Pujian Bagi NU

*PUJIAN SETINGGI LANGIT TERHADAP NU*
--------------------------------------
```OLEH KETUA MUHAMMADIYYAH BATU MALANG```

🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩

Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batu, Malang Nurbani Yusuf menulis artikel yang berisi pujian setinggi langit terhadap Nahdlatul Ulama (NU).

Artikel tersebut diposting di akun Facebook Nurbani yang diberi judul “All NU Final : Siapapun Pemenangnya Adalah NU”.
Berikut artikel Nurbani:
------------

All NU Final: Siapapun Pemenangnya Adalah NU

Bukan NU kalau tidak mengejutkan. Berpikir di luar kotak (out The box) dan terus tidak lelah membangun paradigma, layaknya sebagai sebuah gerbong dengan muatan penuh, NU tetap lincah bergerak dan genit.

NU tak bisa ditarik dalam definisi yang rigid, sebaliknya NU selalu inklusif dan kenyal dengan berbagai kondisi.

Kader NU juga di kenal sangat loyal dengan para kiai nya tanpa banyak tanya.

Yang tak suka NU, menyebutnya taqlid, padahal itu dibutuhkan, sebab banyak tanya juga kerap kontra produktif, apalagi dilanjutkan dengan menjudge pemimpinnya dengan stigma negatif hanya kebetulan tidak sehaluan.

Dalam kurun dua tahun terakhir, setidaknya NU  telah berhasil membuat Islam tetap eksis dan diperhitungkan lawan.

Kader-kadernya berserak di semua lini, mulai pengusaha, politisi, teknisi, militer dan terakhir kader-kader NU berhasil memenangi sejumlah pilihan gubernur dan kepala daerah bahkan Calon Presiden dan Wakil Presiden lahir dari rahim NU, mereka para petarung yang gesit dan ulet.

::::

Setelah gagasan Islam Nusantara yang penuh kontroversi karena definisi yang belum selesai, jagat politik dikejutkan dengan terpilihnya Rois Syuriah Kiai Ma'ruf Amin menjadi cawapres mendampingi petahana, pada pilihan politik yang riuh penuh ghirah.

Dan terakhir pemberian Karta-NU untuk capres Prabowo dan Sandi. Lengkap sudah semua diambil.

Berbeda dengan kunjungan Prabowo-Sandi sebelumnya yang formal.

Di kantor PBNU isinya hanya guyon dan tertawa ringan, lantas diakhiri dengan pemberian kartu anggota NU.

Inilah cerdiknya dan sekali lagi, ini gaya Wali Songo dalam berdakwah meng-Islamkan raja-raja nusantara. Singkat, padat dan dapat banyak.

:::::::


Nakamura (2001) dalam paper-nya yang berjudul The Radical Transformation of Nahdlatul Ulama in Indonesia, menyebut perilaku politik NU pada 1970-hingga 1990 an kerap melawan arus dari kecenderungan umum, membangun relasi antara organisasi kemasyarakatan dan pemerintah.

NU adalah ormas terbuka bagi siapapun. Longgar dan fleksibel.

Tidak ribet untuk menjadi warga  NU. Jamaah tahlilan adalah NU, jamaah Yasinan adalah NU, baca qunut saat shalat shubuh adalah NU, mereka semua bisa diakomodir sebagai jam'iyah tanpa harus ribet setor pas foto, atau pembagian sertifikat setelah lulus pengkaderan.

Bahkan konon ada yang merengek mengaku sebagai anggota sebuah perkumpulan tetap saja tidak diakui, hanya karena kerudungnya kurang rapat dan warnanya kebetulan berbeda.

Bukannya kartu anggota yang di dapat malah caci dan serapah.

Padahal toh sama-sama tidak ada keuntungan yang didapat sebab menjadi anggota, tidak mendapat jaminan atau kemudahan saat masuk sekolah atau sekedar keringanan beli obat saat sakit.

Jadi kenapa harus dipersulit untuk menjadi jam'iyah, adalah tidak penting berideologi apa atau berasal dari partai apa yang penting NU.

Tradisi politik NU tidak melulu mengikuti textbook.

Meminjam analogi Robin Bush (1999), NU pintar bermain dansa, sehingga susah dijerat atau dipaku pada posisi tertentu.

:::::

Hanya dengan Karta-NU, NU tak perlu bersusah-payah meng-kader seseorang untuk menjadi Presiden.

Prabowo-Sandi, Jokowi-Amin telah menjadi bagian dari jam'iyah NU. Itulah manuver cerdas gaya Sunan Kalijaga.

Lazimnya ijtihad, semua ada kelebihan dan ada kekurangan dan itulah dahsyatnya ushul fiqh yang dipegang kukuh: yang biasanya diramu dalam kaidah ushul fiqh: dar'u al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih (menghindarkan keburukan jauh lebih diutamakan daripada meraih kebaikan).

Para pengamat gampang sekali bilang bahwa NU uportunis, in-konsisten atau lebih mengutamakan tujuan jangka pendek, tapi bukan NU kalau tidak bisa memberi alasan telogis.

Dan hasilnya memang luar biasa.

@nurbaniyusuf
Guru di Univ. Muhammadiyah Malang dan Penggiat Komunitas Padhang Makhsyar.

--------------
Orang yang tidak paham dengan NU tentu akan menghujat habis-habisan kebijakan tidak populer yang diambil NU dalam menghadapi setiap persoalan.

Jangankan, orang di luar NU, orang NU sendiri banyak yang masih belum paham terhadap sikap NU yang seringkali dianggap keluar jalur.

Lebih-lebih belakangan ini dimana, di media sosial, NU kerap menjadi sasaran serangan kelompok-kelompok yang menginginkan NU rusak.

Dan parahnya, orang NU yang tidak mengerti NU, ikut-ikutan menghujat sikap NU.

Semoga melalui tulisan Nurbani diatas, kita bisa mafhum, bahwa setiap kebijakan dan langkah yang diambil oleh NU melalui pertimbangan yang matang. Masih ragukah kita dengan NU?!.

HIDUP NU...✊✊✊

SUMBER : [Tribunsantri.com]

Mushof di Ujung Tombak

MUSHAF DI UJUNG TOMBAK. Karena terdesak pasukan Ali bin Abi Thalib, Gubernur Syam (Suriah) Muawiyah bin Abu Sufyan meminta salah satu pasukan perangnya untuk menaruh mushaf al-Quran di ujung tombak. Mushaf itu pun diangkat setinggi-tinggi nya sebagai simbol keinginan untuk berdamai. Di mata Khalifah Ali bin Abi Thalib, Muawiyah adalah seorang gubernur, yang bukan hanya membangkang, tapi juga memberontak pemerintah pusat. Muawiyah sebagai seorang gubernur tidak mau tunduk kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib karena dianggap tidak punya komitmen untuk menangkap dan mengadili pembunuh Usman bin Affan, Khalifah sebelum Ali, yang juga saudara satu klan dengan Muawiyah. Karena sikapnya itu, Ali bin Abi Thalib mengirimkan 90 ribu pasukan untuk memerangi Muawiyah setelah upaya damai yang dilakukan Ali tak membuahkan hasil. Muawiyah pun menyiapkan 120 pasukan untuk menyambut pasukan pemerintah pusat. Pasukan kedua belah pihak bertemu di sebuah tempat yang bernama Shiffin, sehingga perang pasukan Ali bin Abi Thalib versus pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan yang terjadi pada tahun 37 H, atau 25 tahun sepeninggal Rasulullah, disebut dengan perang Shiffin. Ketika pasukan Muawiyah mengangkat mushaf setinggi-tingginya, pasukan Ali mulai terbelah sikapnya. Sebagian ada yang ingin menghentikan perang karena Muawiyah sdh mau berdamai yang ditandai dengan mengangkat mushaf al-Quran. Sebagian lagi ingin terus berperang karena mereka menduga mengangkat mushaf itu hanya akal-akalan Muawiyah agar tidak "dihabisi" pasukan Ali. Pasukan Akhirnya benar-benar pecah. Karena Ali sendiri ingin menghentikan perang karena ada mushaf itu, akhirnya kelompok yang tidak ingin tertipu oleh Muawiyah memilih memisahkan diri dari pasukan Ali. Mereka akhirnya disebut sebagai Khawarij. Dari kelompok ini Ali bin Abi Thalib dibunuh. Karena Ali bin Abi Thalib memilih berdamai, akhirnya masing-masing kubu mengutus juru damai. Dari kubu Ali bin Abi Thalib dikirim juru damai yang dipimpin Abu Musa al-Asy'ari --orang tua yang sangat tawadhu' dan shalih-- dari kubu Muawiyah dikirim juru damai yang dipimpin Amru bin 'Ash, seorang politisi ulung dan lihai. Setelah membicarakan berbagai macam hal, sampailah di ujung pembicaraan. Mereka berdua setuju untuk mencopot dua khalifah itu (Ali Abu Thalib dan Muawiyah) dari jabatannya untuk kemudian diserahkan kepada umat untuk memilih khalifah yang mereka yang inginkan. Lalu keduanya berdiri berjalan ke tengah kaum muslimin, yang sudah menunggu hasil perundingan. Amru bin Ash sudah sejak awal meminta dan mendorong Abu Musa Al-Asy’ari untuk berbicara lebih dulu di depan hadirin, dengan alasan lebih dulu masuk Islam dan faktor usia yang lebih tua, dan berkata “Wahai Abu Musa, silahkan memberitahu kepada hadirin tentang kesepakatan kita”. Lalu Abu Musa mengumumkan, “Kami berdua mencapai suatu kesepakatan, dan berdoa semoga Allah menjadikannya sebagai kesepakatan yang mendamaikan umat”. Saat itu, Ibnu Abbas dari kubu Ali bin Abu Thalib, mencoba menasehati Abu Musa Al-Asy’ari dengan mengatakan, “Amru bin Ash telah menipumu, jangan mau bicara duluan di depan hadirin. Biarkan Amru bin Ash yang bicara duluan!” Namun Abu Musa Al-Asy’ari menolak permintaan Ibnu Abbas. Lalu di depan hadirin dari dua kubu yang berjumlah sekitar 800 orang, Abu Musa Al-Asy’ari mengumumkan, “Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dulu akan mencopot Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya nyatakan telah mencopot Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah”. Sebagaimana diduga Ibnu Abbas, begitu tiba giliran Amru Ash berbicara, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini juga, saya nyatakan bahwa Muawiyah adalah khalifah, pemimpin umat. Muawiyah adalah pelanjut kekuasaan Usman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”. Mendengar pernyataan Amru bin Ash tersebut, Ibnu Abbas langsung membentak Abu Musa Al-Asy’ari, yang menjawab: “Saya mau bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya lakukan, Amru bin Ash telah menipuku", dan kemudian mulai mencaci dengan mengatakan, “Wahai Amru bin Ash, celaka kamu, kamu telah menipu dan berbuat jahat”. Sejak itu Dinasti Umayyah dimulai. Setelah Bani Umayyah berkuasa, terus terjadi sejarah yang menyayat hati. Mushaf di ujung tombak ternyata digunakan untuk menipu Ali bin Abi Thalib. Kisah itulah yang terbayang di kepala saya ketika sekarang ini ada kelompok masyarakat yang menggunakan kalimah tauhid "La Ilaha illallah" sebagai simbol gerakannya. Kalimah tauhid mereka jadikan simbol bendera, ditempel di baju seragam, topi dan assesoris lainnya. Orang pasti akan berpikir dua kali untuk mempersoalkan lambang dan simbol-simbol itu. Orang yang mempersoalkan akan diejek: "...lho, Anda ini muslim kok alergi dengan kalimah tauhid". Sejarah selalu berulang. Kalau orang memahami sejarah tidak akam tertipu. Jika Ali bin Abi Thalib tertipu dengan mushaf di ujung tombak, jangan sampai bangsa Indonesia tertipu dengan gerakan yang menjadikan kalimah tauhid sebagai benderanya. Kalimah tauhidnya tidak ada masalah, tapi mereka menggunakannya untuk menipu. 

