khittah1926” sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) dan tak ingin lagi terlibat dalam “politik praktis”, yang kemudian diwujudkan dengan keluar dari PPP. Arsitek dari manuver ini adalah Kiai Achmad Siddiq (yang kemudian menjadi Rais ‘Aam Syuriah NU) dan Gus Dur (yang kemudian menjadi Ketua Umum PBNU).

NU menjadi yang pertama dari semua ormas Islam dalam menerima Pancasila sebagai asas organisasi, bahkan sebelum UU Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan diumumkan resmi oleh rezim. (NU merumuskan pada 1983, resmi pada 1984; Muhammadiyah merumuskan pada 1983 dan resmi pada muktamar 1985.) NU juga merumuskan argumen-argumen keislaman untuk menunjukkan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Argumen-argumen ini bahkan kemudian diadopsi oleh Departemen Agama, diwujudkan dalam buku Pedoman Pelaksanaan P4 bagi Umat Islam, untuk dijadikan model bagi ormas-ormas Islam lain.

Argumen bernada anekdotal dari Kiai Achmad Siddiq misalnya menyatakan: “Ibarat makanan, Pancasila sudah dikunyah dan ditelan sekian lama, kok baru sekarang dibahas halal-haramnya?”

Argumen yang lebih serius, misalnya dari Gus Dur, menyatakan bahwa fikih tidak saja membagi dunia hanya dalam dua kawasan: darul-Islam (negeri Islam) dan darul-harb (negeri perang). Ada alternatif ketiga, yakni darus-shulh atau negeri tempat umat Islam dapat hidup damai dan menjalankan Islam meski negeri itu tak diatur dengan hukum Islam. (Muhammadiyah punya istilah berbeda tapi kurang lebih sama maknanya: darul-‘ahdi was-syahadah atau negeri konsensus dan persaksian—istilah ini resmi diperkuat lagi dalam muktamar ke-47 Muhammadiyah pada 2015.) Dalam argumen ini, negara Pancasila adalah contoh dari darus-shulh atau darul-‘ahdi was-syahadah itu.

Ideologis atau Pragmatis?

Yang menjadi pertanyaan besar di sini dan membuat para analis berbeda pendapat ialah: apa yang melatarbelakangi keputusan NU untuk berubah haluan menjadi menerima Pancasila pada 1980-an itu? Apakah manuver ini bersifat tulus secara ideologis atau sekadar pragmatisme politis belaka?

Sebagian analis menyatakan itu tak murni ideologis dan lebih banyak dipengaruhi oleh konfigurasi politik saat itu. Kalau saja Orde Baru tak memaksakan asas tunggal Pancasila, NU kemungkinan masih tak menerima Pancasila. Faktor lainnya ialah retaknya hubungan antara NU dan PPP. NU adalah basis mayoritas pendukung PPP namun orang NU kurang terakomodasi secara proporsional di kalangan elite PPP. Dengan kata lain, keputuan NU untuk kembali ke khittah 1926 juga memiliki latar belakang politik, yakni dishamorni dengan PPP. (Pada pemilu 1987, NU melakukan “aksi penggembosan” terhadap PPP dan membuat suara PPP jatuh.)

Namun penjelasan dari Gus Dur, sebagaimana tertuang dalam pengantar terhadap buku Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila (1989), tampak ingin menunjukkan bahwa itu merupakan manuver ideologis yang selaras dengan ajaran Ahlussunnah wal-Jamaah. Menurut Gus Dur, NU dalam Konstituante memperjuangkan Islam karena itu bagian dari “idealisme”. Tapi karena ia tak berhasil, harus ada pilihan lain, yaitu alternatif ketiga sebagai darus-shulh. Dalam penjelasannya, Gus Dur mengutip kaidah fikih (dan Gus Dur kerap kali mengutip beragam kaidah fikih untuk menjelaskan manuver politiknya) yang berbunyi “apa yang tak dapat diwujudkan semuanya, jangan tinggalkan semuanya” (ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu).

Saya pribadi tak sepenuhnya puas dengan penjelasan Gus Dur ini. Salah satu pertanyaan yang masih tersisa adalah: mengapa argumen seperti yang disampaikan Gus Dur  itu tak muncul sejak awal perumusan Pancasila dan dalam sidang Konstituante? Andai saja demikian sedari awal, dan NU misalnya bergabung dengan kelompok Pancasila, kemungkinan Konstituante untuk mencapai kuorum lebih besar; kita punya konstitusi baru yang lebih kuat sebagai suatu produk konsensus; dan dampaknya besar terhadap diskursus umat Islam sejak republik ini baru berusia remaja.

Kendati demikian, di luar soal apakah ia merupakan manuver ideologis atau pragmatisme politik, yang jelas sikap rezim terhadap umat Islam sejak pertengahan 1980-an mulai melunak—kecuali tentu terhadap yang masih kukuh menolak asas tunggal Pancasila. Satu dekade terakhir Orde Baru kerap ditandai sebagai era “rapprochement” rezim dengan umat Islam: larangan jilbab bagi siswi-siswi sekolah dicabut; bisnis judi SDSB dibubarkan; dan rezim mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Kalau memakai perspektif utilitarian yang berpandangan bahwa keberhasilan manuver politik dinilai bukan dari idealisme ideologis melainkan pada hasilnya yang lebih bermaslahat secara umum (dalam hal ini, umat Islam), keputusan NU pada awal 1980-an itu berhasil. Dengan menerima Pancasila, rezim tak lagi punya alasan untuk menekan umat Islam secara umum, sehingga energi umat Islam bisa dialihkan ke hal lain, bahkan mengkritik kebijakan rezim Orde Baru lainnya. Pada kenyataannya, Gus Dur dan NU bisa tetap kritis terhadap Orde Baru. Bila Orde Baru mendirikan ICMI, Gus Dur membentuk Forum Demokrasi.