Ujian warga NU zaman now

Ujian warga NU zaman now

Mengaku sebagai orang NU dizaman sekarang begitu berat ujiannya, sebab beberapa tahun kebelakang ini NU mendapatkan tekanan yang dahsyat dari arus gerakan intoleran yang bersumber dari timur tengah. Setelah mereka berhasil memporak porandakan negara-negara timur tengah dengan dalih menegakkan hukum Islam dan Khilafah, maka skenario tersebut kini sedang mulai diterapkan di Indonesia. Ketika kemudian ada ormas-ormas yang berusaha menghadang laju gerakan makar mereka, maka bisa dipastikan mereka akan membidik dan menyingkirkan apapun yang dianggap sebagai penghalang oleh mereka, dan di Indonesia, penghalang itu adalah NU. Itu sebabnya beberapa tahun terakhir ini upaya-upaya penggembosan dan deNUisasi begitu massif mereka lancarkan.  Hasilnya lumayan berhasil, tidak sedikit warga NU yang awam dan lugu terpengaruh sehingga simpatik dengan gerakan mereka .

Sudah seharusnya warga NU berpegang teguh pada ajaran NU dalam menghadapi kelompok-kemompok bughat tersebut, sebab mereka itu neo khawariji yang mana Sayyidina Ali pernah berkata tentang mereka sebagai berikut :

"Mereka membawa nama Islam namun berada dijalan kesesatan dan jalan yg salah."

Syaikh Muthahhari berkata, "Jika hendak bersyukur kepada Allah atas suatu hal, maka hendaknya kita bersyukur bahwa Allah tidak menjadikan kita hidup di masa Sayyidina Ali .
Sekiranya kita hidup masa itu, belum tentu kita punya iman dan aqidah setinggi itu.

Misalnya jika kita hidup pada masa Sayyidina Ali, mampu kah kita berada di pihak Sayyidina Ali dalam perang Jamal dan perang Shiffin yang mana lawannya adalah sesama Ummat Islam ?

Dan yang lebih hebat dan dahsyat lagi ujiannya adalah ketika Sayyidina Ali memerangi kaum Khawarij. Seandainya kita hidup dizaman itu, apakah kita punya  keberanian untuk ikut serta bersama Sayyidina Ali dalam perang Nahrawan melawan kaum Khawarij?, sebab dalam perang ini Sayyidina Ali  memerangi orang2 yang senantiasa melakukan sholat di tengah malam dan mengerjakan ibadah di siang hari. Pada dahi mereka ada tanda hitam karena banyak melakukan sujud .

Siapa berani melawan orang2 seperti mereka ?
Hanya Sayyidina Ali yang mampu melakukan itu karena beliau tidak melihat sesuatu berdasarkan yg tampak. Sayyidina Ali  menyatakan bahwa mereka bukanlah orang2 yg suka berdusta dan bersikap riya', mereka bukan orang2 munafik .
Sekiranya kaum khawarij adalah orang2  yg suka berdusta dan bersikap riya' maka urusannya akan lebih mudah bagi beliau .

Mereka adalah suatu kaum yg mendirikan shalat di tengah malam dan mengerjakan puasa di siang hari, namun keberadaan mereka menimbulkan bahaya sangat besar bagi Islam.

Maka inilah ujian terberat yang dihadapi oleh orang2 NU, harus siap di olok-olok, dicaci dan dibully. Hanya orang2 yang benar2 faham akan ajaran NU saja yang mampu bertahan dalam ujian ini, sebab tidak sedikit yang cari aman dengan berlepas diri dari NU atau berdiam diri karena tidak kuat menghadapi ujian tersebut.

MENGENAL WALI PITU DI PULAU DEWATA

= MENGENAL WALI PITU DI PULAU DEWATA =

Menurut KH Toyib Zain Arifin, seorang Mursyid Tarekat yang mengadakan penelitian tentang keberadaan Wali Pitu di pulau Bali adalah para ulama yang menyebarkan Islam di pulau Bali yaitu:

1. Pangeran Mas Sepuh/Pangeran Amangkuningrat yang dikenal sebagai "Wali Seseh Mengwi." Makamnya terletak di pantai Seseh Mengwi, desa Munggu, kecamatan Mengwi kabupaten Badung dikenal sebagai "Makam Keramat Seseh."

3. Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al Khamid dikenal sebagai "Wali Kusamba." Makamnya berada di desa Kusumba kecamatan Dawan kabupaten Klungkung di dekat selat yang menghubungkan antara Klungkung dengan pulau Nusa Penida yang dikenal dengan "Makam Keramat Kesumba." Makam ini tidak hanya dikeramatkan oleh umat Islam tetapi juga oleh umat Hindu. Makam ini mempunyai ciri khas tang berupa patung Pangeran yang bersorban sedang menunggangi kuda layaknya Pangeran Diponegoro.

3. Habib Ali bin bin Zainal Abidin Al Idrus dan
4. Syekh Maulana Yusuf Al Baghdadi Al Maghribi, keduanya dikenal sebagai "Wali Kembar Karangasem." Makam keduanya berada di satu tempat berjajar di suatu makam di desa Bungaya Kangin kecamatan Babandem kabupaten Karangasem yg dikenal dengan "Makam Keramat Kembar." Kedua makam tersebut selamat dari dahsyatnya letusan dan semburan gunung Agung pada tahun 1963 yang berada di Karangasem.

5. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Baghdadi Al Maghribi yang dikenal sebagai "Wali Bedugul." Makamnya diatas bukit Bedugul kecamatan Baturiti kabupaten Tabanan yang dikenal dengan "Makam Keramat Bedugul." Ketika Gunung Agung meletus dengan hebatnya pada tahun 1963 dan meluluh lantakan kawasan sekitarnya, namun anehnya makam keramat ini tidak tersentuh oleh sebutir pasir pun dari letusan tersebut.

6. Habib Ali bin Umar Bafaqih dikenal sebagai "Wali Negara." Makamnya berada di jalan Loloan Barat kecamatan Negara kabupaten Jembrana dan dikenal dengan "Makam Keramat Loloan."

7. Syeik Abdul Qadir Muhammad dikenal sebagai "Wali Karang Rupit." Makamnya berada di desa Temukus kecamatan Banjar kabupaten Buleleng dan dikenal dengan "Makam Keramat Karang Rupit" di kawasan Bali Utara yang diziarahi oleh umat Islam dan umat Hindu.

TAUJIHAT KEBANGSAAN (TAUJIHAT WATHANIYYAH)

بسم الله الرحمن الرحيم

TAUJIHAT KEBANGSAAN (TAUJIHAT WATHANIYYAH)
MUHIBBIN AL-WATHONIYAH PONDOK PESANTREN AL-WATHONIYAH PUSAT JAKARTA



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Maidah [5]: 8)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 6)



Pada hari Selasa, 23 Oktober 2018, Menkopolhukam telah menyampaikan pernyataan pers tentang insiden pembakaran bendera bertuliskan kalimat Tauhid pada acara Hari Santri Nasional (HSN) di Limbangan Garut Jawa Barat pada 22 Oktober 2018. Berdasarkan hasil penyelidikan kepolisian maka secara resmi Menkopolhukam menyatakan bendera tersebut sebagai bendera HTI. Siang hari tadi, Jumat, 26 Oktober 2018 pukul 11.00 Kabareskrim Mabes Polri telah menyampaikan hasil penyelidikan terhadap insiden tersebut. Malam hari ini baru saja usai pertemuan musyawarah pimpinan pusat Ormas-Ormas Islam bersama Wakil Presiden RI di Menteng yang menghasilkan lima poin hasil musyawarah solusif. Sebagaimana diketahui bersama bahwa insiden tersebut mengakibatkan polemik dan kegaduhan di masyarakat dan berpotensi memecah-belah persatuan umat Islam dan persatuan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Maka kami atas nama pimpinan masyarakat Muhibbin Al-Wathoniyah Pondok Pesantren Al-Wathoniyah Pusat Klender Jakarta menyampaikan Taujihat Kebangsaan sebagai berikut:
1. Mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah dalam hal ini Wakil Presiden RI bersama Pimpinan Pusat Ormas-Ormas Islam dan cendekiawan muslim yang telah bermusyawarah dan menghasilkan point-point solusif.