Pascareformasi

Kini, hampir dua dekade pascareformasi, NU sudah menjadi salah satu pendukung kuat Pancasila. Suara-suara penolakan terhadap kebijakan pimpinan pusat di PBNU bukannya tidak ada (sejak dulu pun demikian—satu contoh yang terkenal: pada 1980-an, Kiai As’ad Syamsul Arifin menyatakan mufaraqah atau memisahkan diri/keluar dari NU yang dipimpin Gus Dur.)

Namun secara umum, figur-figur penting NU kini berada di belakang Pancasila. Rais Aam NU Kiai Ma’ruf Amin dan Ketua Umum NU Kiai Said Aqil Siradj kini menjadi dua dari sembilan pengarah UKP-PIP.

Konfigurasi politik saat ini sudah berbeda dari zaman Orde Baru. Rival NU dalam persaingan antarormas Islam juga sudah berbeda. Corak penafsiran politis terhadap Pancasila pun lebih beragam. Di masa pascakemerdekaan hingga berakhirnya Orde Lama, Pancasila cenderung dimaknai sebagai konsensus pemersatu semua kalangan melawan kolonialisme dan imperialisme, dengan ragam sisi terang dan gelapnya. Di zaman Orde Baru, Pancasila cenderung menjadi instrumen penjaga “stabilitas” politik. Pascareformasi, tafsir-tafsir dari beragam spektrum saling berebut untuk memaknai Pancasila. NU tampaknya berada dalam kalangan yang memaknai Pancasila sebagai simbol penjaga kebinekaan, kalau bukan malah instrumen “penggebuk” ormas “subversif”.

Apakah NU bisa merumuskan ulang tafsir Pancasila yang lebih dari sekadar itu, misalnya terkait persoalan sektarianisme internal umat Islam dan tafsir lain yang bukan sekadar soal kebinekaan dan hubungan agama negara melainkan juga “keadilan sosial” di sila kelima? Jawabannya ada di tahun-tahun mendatang.[]

*Penulis adalah alumnus dan kini staf CRCS UGM. Sebagian besar data sejarah dalam tulisan ini diambil dari disertasi doktoral Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila di McGill University pada 1995. Gambar ilustrasi di atas diambil dari website NU.

sumber : https://crcs.ugm.ac.id/berita-utama/11602/nu-dan-pancasila-dulu-dan-kini.html


Catatan tambahan

Muktamar NU di Situbondo tahun 1983 selain Kithah NU Juga menetapkan dari Keputusan Final Pancasila sebagai azas tunggal berbangsa dan bernegara

Referensi Buku Islam Nusantara

Oleh: Rijal mumazziq Z (juli 2018)

Sejak awal saya nggak peduli dengan pro kontra Islam Nusantara. Setuju karepmu, ora setuju yo sak karepmu. Yang penting, kita sama-sama pernah minum Susu Bendera (Frisian Flag) yang katanya malah tidak mengandung susu sama sekali. Masak kalah sama Milkita yang tiga lolinya setara dengan segelas susu! Benarkah ini konspirasi bikinan Yahudi Pantai Gading? Soal susu, kita tanya ke Moslem Siber Kremi saja. Kalau nggak mau ya hubungi Lucinta Luna saja.

Di antara bahan baku memahami konsep Islam Nusantara adalah buku-buku berikut ini.

1. Islam Nusantara karya Gurutta Ahmad Baso

2. Masterpiece Islam Nusantara karya Mas Zainul Milal Bizawie

3. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII-VIII karya Prof. Azyumardi Azra

4. Sejarah Islam Nusantara karya Michael Laffan

5. Nasionalisme dan Islam Nusantara. (Bunga rampai). Editor: Abdullah Ubaid dan Muhammad Bakir

6. Islam Nusantara. (Bunga rampai). Editor: Mas Akhmad Sahal dan Mas Munawir Aziz

7. Kontroversi Islam Nusantara karya Ustadz Faris Khoirul Anam

8. Islam Nusantara dalam Konteks Multikulturalisme karya Mas Syafiq Hasyim

9. Mahakarya Islam Nusantara karya Ustadz Ahmad Ginanjar Sya'ban

10. Warisan Intelektual Ulama Nusantara karya Ustadz Fauzi Ilyas.

11. Atlas Walisongo, karya Pak Agus Sunyoto

12. Sejarah Hukum Islam Nusantara abad XIV-XIX karya Mas Ayang Utriza

13. Ulama-Ulama Nusantara yang Berpengaruh di Negeri Hijaz karya Mas Amirul Ulum

14. Al-Jawi al-Makki: Kiprah Ulama Nusantara di Haramain karya Mas Amirul Ulum

15. Ensiklopedi Ulama Nusantara karya Pak Bibit Suprapto

16. Mushaf Nusantara: Sejarah dan Variannya, karya Mas M. Solahuddin

17. Tradisi Pesantren, karya Pak Zamakhsyari Dhofier

18. Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur, karya KH. Abdurrahman Wahid