2. Mengucapkan terima kasih dan bangga atas kinerja Pemerintah melalui Kemenkopolhukam RI dan Bareskrim Mabes Polri yang telah dengan cepat, professional, dan transparan menyampaikan informasi dan melakukan penyelidikan untuk memberikan kepastian informasi dan hukum kepada masyarakat.
3. Sebagai masyarakat pesantren, kami bersuka-cita dan berbangga hati atas penyelenggaraan upacara Hari Santri Nasional di Limbangan Garut Jawa Barat dan di seluruh Indonesia. Mengingat Hari Santri Nasional telah diresmikan oleh Pemerintah RI sebagai wujud penghormatan dan pengakuan negara atas jasa para ulama dan santri dalam memperjuangkan dan membela kemerdekaan RI. Oleh karenanya kami juga menghimbau kepada seluruh cabang Al-Wathoniyah dan masyarakat umum untuk aktif mensyiarkan HSN di lingkungan masing-masing dengan tertib dan khidmat.
4. Menghimbau kepada seluruh komponen masyarakat untuk menjunjung tinggi dan penuh hormat terhadap simbol suci agama Islam dan juga lambang kenegaraan Republik Indonesia. Penghormatan terhadap simbol Islam dan lambang negara tersebut adalah amanat dari pendiri Al-Wathoniyah Pusat, KH. Hasbiyallah bin Muallim H. Gayar (1913 – 1982).  Bagi Al-Wathoniyah Pusat, semangat Islam dan cinta negara adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan tidak boleh dibenturkan dengan alasan apapun. Nama Al-Wathoniyah yang berdiri sejak 1935 sendiri adalah cerminan kecintaan seorang ulama kharismatik KH. Hasbiyallah kepada cita-cita kemerdekaan dan pendirian NKRI. 
5. Kabareskrim Mabes Polri telah menyampaikan konferensi pers pada hari ini, Jumat 26 Oktober 2018, jam 11.00 – 11.45 di stasiun televisi dan media massa. Kabareskrim Polri telah menjelaskan beberapa point penting, di antaranya:
a. Bahwa peringatan HSN 22 Oktober 2018 di Limbangan Garut benar telah mendapat izin dari kepolisian setempat sehingga telah legal.
b. Acara tersebut juga sudah memiliki kesepakatan internal penyelenggara yaitu tidak boleh membawa atribut atau bendera apapun selain bendera Merah Putih.
c. Acara tersebut juga berkonten positif yaitu untuk meningkatkan Ukhuwah Islamiyah dan semangat Nasionalisme. Tidak ada konten negatif seperti provokasi dan lainnya. Sehingga munculnya pengibaran bendera bertuliskan kalimat Tauhid di acara tersebut jelas berasal dari pihak luar yang menyusup ke dalam acara HSN.
d. Kabareskrim Mabes Polri sudah menemukan penyusup dan pengibar bendera bertuliskan kalimat Tauhid dan mengumumkannya bahwa penyusup dan pengibar bendera di peringatan HSN 22 Oktober 2018 di Limbangan Garut Jawa Barat adalah bernama Uus Sukmana, seorang warga Garut yang bekerja di Bandung.
e. Dalam konferensi pers, Kabareskrim Mabes Polri mengumumkan bahwa Uus Sukmana sudah mengakui bahwa bendera yang dia bawa dan dia kibarkan di acara HSN Limbangan Garut adalah benar-benar bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang biasa dibawa dalam kegiatan-kegiatan HTI. Bukan bendera Tauhid.
f. Pembakaran bendera HTI oleh oknum Banser adalah bersifat spontanitas untuk berniat membakar bendera HTI, bukan niat sengaja membakar tulisan kalimat Tauhid, karena melihat adanya atribut atau bendera organisasi terlarang yaitu HTI ada di tengah proses upacara HSN.
6. Kami meyakini dan mendukung penuh pernyataan Menkopolhukam dan hasil penyelidikan Bareskrim Mabes Polri yang menyatakan dengan resmi, bahwa bendera yang dibakar oleh oknum Banser tersebut adalah bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bukan bendera Tauhid. Oleh karenanya, bagi kami insiden ini lebih menonjol pada masalah provokasi dan tindakan melawan hukum oleh penyusup yang mengibarkan bendera HTI, organisasi makar dan sudah dilarang oleh negara, di acara HSN Limbangan Garut. Bukan semata kasus pembakaran bendera HTI yang memang terdapat kalimat Tauhid di dalamnya oleh oknum Banser.
7. Terkait dengan insiden pembakaran bendera HTI tersebut, kami meminta aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan hukum secara lebih tegas, cepat, tuntas, dan transparan dan memproses hukum pihak-pihak yang terbukti bersalah melakukan pengedaran, penyusupan, pengibaran bendera HTI yang telah terlarang oleh negara demi terciptanya kepastian hukum, ketertiban, dan keadilan masyarakat.
8. Meskipun secara hukum pidana belum ditemukan pasal pelanggaran oleh oknum Banser pembakar bendera HTI karena tidak adanya niat jahat (mens rea) di dalamnya, namun kami meminta agar oknum Banser tersebut dikenakan hukuman (ta’zir) atau sanksi disiplin organisatoris dari pengurus Banser karena telah menyalahi SOP pengamanan HSN sehingga terprovokasi oleh penyusup dan pengibar bendera HTI di acara HSN Limbangan Garut.
9. Sesuai dengan hasil musyawarah Pimpinan Pusat Ormas-Ormas Islam bersama Wakil Presiden RI yang baru saja usai yang menginformasikan bahwa baik oknum pembakar dan oknum pengibar bendera HTI sudah meminta maaf atas insiden HSN Limbangan Garut, kami mengapresiasi permohonan maaf tersebut walau proses hukum harus tetap berjalan. Bagi kami hal tersebut menjadi langkah positif bagi upaya pencegahan terjadinya eskalasi provokasi dan politisasi pada skala yang cukup massif di masyarakat bawah dan rentan menjadi obyek kapitalisasi politik di tingkat elit kepentingan di tengah masa tahun hajatan politik nasional.
10. Kami mendukung penuh langkah Kepolisian RI untuk mengambil langkah penegakan hukum dalam mengusut dan menjatuhkan sanksi dalam rangka  menyelesaikan insiden Limbangan Garut, baik terhadap oknum pembakar maupun oknum pengibar bendera HTI dengan prinsip transparan, cepat, tuntas, tegas, dalam rangka mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.   
11. Kami menghimbau kepada para khatib, dai, muballigh, dan tokoh masyarakat di lingkungan Al-Wathoniyah dan masyarakat umum untuk pro aktif membantu dan mendukung kinerja aparat hukum dalam upaya melindungi dan menghindarkan umat Islam dan masyarakat dari provokasi, politik adu domba, dan intrik pecah-belah dari kelompok makar yang telah memperalat simbol-simbol suci agama untuk kepentingan politik. Harap sampaikan kepada umat dan warga masyarakat di wilayah masing-masing secara utuh, adil, dan penuh nuansa ketenangan serta ukhuwah serta menjauhi kepentingan pihak yang mencari keuntungan politik tertentu.
12. Para khatib, dai, muballigh, dan tokoh masyarakat di lingkungan Al-Wathoniyah dan masyarakat umumnya dihimbau untuk menyampaikan kepada lingkungannya secara utuh dan adil bahwa problem utamanya bukan saja pada insiden pembakaran bendera HTI, tetapi juga pada fakta adanya upaya provokasi, pengedaran, penyusupan yang pengibaran bendera HTI, Ormas makar dan terlarang yang jelas-jelas melanggar Undang-undang, Pancasila, merongrong NKRI dan menodai kesucian Islam yaitu dengan memanfaatkan kalimat Tauhid untuk tunggangan gerakan politik makarnya, di acara peringatan Hari Santri Nasional (HSN) Limbangan Garut Jawa Barat.
13. Kami menghimbau seluruh cabang Al-Wathoniyah dan masyarakat umumnya agar menolak upaya-upaya provokatif, adu-domba sesama muslim dan sesama anak bangsa Indonesia, politisasi simbol-simbol Islam, dan menolak hoax, ujaran kebencian, fitnah, provokasi yang disebarkan melalui media sosial maupun ajakan berdemonstrasi dalam merespons dan menyikapi insiden pembakaran bendera HTI atau insiden lainnya yang bersentuhan dengan isu pertentangan sesama umat Islam. Ini adalah bentuk konsistensi kita terhadap Khittah Al-Wathoniyah yang mengedepankan mekanisme musyawarah-mufakat dan dialog dalam upaya penyelesaian masalah keumatan, penuh nuansa persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah).
14. Kita himbau saudara-saudara kita agar mengedepankan berpikir secara utuh, adil, jernih, dan berprasangka baik (husnut tafahum) terhadap sesama umat Islam, umat beragama lain, dan kepada pemerintah sebagai Ulim Amri,  mematuhi aturan hukum yang berlaku, serta menjauhi buruk sangka, nafsu kebencian, dan nafsu amarah. Mari tingkatkan pemahaman berislam secara rahmat dalam memberdayakan umat dan mensejahterakan kehidupan bangsa.

Demikian Taujihat Kebangsaan (Taujihat Wathaniyah) ini disampaikan. Semoga bermanfaat dalam ikhtiar mewujudkan kondisi keumatan dan kebangsaan yang rukun, damai, dan harmoni untuk kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia.