19. Direktori Edisi Naskah Nusantara. Edi S. Ekadjati (Penyunting)

20. Naskah Klasik Keagamaan Nusantara: Cerminan Budaya Bangsa. jilid 1 dan 2 (Depag)

21. Merajut Kenusantaraan Melalui Naskah. Karya Muhammad Ardiansyah dan Qomarus Soleh.

22. Inskripsi Islam Nusantara.: Jawa dan Sumatera. (Puslitbang Depag)

23. Ragam Ekspresi Islam Nusantara. (Penerbit Gatra)

24. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual di Indonesia, karya Nor Huda

25. Nalar Islam Nusantara, karya (embuh rek. Aku lali)

26. Pesantren Studies. Beberapa jilid. Karya Mas Ahmad Baso

27. Naskah-Naskah Skriptorium Pakualaman. Karya Sri Rama

28. Menusantarakan Islam karya Pak Aksin Wijaya

29. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia karya Mas Moeflich Hasbullah.

30. Buku Pintar Islam Nusantara karya Mas Muhammad Sulton Fatoni.

31. Dan banyak lain.

Buku-buku di atas hanya sekian persen dari ratusan, bahkan ribuan buku yang berkaitan dengan konsep Islam Nusantara. Saya belum mencantumkan:

1. Buku-buku mengenai kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara yang meliputi sejarah para raja, perkembangan politik-sosial-intelektual- militer, maupun biografi dan hagiografi para tokoh di dalamnya.

2. Biografi para ulama dalam kurun 6 abad terakhir. Baik para ulama yang sudah masyhur (Walisongo, Syekh Yusuf Maqassary, Syekh Arsyad Banjari dll), maupun ulama-ulama yang belum begitu masyhur di khalayak tapi memiliki kontribusi bagi umat. Termasuk biografi para ulama pengasuh pesantren/surau/madrasah/meunasah yang punya andil dalam memperkokoh pendidikan Islam. Biografi ulama-ulama lokal ini biasanya diterbitkan oleh lembaga yang bersangkutan. Dalam 4 tahun terakhir ini, saya sudah mulai mengumpulkan buku-buku biografi ulama-ulama daerah. Jika disusun, kemudian ditarik benang merahnya, llau dirapikan kepingan-kepingan keteladanan mereka niscaya akan membentuk semacam puzzle ulama Nusantara yang memiliki cirikhas masing-masing.

3. Buku-buku karya ulama Nusantara dalam kurun 5 abad terakhir, dari Tarjuman al-Mustafid karya Syekh Abdurrauf Assnikily, Sabilul Muhtadin karya Syekh Arsyad Al-Banjari, hingga karya ulama kontemporer Indonesia yang berbahasa Arab, Indonesia maupun berbahasa daerah.

4. Karya-karya yang mengupas secara detail berbagai karya ulama Nusantara tersebut, sekaligus memberikan ulasan mengenai perjuangan muallifnya. Misalnya Mas Zainul Milal Bizawie yang mengangkat kembali pamor keulamaan Kiai Mutamakkin, ulama oposan di abad 18, dan karya-karyanya. Juga, buku mengenai Kiai Ahmad Rifai yang ditulis oleh Pak Ahmad Adabi Darban, "Rifa’iyah: Gerakan Sosial Keagamaan di Pedesaan Jawa Tengah Tahun 1850-1982”.

Dan seterusnya. Cari sendirian. Capek ngetik pake hape. Hahaha. Saya sampe sekarang tidak peduli tuduhan Islam Nusantara itu proyek liberal atau apalah, wong saya banyak merasakan manfaat dari teman-teman muda yang selama ini fokus pada kajian Islam Nusantara, khususnya pada kajian filologi dan "pengokohan kembali" identitas muslim Nusantara.

Misalnya, Mas Nanal Ainal Fauz dengan lembaga Turats Ulama Nusantara,  Ajengan Ahmad Ginanjar Sya'ban dengan Islam Nusantara Center, Mas Ayunk Notonegoro dengan Komunitas Pegon,  Mas Amirul Ulum dengan Ulama Nusantara Center-nya, juga Mas Ichwan dan Kiai Inamuz Zahidin Masyhudi dengan KOPISODA (Komunitas Pecinta Kiai Soleh Darat) yang secara rutin mengaji karya Kiai Soleh Darat dan mendiskusikan karya beliau melalui WA.

Demikianlah jika Bakoel Boekoe sedang melakukan propaganda terselubung. Berhati-hatilah jika tiba-tiba anda tertarik mengkaji babakan keilmuan ini, apalagi tertarik memborong buku-buku di atas. Waspadalah...

(Patas Jaya, Ponorogo-Surabaya)

Masalah Mazhab

Anti-Madzhab berkata: "Kamu bermazhab kerana kamu seorang yang ta'assub (Fanatik)."

Syeikh Dr. Amru Wardani, ahli Darul Ifta' Mesir, pengajar Usul Fiqh di Masjid Al-Azhar, menjawab: "Tidak, saya bukan ta'assub. Saya berlindung dengan Allah daripada sifat ta'assub. Saya bermazhab hanya karena saya melihat bahwa mazhab-mazhab fiqih semuanya:

1) Musannadah:
Mazhab-mazhab ini memiliki sanad sampai kepada Rasulullah saw. sehingga kesahihannya terjamin.

2) Mudallalah:
Mazhab-mazhab ini memiliki landasan argumentasi/dalil. Dalil tersebut tidak hanya dalil yang disebutkan secara eksplisit saja, namun ada dalil yang implisit.

3) Muashshalah:
Mazhab-mazhab ini memiliki metodologi berfikir yang terkodifikasikan dalam kitab-kitab usul fiqh, sehingga sangat tepat dan terukur dalam pengambilan dalil dari Al-Quran dan Sunnah.

4) Makhdumah:
Mazhab-mazhab ini dikhidmah oleh ratusan bahwa ribuan ulama setelahnya, dari matan menjadi syarah dan dari syarah melahirkan hasyiyah. Kemudian juga diberi taqrir dan tanbih, serta khidmah ilmiah lainnya. Ini juga memberikan jaminan akan kesahihan pemahaman keagamaan yang ada di dalam mazhab.

5) Muqa’adah:
Mazhab-mazhab ini memiliki kaedah-kaedah fiqh yang sangat rasional, seperti kitab “Al-Asybah wan Nadzo'ir” karya Imam Suyuti dalam mazhab Syafie, kitab “Al-Asybah wan Nadzoir” karya Ibnu Nujaim dalam Mazhab Hanafi, kitab “Ta’sisun Nazor” dalam Mazhab Maliki, dan kitab “Raudhatun Nadhir” dalam mazhab Hanbali.

6) Mumanhajah:
Mazhab-mazhab ini memiliki manhaj berfikir yang jelas, detail dan tepat

7) Muttasiqah:
Mazhab-mazhab ini memiliki tingkat amanah ilmiah yang sangat tinggi dalam menisbatkan sebuah pendapat kepada penuturnya, di dalamnya ada yang dikenal dengan qaul mukharraj dan ada juga yang disebut dengan qaul mansus.

8) Munfatihah:
Mazhab-mazhab ini memiliki cara berfikir yang elegan dan terbuka serta sangat toleran. Karena mempunyai kaedah-kaedah usul fiqh dan hal-hal yang bersifat kulli yang masih memungkikan generasi penerusnya untuk mengembangkannya sesuai dengan masalah-masalah kontemporari yang terjadi seiring perkembangan zaman".

Dari: LDNU MWCNU Kec. Sukorejo. Kab. Pasuruan

WAJIB BERMADZHAB BAGI ORANG AWAM

*PERHATIAN BUAT ORANG2 YG ANTI TAQLID DALAM MADZHAB...*

*WAJIB BERMADZHAB BAGI ORANG AWAM.*

Dalilnya :
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
tanyalah ahli ilmu jika kamu tidak tau.
al anbiya 7.

Banyak  yg tidak tau apa itu mazhab. Penjelasan gampang nya, mazhab adalah alat agar tidak salah memahami nash nash al quran dan sunnah. Banyak orang zaman sekarang mengklaim mengikuti al quran dan sunnah, mengikutinya betul, tapi salah memahaminya.

Banyak orang yg tidak tau urutan mujtahid didalam mazhab.

*Urutan mujtahid didalam mazhab:*

1. mujtahid mutlak.
adalah kasta tertinggi ahli ilmu, karna keilmuannya dan kesolehannya serta keadilannya. dan tugasnya membuat kaidah ushul dan menetapkan hukum suatu perkara dari dalil dalil al quran dan sunnah,
Contoh nya : imam syafi'i. imam malik, imam abu hanifah, imam ahmad bin hanbal

2. mujtahid mazhab. yaitu orang orang dengan keilmuan dan kecerdasan tingkat tinggi yg cukup syarat sebagai mujtahid tapi ia tugas nya adalah mengkaji kesohihan, meneliti kebenaran dan menjelaskan qoul qoul mujtahid mutlak. Contoh nya : al buwaitiy, al haramain, al ghazali

3. mujtahid fatwa/ tarjih. yaitu orang-orang yg keilmuan nya setara seorang mujtahid dan tugas nya adalah mengkaji ulang, meneliti ulang , menjelaskan dan menentukan pendapat yg paling sohih dari qoul qoul para imam di atasnya.
seorang mujtahid fatwa harus hafal seluruh qoul para imam di atasnya
contoh nya : imam nawawi dan imam rofi'iy

pada zaman salaf ulama yg cukup syarat jadi mujtahid mutlak itu banyak, tapi kenapa cuma 4 yg jadi pilihan ?
karna selain yg 4 tidak ada yg mengkaji ulang, meneliti ulang dan menashkan qoul qoul nya.

*Dan sesama mujtahid mutlak haram taqlid.*

*seorang mujtahid wajib hafal minimal 300 rb hadits.*
*dan wajib hafal biografi seluruh perawi hadits.*

karna seorang mujtahid tidak boleh taqlid dalam menentukan kesohihan hadits.

jika tidak percaya silahkan hitung berpa hadits dan perawi yg ditulis imam nawawi didalam kitab al majmu' syarah al muhadzab, yg ada 27 jilid, satu jilidnya setebal mushaf al quran.