   

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
(QS. Ali Imran [3]: 103)

Jakarta, 17 Shafar 1440 / 26 Oktober 2018

Muhibbin Al-Wathoniyah
Pondok Pesantren Al-Wathoniyah Pusat Jakarta



Arif Fahrudin
Pimpinan

Simbolisme Agama

*SIMBOLISME AGAMA*

Oleh: Said Muniruddin

Saya tidak tertarik mengomentari soal bendera karena itu tidak lebih dari gorengan dg minyak yg sudah gosong.

Tapi Simbolisme Agama di negeri ini merasuk hingga ke sumsum mpok-mpok dan mangcek-mangcek.

*Apa itu Simbolisme Agama?*

Simbol merupakan penanda bagi pandangan, teori, keyakinan, kelompok, suku atau juga bangsa. Kadang kehadirannya bukan hanya semata menjadi penanda akan tetapi merupakan kunci misteri atau sakralitas.

Melalui simbol ini umumnya kelompok ingin menunjukkan eksistensinya. Binatang pun melakukan hal yang sama. Singa jantan akan mengelilingi wilayah kekuasaannya dg kencingnya sehingga  singa-singa jantan lain ketika mencium bau kencing tersebut akan menghindari wilayah tersebut jika tidak hendak bertarung.
Pendaki gunung ketika mencapai puncak pendakiannya akan menancapkan simbol tertentu yg umumnya berbentuk bendera sebgaai penanda keberhasilan pendakiannya di puncak tersebut.

Bermula dari suku-suku kecil penggunaan simbol bendera menjadi penanda untuk memisahkan dg suku lain dan khususnya ketika terjadi peperangan menjadi penanda antara musuh dan kawan. Bahkan simbol-simbol tersebut kemudian menjadi sesuatu yg terpatri sebagai bentuk khas bangunan, rumah dan pakaian adat.

Dalam kehidupan modern setiap negara memiliki simbol2 melalui bendera, lambang2 negara dan sebagainya.

Dunia Sains tak luput dalam penggunaan simbol-simbol untuk memudahkan satu teori atau rumus diingat. Matematika, Fisika, Kimia adalah ilmu2 sarat penggunaan simbol di dalamnya.

Agama sangat sarat dengan Simbol. Setiap Agama memiliki simbolnya masing-masing. Agama Yahudi memiliki simbol yg begitu kompleks . Mulai dari bintang Daud hingga beragam simbol rumit Kaballah. Setiap tarikan garis memiliki maknanya sendiri. Sahabat saya mengirimi sy buku khusus ttg simbol-simbol dalam Mistik Yahudi.

Pada tradisi Kristen simbol utama Trinitas digambarkan melalui Salib sekaligus menggambarkan penyaliban Yesus dan bagaimana 12 tahap yang dilewati Yesus hingga sampai pada tragedi Penyaliban digambarkan melalui simbol-simbol.

Katolik memiliki simbol-simbol yg sangat beragam, selain Salib, Air suci, Alpha-Omega, Hati Kudus, Ihs dan Chiro, Ichtys, bahkan setiap warna yg melekat pada dinding gereja merupakan simbol bagi makna tertentu.
Demikian juga pada Protestan, Kristen Armen bahkan Ortodoks memiliki kekayaan simbol yg luar biasa.

Pada Agama Islam simbol secara khusus yg menggambarkan Islam itu sendiri tidak kita temui kecuali dalam kata الله dan محمد yg biasanya terukir dan digantung di masjid-masjid.

Bendera sama sekali tidak lagi kita temui sebagai simbol yg disepakati bersama kecuali bagi kelompok-kelompok tertentu semata. Pola bendera yg belakangan digunakan oleh ISIS atau HTI misalnya hanyalah pola bendera yg merupakan simbol bagi kelompok tersebut. Ketika pola bendera ISIS yg dikibarkan sebagian besar kaum muslimin hanya mengaitkan bendera tersebut dg kelompok ISIS demikian juga bendera HTI. Bahkan bendera yg umumnya digunakan oleh kaum muslimin umumnya terkait dengan negara masing-masing. Sehingga bendera tidaklah menjadi simbol yg mewakili Islam itu sendiri.

Adapun kalimat Syahadat adalah kalimat sakral sebagai keimanan dasar keabsahan seseorang menjadi muslim dan keindahan kaligrafi terkait kalimat tersebut tidaklah menjadi simbol akan tetapi bentuk pengungkapan keindahan kaligrafi terhadap dua kalimat syahadat yg sakral tersbut. Sehingga pola tulisannya pum beragam baik dalam pola tsulusi, Furs, Kufi dan sebagainya. Sekiranya itu adalah simbol maka polanya tetap dan ringkas yg cenderung dalam format gambar tertentu.

Di dalam dunia Tasawuf kekayaan simbol begitu luar biasa. Anemarie Sychimel menulis karya khusus tentang ini.

Dalam dimensi spiritualitas merupakan hal yg sangat wajar mengingat pengungkapan dimensi ghaib hanya dimungkinkan melalui simbol, syair atau isyarat karena ungkapan formal tidak mungkin menjangkau dimensi bathin tersebut.

Dari sini kita memahami sesungguhnya simbol terbentuk untuk mengungkap hal-hal yg sulit terjangkau secara formal. Kadang ada ilmuwan menggambarkan Simbol adalah tanda yg menyingkap makna.

Jadi tujuan kehadiran simbol adalah upaya mengajak mukhattab untuk sampai pada makna. Berhenti semata hanya pada simbol adalah kesalahan fatal. Seperti seseorang yg mengnginkan perjalanan menuju Bandung tapi hanya berhenti di depan papan jalan yg bertuliskan BANDUNG.

Sakralitas simbol Agama sesungguhnya karena sakralitas makna yg coba diungkap melalui simbol tersebut. Tanpa makna tersebut simbol tak berarti apapun kecuali sebatas kayu yg dibuat dalam pola salib.

Karena nilai sakralitas makna tadi, simbol menjadi sakral seperti halnya sebuah bendera bagi satu bangsa menjadi mulia karena merupakan pengungkapan eksistensi bagi bangsa tersebut. Sebelumnya dia hanyalah kain biasa tapi setelah dibentuk dalam pola persegi empat dan berwarna merah dan putih, kedudukannya menjadi mulia. Merobeknya sama dg mengganggu kehormatan bangsa Indonesia.

Menjadi hal lumrah dalam upaya merendahkan negara tertentu simbol2 tersebut diinjak, dibakar atau dirobek2. Seperti kita akan temukan dg mudah bendera Amerika dan Israel yg dilukis di jalan-jalan di Iran untuk diinjak bahkan dalam demonstrasi Yaum al-Quds kerap terjadi pembakaran bendera Amerika dan Israel sebagai simbol kebencian dan perendahan pada kedua negara tersebut.

Celakanya kelompok2 tertentu kerap menggunakan simbol-simbol agama untuk menggambarkan eksistensi mereka sehingga ketidak sukaan atau perendahan pada simbol-simbol kelompok tersebut dapat dikesankan sebagai perendahaan dan penghinaan pada agama yg simbolnya digunakan oleh kelompok tersebut, padahal itu adalah murni simbol bagi kelompok tersebut.

Penggunaan simbol mulia untuk tindakan yg tidak mulia tentu adalah kesalahan dan penghinaan terhadap makna itu sendiri seperti halnya kubah masjid dijadikan sebagai atap toilet adalah penghinaan. Namun berhenti dalam pola keberagamaan  hanya pada simbol dan sakralitas simbol semata tanpa berusaha untu menyelami makna di balik simbol adalah kekeliruan dalam beragama atau malah tidak beragama. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah 'Simbolisme Agama'.

Sayangnya betapa banyak orang yang beragama hanya pada tingkat sakralitasisasi simbol tanpa berusaha untuk menyelami makna dan merefleksikan makna tersebut dalam proses kehidupan. Khususnya kalangan puritanisme dan skriptualisme.

Simbolisme Agama ini sesungguhnya masuk kategori "Syirk Khofie" (Syirik yg tersembunyi) karena mensakralkan bentuk dengan melepaskan makna. Efeknya, menjadi berbahaya karena membela simbol dianggap telah membela agama dan keberbedaan pemahaman terhadap simbol tertentu mengkerucut pada kecurigaan keimanan. Betapa banyak korban yg ditimbulkan akibat sikap Simbolisme Agama ini.

Padahal jika kita renungkan ayat-ayat al-Qur'an, ayat-ayat tersebut mengajak kita melintasi dari simbol menuju pemahaman makna.

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS 41: 53).

"Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS 3: 137).


Fariduddin Athar dalam 'Manthiq al-Thayr' menggambarkan kegagalan burung-burung untuk sampai pada Simurgh karena terpesona dgn beragam simbol yg ditampilkan oleh hakikat Simurgh. Demikianlah Rumi mengingatkan 'Ketahuilah bahwa hakikat Mawar bukanlah M-A-W-A-R'

Melintaslah dari Simbol menuju Makna sebagai Shirotol Mustaqim. Semoga dgn itu keberagamaan kita menjadi lebih bernilai.


Maman S 

IMAM ABU HANIFAH DIDEMO

IMAM ABU HANIFAH DIDEMO

Habib Balya

Imam Abu Hanifah, adalah ahli fiqh paling terkemuka di masanya. Imam Syafi’i mengatakan : “Semua orang dalam fiqh adalah keluarga Abu Hanifah”.

Pandangan-pandangannya dikenal rasional.  Ia dikenal sebagai "Imam Ahl Ra'yi", pemimpin mazhab fiqh rasional. Ada banyak pendapatnya yang berbeda dari mazhab lainnya. Misalnya perempuan dewasa bisa menikahkan dirinya sendiri, tanpa wali.