Bayangkan keilmuan mereka, dan begitu hati hatinya dalam memahami al quran dan sunnah, sampai harus dikaji ulang, diteliti ulang....

*hanya orang bodoh yg tidak mau taqlid didalam mazhab.*

Jika ada seorang ustad tidak taqlid didalam mazhab, kemudian dia berfatwa, apakah anda bisa meneliti kebenaran perkataannya ??
lalu siapa yg meneliti kebenaran perkataan ustad tersebut?

*oleh karena itu mereka "yg tidak taqlid didalam mazhab" adalah orang-orang yg taqlid buta.*

*A. Rachman Asy-Syafi'iy*

Nasehat dari Anjing

Suatu malam, Abu Yazid Al-Busthomi sedang berjalan sendirian. Lantas ia melihat seekor anjing berjalan ke arahnya. Anjing itu cuek saja jalan, tidak menghiraukannya. Namun ketika jarak anjing itu makin dekat dan akan berpapasan dengannya, Al-Busthomi mengangkat gamisnya, khawatir tersentuh anjing yang najis itu.

Spontan anjing itu berhenti dan memandangnya. Entah bagaimana Abu Yazid seperti mendengar anjing itu berkata padanya,

“Tubuhku kering dan tidak akan menyebabkan najis padamu. Bila pun engkau merasa terkena najis, engkau tinggal basuh 7x dengan air dan tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Namun jika engkau mengangkat gamismu karena menganggap dirimu yang berbaju badan manusia lebih mulia, dan menganggap diriku yg berbadan anjing ini najis dan hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tidak akan bersih walau kau basuh dengan 7 samudera”.

Abu Yazid tersentak dan minta maaf. Lalu sebagai permohonan maafnya dia mengajak anjing itu untuk bersahabat dan berjalan bersama. Tapi si anjing itu menolaknya.

“Engkau tidak pantas berjalan denganku. Mereka yg memuliakanmu akan mencemoohmu dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu mengapa orang-orang menganggapku begitu hina, padahal aku berserah diri pada Sang Pencipta wujud ini. Lihatlah, aku juga tidak menyimpan dan membawa sepotong tulang pun, sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum.”

Lalu anjing itu pun berjalan meninggalkan Abu Yazid. Abu Yazid masih terdiam, “Duh Gusti, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-MU saja aku tak pantas. Bagaimana aku merasa pantas berjalan dengan-MU, ampuni aku dan sucikan hatiku dr najis, Ya Allah.”

MENYUKAI KUCING & ANJING

MENYUKAI KUCING & ANJING

Seorang wanita masuk neraka hanya gara² ia mengurung kucing hidup² hingga mati karena kelaparan. Tetapi seorang wanita pelacur dapat menghantarkan ia ke sorga dikarenakan memberi minum seekor anjing yang hampir mati karena haus ketiadaan air.

Betapa sebenarnya kita harus tetap menyukai hewan anjing sebagaimana kesukaan kita kepada kucing. Sehingga tiada bedanya status hukum manakala kucing masuk ke ruang masjid begitu juga halnya anjing. Maka tiada elok kebencian berlebihan kepada anjing, ketika diketahui ia memasuki masjid karena terbawakan seseorang misalnya atau ada faktor lain penyebab mengapa anjing dapat memasuki masjid, lalu seenak otak saja menilai dan mengatakan hal itu merupakan suatu wujud penistaan agama.

Justru otak yang berpenilaian tersebut seharusnya ditempatkan pada vorsi akal sehat bukan akal sakit, agar mampu memandang semua hal penuh kemakluman. Begitulah seyogianya cara beragama moderat, sebab se-benar² beragama itu ialah berhindar dari konflik dan komplein.

Oleh sebab itu sikap beragama yang baik antara lain ialah menyukai hewan anjing sebagaimana halnya kucing tanpa bergampangan merasa ternistakan, tentunya menggunakan otak pada vorsi akal sehat.

Kursi Roda dan Masjid

KURSI RODA (DILARANG) MASUK MASJID

Tahukah anda sesungguhnya bukan hanya anjing yang tidak diperbolehkan masuk masjid. Kami para Muslim pengguna kursi roda juga tidak diperkenankan masuk masjid, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Beberapa teman pengguna kursi menyampaikan kesaksiannya bahwa mereka mendapat teguran secara langsung dilarang masuk ke dalam masjid oleh pengurus masjid dikarenakan mereka beranggapan bahwa kursi roda yang kami gunakan lekat dengan najis. Jadi bukan hanya anjing yang membawa najis, tapi kursi roda kami juga dianggap membawa najis. Sehingga seringkali kami pengguna kursi roda ikut sholat jum'at di luar masjid, atau kalau terpaksa kami harus meninggalkan kursi roda kami di luar lalu kami merangkak masuk ke dalam masjid. Kondisi ini masih diperparah dengan ketiadaan tempat wudhu yang ramah bagi pengguna kursi roda, maka kami harus berwudhu terlebih dahulu dari rumah ketika akan sholat di masjid. Nah kalau kemudian sampai di masjid, wudhunya batal?, ya kami bertayamum dengan debu-debu yang melekat di kaca jendela atau di tembok-tembok masjid. Lalu apakah sah tayamum seperti itu? tak usahlah berdebat soal sah atau tidak sah..