Sekarang saya ingin menyebut contoh lain yang mungkin lucu tapi masuk akal. Ia berpendapat bahwa makmum shalat tidak perlu membaca surah al-Fatihah. Cukup Imamnya saja. Menurutnya Imam adalah pemimpin. Suara Imam/pemimpin adalah sudah mewakili suara pengikutnya. "Qiroah al-Imam Qiroah al-Ma'mum". Bacaan Imam adalah bacaan makmum. Apakah Imam Abu Hanifah hanya mengandalkan argumen akal?. Ternyata tidak. Abu Hanifah juga mengemukakan dasar hukumnya dari hadits Nabi yang dipercayainya. “Innama Ju’ila al-Imam Li Yu’tamma bihi”, Seseorang dijadikan Imam, agar diikuti makmumya. Ini hadits Sahih Bukhari. Lagi pula al-Qur’an menyatakan : “Jika al-Qur’an  dibacakan kepada kalian, maka dengarkan dan diam”.

Pendapat ini  menimbulkan masalah dan kontroversial di tengah-tengah masyarakat yang umumnya penganut mazhab al-Syafi’i yang mewajibkan setiap orang yang shalat membaca surah al-Fatihah. Mereka marah, dan menuduh yang tidak-tidak, lalu berkumpul untuk melakukan unjuk rasa sambil berteriak-teriak emosional. Mereka menuduh Imam Abu Hanifah telah sesat dan menyesatkan. Mereka kemudian berdemo dengan mendatangi rumah Abu Hanifah menuntutnya mencabut pendapatnya itu.

Abu Hanifah keluar menemui mereka sambil meminta bersikap tenang dan tidak membuat gaduh. Abu Hanifah lalu meminta mereka tidak saling berebut bicara. Setelah mereka tenang ia mengusulkan agar ada seorang di antara mereka yang terpandai, untuk menjadi wakil mereka guna mendiskusikan tuntutan mereka. Sesudah mereka menunjuk seseorang yang dianggap paling mengerti agama, Abu Hanifah menanyakan kepada mereka: “apakah kalian setuju dengan orang ini?. Mereka menjawab serentak: “Setujuu!”. Abu Hanifah bertanya lagi : “Apakah kalian akan mengikuti pendapatnya?. Mereka menjawab lagi dengan suara yang sama : “Ya, kami akan mengikuti apapun yang akan disampaikan dan dilakukannya”. Abu Hanifah mengatakan : “Nah, kalau demikian, masalahnya telah selesai. Sekarang kalian kembali ke rumah masing-masing”. Mendengar itu, mereka, termasuk sang juru bicara, seperti orang bingung. “Kok selesai?. Apanya yang selesai?”.
Peristiwa itu menunjukkan bahwa pendapat Abu Hanifah dibenarkan mereka. Bukankah pemimpin mereka adalah suara mereka juga?. Jadi bukankah sudah cukup, bila dia saja yang bicara dan tidak perlu para pengikutnya ikut bicara?.

Cerita singkat di atas tidak dimaksudkan sebagai persetujuan saya terhadap pendapat Imam Abu Hanifah untuk kasus ini. Melainkan hanya ingin memperlihatkan bahwa hukum agama (fiqh) tidaklah tunggal, dan bukan tanpa argument dari teks agama. Imam Abu Hanifah hanya berargumen dengan akal sederhana, karena ia mengerti siapa yang dihadapinya. Ia sebenarnya juga punya argument naql (hadits), tetapi itu harus dijelaskan, mungkin akan panjang dan belum tentu dapat dimengerti. Jadi meskipun di tempat kita ada pandangan bagi keharusan setiap orang yang salat membaca al-Fatihah yang diikuti secara mainstream, tetapi pandangan yang minoritaspun perlu dihargai, karena iapun memiliki dasar, meski kadang tidak diketahui public. Oleh karena itu tidak sepatutnya ia disesatkan.

Islam Sontoloyo Versi Bung Karno

Lima Ciri Islam Sontoloyo Menurut Bung Karno
Juni adalah bulan Soekarno. Di bulan ia lahir dan wafat ini penting untuk kita mengingat kembali gagasan pendiri bangsa ini tentang Islam. Perhatiannya terhadap Islam begitu bergairah di zaman kemerdekaan. Berbagai gagasannya tentang Islam masih sangat relevan hingga kini.
Presiden pertama Indonesia yang akrab disapa Bung Karno ini mengedepankan esensi dan substansi Islam ketimbang simbol-simbol Islam yang kaku. Ia menyalakan, apa yang ia sebut sebagai, api Islam. Ia ingin menghidupkan kembali jiwa Islam sebagai ajaran universal sebagaimana visi etik Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad.
Karena itu, ia menolak kecenderungan apa yang ia sebut sebagai masyarakat onta atau Islam Sontoloyo. Kecenderungan ini bukan hanya masih menggejala, bahkan kian menguat kini.
Sebagai pencetus Pancasila dan merumuskan nilai-nilainya, ia mengadopsi apa yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah sebagai petun­juk urusan menyusun dan membangkitkan masyarakat. Pancasila itu salah satu wujud bagaimana Bung Karno menerapkan visi etik Al-Quran dan sunah nabi itu.
Bung Karno mendalami Islam saat berada di Endeh. Bahkan menurut H.A. Notosoetardjo dalam Rakyat Bertanya Bung Karno Menjawab, ia menekuni pengetahuan Islam berawal saat dari Penjara Sukamiskin kemudian dilanjutkan dengan lebih intensif saat pembuangan di Endeh. Ia baru mulai mengeluarkan berbagai pendapatnya di media massa mengenai masalah-masalah Islam saat ia dipindahkan ke Bengkulu.
Dalam berbagai tulisannya tentang Islam itu tampak pengetahuan Bung Karno tentang Islam begitu luas dan mendalami persoalan. Selain melahap berbagai buku dari para ulama di berbagai negeri Islam, ia juga murid dari tokoh utama Sarekat Islam: Tjokroaminoto (Baca: Islam Progresif Tjokroaminoto).
Bisa dibilang, berbagai gagasannya tentang Islam ikut memberi landasan Islam Indonesia atau Nusantara.
Berikut lima ciri masyarakat onta atau Islam Sontoloyo yang menurutnya membuat Islam mundur dan konflik tak berujung di tengah masyarakat dan penghambat kemajuan bangsa.
Royal Mencap Kafir
Dalam Surat-surat Islam dari Endeh (1930-an) dan Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara (1940), Bung Karno menulis kritik terhadap kecenderungan sebagian ulama dan umat Islam saat itu yang begitu mudah mencap kafir.
“Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat kafir; radio dan kedokteran kafir; sendok dan garpu dan kursi  kafir; tulisan Latin  kafir; yang bergaul dengan bangsa yang bukan bangsa Islam pun kafir!”
Menurut Bung Karno, yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, radio dan listrik, kemoderenan dan ke-uptodate-an berarti mereka mau tinggal dalam keterbelakangan, kuno, makan tanpa sendok, dan naik onta.
Astagfirullah, inikah Islam? Inikah agama Allah?” tulisnya.
Taklid Buta
Bagi Bung Karno, taklid itu seperti abu, debu, dan asap. Ia bukan api Islam. Islam tak lagi jadi agama yang boleh dipikirkan secara merdeka, tapi telah menjadi monopoli kaum fakih dan kaum tirakat.
“Hampir seribu tahun akal dikungkung sejak kaum Mu’tazilah sampai Ibnu Rusyd dan lainnya. Asy’arisme pangkal taklidisme dalam Islam. Akal tidak diperkenankan lagi. Akal itu dikutuk seakan-akan dari setan datangnya,” paparnya.
Mengutip Snouck Hurgronje, ia mengatakan ulama dari segala waktu terikat pada ucapan ulama terdahulu, masing-masing dalam kalangan mazhabnya. Syariat itu akhirnya bergantung kepada ijma’ dan tidak kepada maksud-maksud firman yang asli.
Padahal jelas, baginya, dua sumber utama Islam adalah Kalam Allah dan Sunah Rasul. Dari dua sumber ini pula para ulama mengambil kesimpulan hukum. Dari dua sumber utama ini pula kita mesti menyalakan api Islam.
Menurut Bung Karno, Al-Quran dan Hadits itu tidak berubah. Bahkan “teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas.” Tapi pandangan masyarakat yang senantiasa berubah, berevolusi, dinamis, mengalir.
Mengutamakan Fikih
Dalam Islam Sontoloyo (1940), Bung Karno menulis bahwa fikih bukanlah satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utamanya ialah terletak dalam ketundukan kita punya jiwa pada Allah.
“Fikih itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama. Belum dapat memenuhi syarat-syarat ketuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada tauhid, akhlak, kebaktian ruhani, kepada Allah,” tulisnya.
Menurutnya, Al-Quran dan api Islam seakan-akan mati karena kitab fikih itu sajalah yang dijadikan pedoman hidup, bukan kalam Illahi sendiri.
“Dunia Islam sekarang ini setengah mati, \tiada nyawa, tiada api, karena umat Islam sama sekali tenggelam dalam kitab fikihnyasaja, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya Levend Geloof, yakni udara-udaranya agama yang hidup.”
Hal itu tak berarti Bung Karno membenci fikih. Menurutnya, fikih tetap penting. Bahkan ia menyebutkan, masyarakat Islam tak dapat berdiri tanpa hukum-hukum fikih. Sebagaimana tiada masyarakat tanpa aturan perundang-undangan.
“Saya hanya membenci orang atau perikehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri kepada fikih, kepada hukum-hukumnya syariat itu saja,” tulisnya.
Dengan mengutip Farid Wadji, Muhammad Ali, Kwada Kamaludin, Amir Ali, ia mengatakan bahwa alangkah baiknya di samping mempelajari fikih kita juga dengan sungguh belajar nilai dan visi etik Al-Quran.
Ini Bung Karno praktikkan, salah satunya saat anjing yang ia pelihara menjilat air di dalam panci di­ dekat sumur. Ia kemudian Ia pun meminta Ratna Juami untuk membuang air itu dan mencuci  panci itu beberapa kali dengan sabun dan kreolin.
“Di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi s.a.w. sendiri telah menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram atau makruh,” paparnya.
Tak Melek Sejarah
 Dalam Surat-surat Islam dari Endeh (1930-an), Bung Karno menulis, umumnya kita punya ulama dan kiai tapi tak ada sedikitpun “feeling” kepada sejarahnya. Mereka punya minat hanya tertuju pada agama, terutama pada bagian fikih. Tapi pengetahuan tentang sejarah umumnya nihil. Padahal sejarah adalah padang penyelidikan yang maha penting!
“Kebanyakan mereka tak mengetahui sedikitpun dari sejarah itu. Sejarah, apalagi bagian “yang lebih dalam”, yakni yang mempelajari kekuatan-kekuatan masayarakat yang menyebabkan kemajuan atau kemundurannya sesuatu bangsa. Sejarah itu sama sekali tidak menarik mereka punya perhatian,” tulisnya.
Paling mujur, lanjut Bung Karno, mereka hanya mengetahui tarikh Islam saja. Dari tarikh Islam ini seharusnya mereka sudah dapat menggali juga banyak ilmu yang berharga. Tapi umumnya kita mempelajari hukum, kenal isi kitab fikih, mengetahui tiap perintah dan larangan agama hingga yang terkecil, tapi kita tidak mengetahui bagaimana cara Nabi, para sahabat, tabiin, khalifah menaafsirkan perintah dan larangan-larangan Allah di dalam urusan sehari-hari dan urusan negara.
“Kita sama sekali gelap dan buta buat di dalam hal menafsirkan itu oleh karena tidak mengenal tarikh,” imbuhnya.
Menurutnya, pelajaran terbesar dari sejarah adalah bahwa Islam di zamannya yang pertama dapat terbang meninggi seperti burung garuda di atas angkasa karena fikih tidak berdiri sendiri. Fikih disertai dengan tauhid dan etiknya Islam yang menyala-nyala. Fikih  hanyalah “kendaraan” saja.
Kendaraan ini dikusiri oleh rohnya etik Islam serta tuhid yang hidup. Dengan fikih yang demikian itulah umat Islam menjadi cakrawati (pucuk pimpinan) di separuh dunia!
Dengan mengutip Essad Bey, Bung Karno mengatakan, jia kedudukan fikih begitu sentral  di situlah Islam membeku menjadi satu sistem formil belakang. Ia tiada bergerak lagi, ia mandek! Bukanlah saja mandek, fikih bukan lagi menjadi petunjuk dan pembatas hidup.
Jika pemuka dan umat Islam Indonesia tetap tidak mengindahkan pelajaran besar dari sejarahnya sendiri dan mengikuti jejak para pemimpin besar di negeri lain serta hanya berorientasi fikih, maka jangan harap umat Islam Indonesia akan dapat mempunyai kekuatan jiwa hebat untuk menjunjung dirinya dari keadaan aib yang sekarang ini.
Hadis Lemah sebagai Pedoman
Menurut sebagian ulama, hadis lemah (da’if) bisa dijadikan sumber hukum selama tak bertentangan dengan Al-Quran. Bagi Bung Karno sendiri, hadis lemah di antara yang menyebabkan kemunduran Islam.
“Saya perlu kepada Bukhari atau Muslim itu karena di situlah dihimpun hadis-hadis sahih. Walaupun dari keterangan salah seorang pengamat Islam bangsa Inggris, di Bukhari pun masih terselip hadis-hadis yang lemah. Dia pun menerangkan, bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam, ketakhayulan orang Islam banyaklah karena hadis-hadis lemah itu yang sering lebih laku daripada ayat-ayat Al-Quran. Saya kira anggapan ini adalah benar.”  ***
(Achmad Rifki)
Sumber madinaonline.id

Tips Lulus Ujian CPNS


Supaya lolos dan bisa menjadi PNS yang sesungguhnya, ada dua hal yang bisa dilakukan.

Itu diantaranya:

Membaca Buku-Buku CAT
Menurut Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Hari Wibisana, ada rahasia khusus agar bisa lulus tes CPNS, yakni melakukan simulasi Computer Assisted Test (CAT) di portal BKN.
Simulasi ini dilakukan sebab CPNS haruslah lulus Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dengan sistem CAT.

Tes ini terdiri dari 3 bagian, yaitu Tes Wawasan Kebangsaan, Tes Intelejensi Umum, dan Tes Karakteristik Pribadi.
Untuk Tes Wawasan Kebangsaan, menurut Bima, peserta CPNS harus mempelajari terlebih dahulu sejarah bangsa Indonesia atau yang disebut Tes Wawasan Kebangsaan.

“Jadi tes wawasan kebangsaan ini memang harus belajar. Belajar mengenai sejarah Indonesia, rasa kebangsaan Indonesia, dan Pancasila,” ujar Bima.
Menurut Bima Tes Wawasan Kebangsaan menjadi hal penting bagi seleksi PNS sebab sebagai abdi negara harus dan perlu tahu tentang sejarah Indonesia.

Supaya lulus, belajar secara mandiri lewat buku panduan atau ebook yang ada di internet bisa menjadi pilihan.
Supaya bisa belajar kapan pun dan di mana pun, jangan lupa bawa smartphone andalanmu ke mana saja.
Gunakan Strategi Khusus
Menurut Mentor Kelas CPNS di Lembaga Bimbingan Belajar 4JO, menjawab soal CPNS perlu strategis khusus sebab kamu berpacu dengan waktu sebab dalam waktu 90 menit harus bisa menjawab 100 soal.
“Belum lagi kita berpacu ke passing grade tiap jenis soal,” ujar Andri

Pertama, menjawab soal yang paling mudah. jangan terpaku pada soal susah yang menghabiskan waktu.
Kedua, selesaikan terlebih dahulu Tes Kepribadian (TKP), tes ini terbilng mudah sebab menggunakan nalar dan perbandingan untuk menjawab.
Melalui TKP akan dapat dinilai sisi kreatifitas dan inovasi, orientasi pelayanan, kemampuan beradaptasi, mengendalikan diri, serta bekerja tuntas dan mandiri.
TKP juga menggambarkan kemauan dan kemampuan belajar berkelanjutan, bekerjasama dengan kelompok serta menggerakan dan mengkoordinir orang lain.

Setiap jawaban TKP punya nilai skor dari 1-5, yang berarti apapun jawabannya tetap memiliki nilai yang berbeda dengan TWK dan TIU yang benar bernilai 5 dan salah bernilai 0.
Soal TKP sendiri ada dari nomor 66-100 yakni sebanyak 35 soal dengan passing grade 143. Pastikanlah kamu bisa menjawab soal TKP secara benar sebanyak 25 soal.

Kemudian Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tes ini berjumlah 35 soal dan setiap jawaban mendapat tambahan skor 5 dan salah mendapat skor 0 tapi tidak mengurangi nilai.
Dalam Tes ini disarankan jangan mengosongkan jawaban jika benar-benar tidak bisa menjawab sebab siapa tahu jawabanmu benar.

Pastikan kamu menjawab 16 soal TWK secara benar sebab kamu berhasil mengumpulkan 80 poin dan lulus karena passing grade TWK adalah 75.
Tes ini bertujuan untuk menilai penguasaan pengetahuan dan kemampuan mengimplementasikan nasionalisme, integritas, bela negara, pilar negara, bahasa Indonesia, Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

NKRI mencakup sistem tata negara Indonesia, sejarah perjuangan bangsa dan peran bangsa Indonesia dalam tataran regional dan global. Kemampuan berbahasa Indonesia juga ikut menjadi penilaian dalam tes TKW ini.
Terakhir Tes Intelegensia Umum (TIU). Berjumlah soal 30, tes ini memiliki passing grade 80 poin. Jika menjawab benar mendapatkan skor 5 dan salah mendapatkan skor 0.
Hal yang pertama dinilai adalah kemampuan verbal dan kemampuan menyampaikan informasi secara lisan maupun tulisan.

Selain itu, akan dilakukan tes mengetahui kemampuan numerik peserta dalam melihat operasional dan hubungan di antara angka-angka.
Kemudian dinilai juga kemampuan figural yakni kemampuan yang berhubungan dengan kegesitan mental seseorang dalam menganalisa gambar, simbol, dan diagram. Serta kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, juga kemampuan mengurai suatu masalah.

Kerjakanlah soal lebih mudah terlebih dahulu, seperti Bahasa Indonesia, Sinonim, Padanan Kata dan Antonim karena tak menyita waktu.

Kemudian lanjut ke soal cerita yang tak terlalu banyak paragraf, setelah itu lanjut ke soal matematika. Numerik biasanya lebih mudah dibanding deret aritmatika. Pastikan menjawab sebanyak soal TIU sebanyak 14 nomor.

Semoga bermanfaat dan Lulus Tes  CPNS



  • Sumber tribunnews.com

Syair Peringatan Hari Santri

Syair Peringatan Hari Santri

( صلاة الله سلام الله -على طه رسول الله)
(صلاة الله سلام الله - على يس حبيب الله )

1~
Mari Asar ,Ngaji "Alquran"
Alif,Bak,Tak,Aran "Turutan"
Budal bareng,nang sekolahan,.
Nnganggo Sarung,ugo Kuplukan.

2~
Madrasahe aran "Diniyyah",
Ngaji "Shorof" lan "Jurumiyah",
Guru²ne do nganggo kopyah,
Sregep khidmah pingin Barokah.
3~
Budal mondok,budal nyantri.
Karo Bapak,Sowan Kiyai.
Ngliwet dewe,iwake Teri,
Sing mangan limo,ajange siji.
4~
Ngajine Guru arane,"Balah"
Lek wes "Sorogan",ra iso "Silah".
Ngaji "Bandongan" tan Soyo Berkah.
Sholat Jamaah 'du Istiqomah.
5~
Apalane,"Nadzom Imrithy"
"Alfiyahe" yo kudu "Titi"
Nang "Tirakate",yo Kudu "Gati"
Pamit moleh nikah "mbak Santri".
6~
22 oktober,"HARI SANTRI"
"Kitab Kuning" ngajine Santri
Sholawatan kegyatane Santri
"Nahdlotul Ulama' Omahe Santri"

Monggo di viralkan..

Sejarah Berdirinya Pesantren Jawa Barat

السلام عليكم.