Secara tidak langsung, arsitektur bangunan masjid yang berundak dipenuhi dengan tangga telah mencegah kami pengguna kursi roda untuk masuk ke dalam masjid. Berdasar pengamatan saya, hampir semua masjid yang ada di wilayah DKI Jakarta berlantai dua. Lantai dasar dipergunakan untuk kegiatan pendidikan atau ruang pertemuan yang kadang kalanya bisa disewakan. Sementara untuk kegiatan sholat berjama'ah ada di lantai dua. sehingga untuk dapat mengikuti sholat berjama'ah kami pengguna kursi roda harus rela meninggalkan kursi roda di bawah kemudian merangkak meniti satu per satu anak tangga masjid.

Perlu diketahui bahwa tidak semua pengguna kursi roda dapat keluar dari kursi rodanya. Bahkan sebagian dari kami pula tidak bisa berganti kursi roda lain, dikarenakan kursi roda yang kami gunakan dirancang secara khusus disesuaikan dengan karakter penggunanya.

[Nanti pasti ada yang menasehati saya untuk bersabar menjalani ujian ini :-) ]

Islam hadir di bumi Nusantara hampir lebih dari 11 abad, namun persoalan sederhana semacam ini hingga sekarang masih belum terselesaikan. Pertanyaannya, selama ini umat Islam di Indonesia ngapain saja? :-)

Padahal jika anda datang beribadah di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, anda akan melihat para pengguna kursi roda bebas lalu lalang keluar masuk masjid, tanpa harus dicurigai kursi rodanya membawa najis atau tidak.

Akhir - akhir ini wacana keagamaan khususnya Islam banyak didominasi oleh hiruk pikuk politik praktis demi memuaskan hasrat kekuasaan segelintir orang. Khasanah Islam yang begitu luas dipangkas, dipersempit, dan dikebiri seakan Islam hanya mengurusi soal - soal yang terkait dengan perebutan kekuasaan dan politik praktis. Sehingga Islam menjadi tidak peka terhadap persoalan - persoalan sosial yang ada di sekitarnya.

Narasi - narasi bahwa umat Islam terancam oleh musuh - musuhnya banyak mewarnai media sosial atau ceramah - ceramah di majlis taklim. Padahal sesungguhnya narasi "musuh Islam" yang mereka bangun sulit untuk didefinisikan. Sehingga menciptakan kambing hitam dengan memproduksi narasi seakan Islam dimusuhi. Itu hanya sekedar musuh imajinatif yang lahir dari ketidakmampuan umat Islam dalam mengejawantahkan (mendaratkan) ajaran Islam untuk menyelesaikan persoalan sehari-hari yang dialami oleh masyarakat di sekitarnya.

Ambil contoh, wacana jihad ke Palestina dan Suriah mendapatkan sambutan begitu laris manis dari sebagian orang yang terprovokasi dengan musuh Islam imajiner. Mobilisasi bantuan juga begitu besar dikirim ke dua negara tersebut. Sementara persoalan akses bagi saudara - saudara kita penyandang disabilitas di Indonesia tidak pernah tersentuh. Saya membayangkan dana yang cukup besar tersebut apabila dialokasikan untuk menyediakan akses pendidikan dan pendidikan termasuk akses layanan keagamaan bagi saudara - saudara kita penyandang disabilitas, tentu akan sangat bermanfaat.

Sadarkah kalian, ketika kalian berdebat soal pemimpin rekomendasi ulama atau bukan, ketika anda berdebat soal system pemerintahan Islam atau bukan. Di sekeliling kita, terdapat 45 anak dari 100 penyandang disabilitas tidak pernah/tidak lulus SD (SUSENAS 2016), terdapat 14 orang dari 100 mereka yang mengalami gangguan jiwa dipasung, lebih dari 50 orang dari 100 penyandang disabilitas yang tidak bekerja.

Di saat anda sibuk berdebat di Medsos tentang muslimah yang baik itu berjilbab atau tidak, setiap hari ada saudari kita perempuan disabilitas yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual di panti, di sekolahan, dan di keluarganya.

Sepertinya sebagian dari kita sedang gandrung beragama secara formil, sibuk melengkapi diri dengan symbol – symbol Syariah sehingga tak punya waktu untuk mewujudkan misi agama sebagai rahmat bagi semesta dan sesama. Masjid sebagai rumah Allah yang disucikan, mensyaratkan mereka yang memasukinya bukan hanya suci secara badaniyah dari najis, namun semestinya juga suci dalam fikiran dan hatinya. Namun sayangnya akhir - akhir ini kesucian batiniah ini banyak diabaikan oleh sebagian kaum muslimin. Mereka masuk masjid dengan hati penuh kedengkian, kemudian naik mimbar dengan menebar hasut, dengki dan fitnah pada sesama. Celakanya, prilaku tersebut diyakini sebagai amal sholeh dan semangat jihad membela agama.

Kalau najis badaniyah, mudah dilihat sehingga mudah untuk disucikan cukup dibasuh dengan air suci. Sementara najis bathiniah seringkali tidak nampak, hanya mereka yang memiliki kejernihan dan kerendahan hati mampu melihat kotoran hati dan sesegera mungkin mereka menyadari dan membersihkannya.

Sesungguhnya Allah Dzat Yang Maha Suci, maka ketika kita menghadap Nya pun, harus suci baik secara badaniyah maupun bathiniyah.