SEJARAH BERDIRINYA PESANTREN:
Khususnya provinsi jawa barat
1. Tahun 1418 berdiri Pesantren Syekh Quro.
Karawang
2. Tahun 1420 berdiri Pesantren Pasambangan
Cirebon oleh Syekh Datul Kahfi atau Syekh
Nurjati
3. Tahun 1456 berdiri Pesantren Jalagrahan
Cirebon Girang oleh Walangsungsang alias
Ki Samadulah alias Haji Abdullah Iman alias
Cakrabuana alias Ki Kuwu Sangkan alias Ki
Kuwu Manggana
4. Tahun 1500 berdiri Pesantren Godog
Karangpawitan Limbangan Garut oleh
Sunan Rohmat Suci Godog alias Gagak
Lumayung alias Galantang Setra alias Kian
Santang alias Sunan Bidayah
5. Tahun 1520 berdiri Pesantren Sang
Ciptarasa oleh Syarif Hidayatullah alias
Sunan Gunung Djati
6. Tahun 1715 berdiri Pesantren Babakan
Ciwaringin Cirebon oleh Ki Jatira alias
Syekh Hasanuddin
7. Tahun 1749 berdiri Pesantren Al-Falah Biru
Singguru Samarang Garut oleh Syekh Fatah
Rohmatulloh bin Dewi Ratu Biru binti Sultan
Maulana Hasanuddin Banten bin Syarif
Hidayatullah Cirebon
8. Tahun 1785 berdiri Pesantren Buntet
Cirebon oleh Mbah Muqoyyim
9. Tahun 1810 berdiri Pesantren Gentur Cianjur oleh Tubagus Ahmad Haq Nuh
10. Tahun 1809 berdiri Pesantren Beunteur Banjar
11. Tahun 1847 berdiri Pesantren Asyrofuddin Congeang Sumedang
12. Tahun 1887 berdiri Pesantren Keresek Garut
13. Tahun 1894 berdiri Pesantren Darul Falah Jambudipa Cianjur
14. Tahun 1897 berdiri Pesantren Kandang Sapi Cianjur
15. Tahun 1905 berdiri Pesantren Suryalaya Pagerageung Tasikmalaya
16. Tahun 1911 berdiri Pesantren Miftahul Huda Al Azhar Banjar, Pesantren Sempur Purwakarta oleh Kyai Tubagus Bakri Banten.
17. Tahun 1913 berdiri Pesantren Darul Ulum Ciamis
18. Tahun 1917 berdiri Pesantren Cintawana Tasikmalaya
19. Tahun 1910 berdiri Pesantren Pagelaran I Cimeuhmal Subang
20. Tahun 1920 berdiri Pesantren Pagelaran 2 Cimalaka Sumedang
21. Tahun 1922 berdiri Pesantren Sukahideng Sukarame Tasikmalaya, Pesantren Genteng Sukabumi, Pesantren Baitul Arqom Soreang Bandung
22. Tahun 1927 berdiri Pesantren Sukamanah Sukarame Tasikmalaya
23. Tahun 1929 berdiri Pesantren Darussalam Cidewa Ciamis
24. Tahun 1920 berdiri Pesantren Bahrul Ulum Awipari Cibeureum Kota Tasikmalaya oleh KH Busthomi
25. Tahun 1931 berdiri Pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya, Pesantren Cipari Garut, Pesantren Sindangsari Al-Jawami Cileunyi Bandung
26. Tahun 1934 berdiri Pesantren Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi, Pesantren Al Ittifaq Ciwidey Bandung
27. Tahun 1935 berdiri Pesantren Cijantung Ciamis
28. Tahun 1936 berdiri Pesantren Persis Pajagalan Bandung
29. Tahun 1939 berdiri Pesantren Darussalam Garut
30. Tahun 1940 berdiri Pesantren Miftahul Khoer Ciamis
31. Tahun 1943 berdiri Pesantren Al Fadlilah Ciamis
32. Tahun 1961 berdiri Pesantren Pagelaran 3 Cisalak Gardusayang Sukakerti Subang
33. Tahun 1967 berdiri Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya
Dari pesantren semua berawal
Dari pesantren jutaan pejuang lahir
Dari pesantren para pemimpin tampil
Dari pesantren kedaulatan ummat terbangun
Kami bangga dng pesantren
Kami siap melanjutkan amanah para ulama
Selama pesantren masih lestari harapan indonesia ke arah yg lebih baik masih ada.
#BanggaJdSantri

#SavePesantren

SELAMAT MENYONGSONG HARI SANTRI NASIONAL 22 OKTOBER 2018

15 PESAN KYAI UNTUK HARI SANTRI

15 PESAN KYAI UNTUK HARI SANTRI

1) Santri kudu kuat tirakat.
Santri harus kuat tirakat; puasa, wiridan, belajar dan sebagainya.
2) Ono santri gak kelar noto Jama'ahe, ngunu wes pingin rabi. Gak kiro kelar noto bojone.
Ada santri tidak mampu menata (istiqomah dan tepat waktu) sholat berjma'ah. Eh, yang model begitu kok kebelet menikah. Nanti, ia tak mampu menata isterinya.
3) Santri kudu nyatet mlebu metune duike, sampek tuku weci cateten.
Santri harus mencatat keluar-masuknya uang, bahkan uang yang dibuat beli kue harus dicatat.
4) Santri ojo mikir dunyo. Dunyo ga' melok nduwe kok di pikir. Dunyo tek gusti Allah.
Santri tidak usah memikirkan dunia/harta. Kita tidak ikut memiliki, untuk apa ikut memikirkan. Dunia ini milik Allah.
5) Santri sing jatu olene nyekel ilmu.
Santri harus teguh memegang ilmu yg sudah dipelajarinya.
6) Sing kudu iso ngelakoni ajarane Rasulullah yoiku santri, contone salam.
Seharusnya yang paling bisa menjalankan ajaran dan sunnah Rasulullah adalah santri, seperti kesunahan mengucap salam.
7) Dadio santri temenan. Ojo dadi santri, ngaji sukur ngaji, ibadah sukur ibadah.
Jadilah santri sejati! Jangan menjadi santri yang saat mengaji dan beribadah asal-asalan.
8 Santri sing ora kerasan nog pondok; kudu metu ae, wocoen surat Kahfi.
Santri yang tidak betah di pondok; ingin keluar terus, bacalah surat Al-Kahfi.
9) Lek mondok sing menisan. Koyo' toh awakmu nyemplung kolam. Lekne nyemplung kolam, menisan nyemplung kabeh.
Kalau mondok harus secara kaffah. Persis seperti kamu masuk ke kolam, sekalian menyelam.
10) Santri lek kepingin opo-opo, kudu kuat silo.
Bila santri ingin apapun, harus kuat duduk bersila (wiridan).
11) Santri ojo' boyong sakdurunge dadi wong bagus
Santri, jangan berhenti dari pondok sebelum kamu menjadi orang yang berkelakuan baik.
12) Santri dalam urusan ibadah harus lebih sempurna dari yang lainnya.
13) Lek ono arek genda'i arek wedok utowo arek wedok genda'i arek lanang, ganok arek sing lewih gendeng teko arek iku.
Kalau ada santri putera berpacaran dengan santri puteri atau sebaliknya, maka tak ada santri yang lebih gila dari itu.
14) Santri iku koyo' parutane klopo, lek wes kepepet, diperes metu santene.
Santri ibarat hasil parutan kelapa. Saat terdesak, bila diperas keluar santannya.
15) Lek wung tuwone loro, gak usah pamit muleh. Lungguh madep ngulon, moco yasin 41X.
Kalau orang tua sakit, santri tidak usah pamit pulang (menjenguk orang tua). Cukup duduk bersila menghadap ke barat dan baca yasin 41X.

Santri

SANTRI

Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa santri itu tidak hanya orang yang berada di pondok pesantren dan bisa mengaji kitab. Namun, santri adalah orang-orang yang ikut kiai dan setuju dengan pemikiran serta turut dalam perjuangan kaum santri. Santri merupakan orang meneladani para kiai.

“Santri adalah orang-orang yang ikut kiai, apakah dia belajar di pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan kiai, manut pada kiai, itu dianggap sebagai santri walaupun dia tidak bisa baca kitab, tapi dia mengikuti perjuangan para santri,”

Menurut Kiai Ma’ruf, para santri itu bisa tinggal dimana saja. Ada yang tinggal di pondok di pesantren, ada pula yang sesekali ke pesantren atau disebut santri kalong, ada juga santri yang sekali-kali saja datang bertemu kiai dan santri. “Pokoknya, santri itu ikut kiailah. Karena itu dia mencakup hampir semua lapisan masyarakat,” tuturnya.

Sementara, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyatakan bahwa santri adalah umat yang menerima ajaran-ajaran Islam dari para kiai. Para kiai itu belajar Islam dari guru-gurunya yang terhubung sampai Rasulullah SAW. Selain berakhlakul karimah, santri juga menjunjung tinggi budaya. Bahkan, menjadikan budaya tersebut sebagai infrastruktur agama.

“Santri itu jelas, adalah orang-orang yang menindaklanjuti dakwah dengan budaya seperti yang dilakukan Wali Songo. Dakwah seperti itu yang jelas ampuh, efektif,” ucapnya.

Berdakwah melalui budaya, lanjut Kiai Said, terbukti dalam sejarah berhasil mengislamkan Nusantara tanpa kekerasan dan pertumpahan darah. Bahkan raja-raja Nusantara itu menjadi Islam. “Kita saksikan sekarang, dakwah yang manfaat, dakwah yang lestari, masuk sampai dalam hati, adalah dakwah yang dilakukan secara budaya, bukan dengan teror dan menakut-nakuti. Islam diajarkan dengan menakut-nakuti tidak akan masuk ke dalam hati. Imannya hanya pengakuan bibir belaka sehingga menjadikan potensi munafik, tapi kalau berdakwah dengan budaya, iman masuk ke dalam hati, sehingga akan menjadi mukmin kholis (ikhlas),” terangnya.