Selama ini kata Jihad hanya dimaknai sebagai perang dan membunuh mereka yang dianggap kafir, sehingga membangun sarana publik yang ramah disabilitas, mewujudkan sekolah inklusif, dan melindungi mereka yang terpinggirkan tidak dimaknai sebagai jihad, tidak dimaknai sebagai sebagai Li I'lai kalimatillah (Mengagungkan Asma Allah).

Sudah terlalu banyak kita ber 'Takbir', mungkin sudah saatnya kita memperbanyak Basmallah. Sehingga sifat welas dan asih Allah akan lebih banyak kita wujudkan bagi sesama manusia.

**

Saya menulis status ini tidak ada kaitannya dengan spiritualitas. Sehingga tak perlu ada nasehat bijak untuk tetap menjaga kesabaran. Para penyandang disabilitas secara moral dan spiritual memiliki kualitas spiritual yang bisa jadi lebih kuat dari yang menasehati untuk bersabar. Jika mereka tidak memiliki kualitas spiritual yang bagus (kesabaran) mereka sudah pada bunuh diri. :-) Buktinya mereka masih eksis mengisi hidup mereka penuh dengan makna dan berbagi pada sesama.

Penyediaan akses yang ramah bagi penyandang disabilitas di tempat peribadatan khususnya masjid sesungguhnya adalah kegiatan yang sederhana tidak mahal. Ini hanya soal kepekaan terhadap hak sesama saja.

Para umat beragama khususnya Muslim harus sudah mulai berbenah diri melihat ke dalam. Mulai berbenah memperbaiki layanan untuk memenuhi hak para umatnya yang selama ini terabaikan. Sudah cukup waktu dan energi kita sebagai umat beragama diexploitasi untuk kepentingan politik elektoral yang telah menimbulkan polarisasi dan perpecahan antar sesama umat.

Tugas umat beragama adalah mewujudkan keindahan di langit menjadi keindahan di bumi. Mewujudkan sifat Ar Rahman dan Ar Rahiim Allah dalam kehidupan sehari - hari.

Salam Ta'dzim

Cak Fu

Note : Alhamdulillah, di Masjid Ciganjur ada fasilitas yg membuka lebar bagi muslim pengguna kursi roda. Mereka bisa sholat di dalam masjid tetap di kursi rodanya, bahkan tempat wudhunya pun juga welcome kepada muslim pengguna kursi roda.

55 Dalil Kesesatan Wahabi

*55 DALIL KESESATAN WAHABIYYAH*

Inilah beberapa alasan mengapa Golongan Wahabi/ Wahhabi/ Wahabiyyah/ Salafi termasuk digolongkan sebagai Golongan Sesat yang harus diwaspadai, sebab mereka adalah:

1. Golongan yang membawa Aqidah Yahudi (Allah duduk bersemayam).

2. Golongan yang beriman kepada sesetengah ayat dan kafir dengan sesetengah ayat Al-Quran.

3. Golongan yang menolak Takwil pada sesetengah ayat, dan membolehkan Takwil pada yang mengikut nafsu mereka

4. Golongan yang menafikan Kenabian Nabi Adam A.S.

5. Golongan yang menyatakan bahawa Alam ini Qidam(Rujuk pandangan ibn Taimiyyah).

6. Golongan yang mengkafirkan Imam Abu al-Hasan Al-Asa’rie dan seluruh Ummat Islam yang berpegang kepada method Aqidah yang telah disusuh oleh Imam tersebut.

7. Golongan yang mengkafirkan Sultan Sholahuddin Al-Ayyubi dan Sultan Muhammad Al-Fateh.

8. Golongan yang mengkafirkan Imam An-Nawawi dan Seluruh Ulama’ Islam yang mengikut (Asya’irah dan Maturidiyyah).

9. Golongan yang mengdhoifkan hadi-hadis shohih dan mengshohihkan hadis-hadis dhoif (lihat penulisan Albani).

10. Golongan yang tidak mempelajari ilmu dari Guru atau Syeikh, hanya membaca.

11. Golongan yang mengharamkan bermusafir ke Madinah dengan niat ziarah Nabi Muhammad SAW.

12. Golongan yang membunuh Ummat Islam beramai-ramai di Mekah, Madinah, dan beberapa kawasan di tanah Hijaz (lihat tarikh an-najdi).

13. Golongan yang meminta bantuan Askar dan Senjata pihak Britain (yang bertapak di tempat; Kuwait pada ketika ini) ketika kalah dalam perang ketika mereka mahu menjajah Mekah dan Madinah.

14. Golongan yang menghancurkan turath(sejarah peninggalan) Ummat Islam di Mekah dan Madinah.(lihat kawasan perkuburan Jannatul Baqi’, Bukit Uhud dan sebagainya)

15. Golongan yang membenci kaum ahlul bait. (kononnya bagi wahabi; semua ahlul bait syiah@ sesat)

16. Golongan yang bersalahan dengan Ijma’ para Shohabah, Tabi’in, Salaf, khalaf dan seluruh Ulama’ ASWJ.

17. Golongan yang mendakwa Aqal tidakboleh digunakan dalam dalil syarak, dengan menolok fungsi Aqal.(ayat-ayat Al-Quran menyarankan menggunakan Aqal)

18. Golongan yang mengejar syuhrah(pangkat, nama, promosi,kemasyhuran) dengan menggunakan fahaman salah mereka terhadap Al-Quran dan As-Sunnah. (Malah Al-Quran dan As-Sunnah bebas daripada apa yang wahabi war-warkan)

19. Golongan yang mengdhoifkan hadis solat terawikh 20 rakaat.(Albani)

20. Golongan yang mengharamkan menggunakan Tasbih.(Albani)

21. Golongan yang mengharamkan berpuasa pada hari sabtu walaupun hari Arafah jatuh pada hari tersebut.(Albani)

22. Golongan yang memperlecehkan Imam Abi Hanifah R.A.(Albani)

23. Golongan yang mendakwa Allah memenuhi alam ini dan menghina Allah dengan meletakkan anggota pada Allah SWT.

24. Golongan yang mendakwa Nabi Muhammad SAW tidak hayyan(hidup) di kubur Nabi Muhammad SAW.(Albani)

25. Golongan yang melarang membaca “Sayyidina” dan menganggap perbuatan itu bida’ah sesat.

26. Golongan yang mengingkari membaca Al-Quran ke atas si mati dan membaca Talqin.

27. Golongan yang melarang membaca selawat selepas azan.(Albani)

28. Golongan yang mengatakan Syurga dan Neraka ini fana’(tidak akan kekal).(ibn Taimiyyah)

29. Golongan yang mengatakan lafaz talaq tiga tidak jatuh, jika “aku talaq kamu dengan talaq tiga “. (ibn Taimiyyah.

30. Golongan yang Mengisbatkan(menyatakan/menetapkan) tempat bagi Allah, mengatakan Allah turun seperti turunnya. (Ibn Taimiyyah)

31. Golongan yang menggunakan wang ringgit untuk menggerakkan ajaran sesat mereka, membuat tadlis(penipuan dan pengubahsuaian) di dalam kitab-kitab ulama’ yang tidak bersependapat dengan mereka.

32. Golongan yang mengkafirkan sesiapa orang Islam yang menetap di Palestine sekarang ini.(Albani)

33. Golongan yang mengbid’ahkan seluruh ummat Islam.

34. Golongan yang menghukumkan syirik terhadap amalan ummat Islam.

35. Golongan yang membawa ajaranTauhid 3 dan tidak pernah diajar oleh Nabi Muhamad SAW. (Ibn Taimiyyah)

36. Golongan yang mengatakan bahawa Abu Jahal dan Abu Lahab juga mempunyai Tauhid, tidak pernah Nabi Muhammad SAW ajar begini atau pun para Shohabah R.A. (Muhamad abd Wahab)

37. Golongan yang membolehkan memakai lambang “salib” hanya semata-mata untuk mujamalah/urusan rasmi kerajaan, ianya tidak kufur. (Bin Baz)

38. Golongan yang membiyayai kewangan Askar Kaum Kuffar untuk membunuh Ummat Islam dan melindungi negara mereka. (kerajaan Wahabi Saudi)

39. Golongan yang memberi Syarikat-Syarikat Yahudi memasuki Tanah Haram.(Kerajaan Wahabi Saudi)

40. Golongan yang memecahbelahkan Ummat Islam dan institusi kekeluargaan.

41. Golongan yang mengharamkan Maulud dan bacaan-bacaan barzanji, marhaban.

42. Golongan yang menghalalkan meletupkan diri atas nama jihad walaupun orang awam kafir yang tidak bersenjata mati. (selain di Palastine)

43. Golongan yang menghalalkan darah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Asya’irah dan Maturidiyyah. Lihat di Lubnan, Chechnya, Algeria, dan beberapa negara yang lain.

44. Golongan yang menimbulkan fitnah terhadap Ummat Islam dan memburukkan nama baik & murni Islam.

45. Golongan yang membuat kekacauan di Fathani, Thailand.

46. Golongan yang sesat menyesatkan rakyat Malaysia.

47. Golongan yang meninggalkan ajaran dan ilmu-ilmu Ulama’ ASWJ yang muktabar.

48. Golongan yang meninggalkan methodologi ilmu ASWJ.

49. Golongan yang Minoriti dalam dunia, malah baru setahun jagung.

50. Golongan yang menuduh orang lain dengan tujuan melarikan diri atau menyembunyikan kesesatan mereka.

51. Golongan yang Jahil, tidak habis mempelajari ilmu-ilmu Agama, tetapi mahu buat fatwa sesuka hati.

52. Golongan yang melarang bertaqlid, tetapi mereka lebih bertaqlid kepada mazhab sesat mereka.(sehinggakan solat pun guna mazhab Albani shj)

53. Golongan yang secara zahirnya berjubah, berkopiah, singkat jubah, janggut panjang, tetapi berliwat, tidak menghormati ulama’, mengutuk para Alim Ulama’, tidak amanah dengan Ilmu dan Agama Islam.

54. Golongan yang tiada hujjah dalam ajaran mereka.

55. Golongan yang membawa jaran sesat Ibn Taimiyyah/Muhamad Ibn Abd Wahab, kedua-dua individu ini telah dicemuh, ditentang, dijawab dan dikafirkan oleh Jumhur Ulama’ ASWAJA atas dasar Aqidah mereka yang Sesat.

"Wallaahu a'lam"