Tetap Santri

Seumur hidup tetap santri.

Membaca Majalah Tempo minggu ini, saya tertarik kolom wawancara dengan Menag Lukman Hakim. Ada 2 kalimat yang saya garis bawahi dari hasil wawancara itu. Bukan tema persoalan Radikalisme dan penambahan quota haji tahun ini, melainkan tentang akhlak sang menteri.

Kalimat pertama menyebutkan kalo sang menteri menolak berpose dengan memakai sorban yang akan dipakai sebagai cover halaman. Alasannya karena ia belum pantas menggenakan sorban yang biasa digunakan ulama.

Beberapa hari yang lalu, ketika sowan ke Gus mus, Lukman juga tidak segan menuangkan minuman ke gelas Gus Mus. Walaupun ia datang sebagai tamu.

Pada tahun 1999, ketika baru diangkat sebagai Presiden, Gus Dur sowan kepada MbahAbdullah salam Kajen. Tanpa sungkan, presiden saat itu lewat pintu samping yang biasa digunakan para santri untuk masuk ke ndalem Kyai.

Dari kisah diatas dapat disimpulkan bahwa setinggi apapun jabatan seseorang di negeri ini tidak akan melupakn takdir awalnya sebagai santri. Bahkan walaupun ketika santri itu sudah mempunyai pondok pesantren dan memiliki ribuan santri yang diasuhnya. Seperti KH Abdullah Kafabihi Mahrus salah satu pengasuh Ponpes Lirboyo yang dengan takdim mencium tangan gurunya KH Dimyati Rois Kaliwungu. Saat Mvah Dim berkunjung ke Liribyo beberapa waktu yang lalu.

Ia tetap tawaduk kepada guru yang pernah mengasuhnya, kepada mereka yang selalu mendoakan siang dan malam untuk keberhasilan santrinya. Kepada mereka inilah kita dapat mengambil hikmahnya, bukan ?

Islam NUsantara dan Arabisasi

Islam Nusantara Melindungi Islam dari Arabisasi ( an Nadj ).

Disinyalir ada upaya besar untuk menggembosi ormas terbesar di Indonesia dan penggiringan opini seolah-olah Nahdlatul Ulama itu sesat dan menyesatkan.

Mawlana Habib Lutfi bin Yahya Berkata :
Mereka yang tidak suka NU melakukan berbagai cara untuk mengajak umat Islam agar semakin membenci NU.
Padahal negara muslim di seluruh dunia saat ini banyak yang belajar kepada Nahdlatul Ulama tentang bagaimana membina dan mengelola Islam yang damai, ramah, dan santun.

Banyak orang mengaku-ngaku sebagai NU Garis Lurus, NU Garis Suci, atau pecinta NU yang justru menghancurkan NU dengan membuat opini-opini yang menebar kebencian dan memunculkan perpecahan. Tragisnya, bahkan orang NU sendiri yang notabene punya pengaruh besar di mata publik ikut terhanyut dalam hasutan dan hinaan oleh mereka para pembenci NU.

Tidak dipungkiri gagasan “Islam Nusantara” bisa menjadi magnet besar dalam membangun besarnya kekuatan Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dan oleh media-media pembenci NU, itu dijadikan lahan untuk menghancurkan NU dari dalam seolah-olah NU telah diboncengi oleh Liberal, Syiah, dan Wahabi. Padahal telah jelas dan disepakati oleh ribuan ulama dan kiai pengasuh pondok pesantren serta majelis ta’lim di seluruh Indonesia bahwa tema Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang adalah “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia”.

Tema tersebut dipilih untuk menunjukkan posisi strategis NU di Indonesia dan dunia sebagai pengusung Islam rahmatan lil ‘alamin.

Cukup menjadi pelajaran berharga dari Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, Yaman, Tunisia, Mesir, Somalia dan negara-negara muslim yang menjadi sasaran konflik antar umat Islam karena tidak adanya persatuan diantara mereka.

Kita tidak menginginkan Indonesia seperti mereka, berapa juta umat Islam yang mati mengenaskan akibat konflik di negara-negara tersebut ?

Ide Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam nusantara bukan sebuah upaya sinkretisme yang memadukan Islam dengan “agama Jawa”, melainkan kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu kita walisongo. Islam nusantara tidak anti arab, karena bagaimanapun juga dasar-dasar Islam dan semua referensi pokok dalam ber-islam berbahasa Arab.

Saat ini istilah Islam Nusantara telah menimbulkan polemik pro dan kontra. Bagi NU sebagai ormas Islam terbesar, Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Bahwa Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul budaya, menyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya.

Dari pijakan sejarah itulah, NU akan bertekad mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu Islam yang ramah, damai, terbuka dan toleran.
Menyimak wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara sangat dibutuhkan, karena ciri khasnya mengedepankan jalan tengah karena bersifat tawasuth (moderat), tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik.

Oleh karena itu, sudah selayaknya Islam Nusantara dijadikan alternatif untuk membangun peradaban dunia Islam yang damai dan penuh harmoni di negeri mana pun.

Menurut Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, Rais Syuriah PBNU Pusat menjelaskan, “Sebenarnya maksudnya Islam di Nusantara, bukan merupakan ajaran atau aliran sendiri. Jadi bagaimana mewarisi Islam yang telah digagas atau dikembangkan para wali-wali dulu.”

Beliau melanjutkan, “Islam di belahan bumi Indonesia itu punya karakteristik sendiri yang unik,. Kalau saja wali songo itu tidak coba beradaptasi dengan lingkungan sekitar ketika Hindu dan Budha masih menjadi agama mayoritas, mungkin kita tidak bisa menyaksikan Islam yang tumbuh subur seperti sekarang ini,”.

Beliau berpesan bahwa inti Indonesia adalah terletak pada rasa persatuan dan kesatuan. Rasa inilah yang agaknya menjadi barang mahal dan sulit sekarang ini. Rasa itu sesungguhnya yang membingkai keberadaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Karenanya tugas kita bagaimana terus menjaga NKRI ini, itulah mengapa dalam setiap ceramah beliau akhir-akhir ini sering membahas tentang upaya mengukuhkan Persatuan Bangsa dan Negara.

Indonesia itu menurut beliau, tidak disukai kalau ekonominya maju. Karenanya selalu ada upaya eksternal (asing) untuk memperlemah ekonomi Indonesia. Sekaligus terus mengancam NKRI. Ketika gagal melemahkan dari sisi ekonomi, dilemparlah isu Sunni-Syiah. Begitu merasa gagal dengan isu itu kemudian konflik antar umat beragama seperti insiden di Tolikara Papua. Intinya cuma satu: memecah belah NKRI.

Maulana Habib Luthfi bin Yahya memberikan sebuah analogi tentang bagaimana menjadi muslim yang baik di bumi Indonesia, “Laut itu punya jati diri, pendirian, dan harga diri. Sehingga betapapun zat yang masuk ke dalam laut melalui sungai-sungai yang mengalir kepadanya, keasinan air laut tidak akan terkontaminasi. Karena laut itu bisa mengantisipasi limbah-limbah yang masuk,”.

Lebih lanjut, beliau menjelaskan, ikan yang berada di dalam laut pun juga demikian. Ia tetap tawar dan tidak terkontaminasi oleh asinnya air laut. Sedangkan air laut sendiri tidak mengintervensi ikan yang ada di laut. Keduanya mempunyai jati diri yang luar biasa dan bisa hidup bersama, serta saling menghargai dalam “ideologinya” masing-masing.

“Dalam hidup berbangsa dan bernegara, laut adalah contoh konkrit. Jati diri bangsa, harga diri bangsa, kehormatan bangsa tetep punya kepribadian yang luar biasa, dan kedua-duanya dapat hidup bareng dengan harmoni. Kalau kita bisa meniru kehidupan yang ada di laut, maka bangsa ini akan aman dan enggak bakal ruwet,” begitulah penjelasan Maulana Habib Luthfi bin Yahya.

Perlu ditegaskan disini bahwa Islam Nusantara tidaklah anti budaya Arab, akan tetapi untuk melindungi Islam dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual. Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad.

Arabisasi bukanlah esensi ajaran Islam. Karenanya, kehadiran karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau percampuran budaya arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran Islam.

Rais Am Syuriah PBNU Pusat Dr. HC. KH. Ahmad Musthofa Bisri menjelaskan, “Kalau Islam diidentikkan dengan Arab, Abu Jahal juga orang Arab, dia memakai sorban dan jubah. tentu ketika kita memakai jubah dan sorban semata mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukan mengikuti budaya Arab.”

Lebih lanjut Mustasyar PBNU Pusat Syaikhuna wa Murobbi Rukhina KH. Maimun Zubair menjelaskan. “Bangsa Arab itu mulia karena adanya Islam, maka Indonesia pun akan mulia dengan adanya Islam”.

Saat ini negara-negara Muslim di dunia sedang melirik Islam di Indonesia, mereka manyatakan diri perlu belajar banyak dari Indonesia, bagaimana bisa negara besar dengan berbagai suku, agama, ras, adat istiadat bisa damai dan tentram tanpa ada konflik horizontal berkepanjangan ?

Pesan rahmatan lil alamin menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah Islam yang moderat, toleran, cinta damai dan menghargai keberagaman..

Moga manfaat
( PIN .107)

Rangkuman Dasar Aswaja

*RANGKUMAN DASAR SINGKAT ASWAJA*

Ciri khusus dari ajaran Aswaja berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam, yang meliputi bidang:

*(Akidah)*
Mengikut: -Imam Abu Hasan al-‘Asy’ari
                   -Imam Abu Mansur al-Maturidi.

*(Fikih)*
Mengikut:  Imam Hanafi
                    Imam Maliki
                    Imam Syafi’i
                    Imam Hambali.

*(Tasawuf)*
Mengikut: Imam Abu Hamid al-Ghazali
                   Imam Al-Juwaini al-Baghdadi.

Karakteristik dasar sebagai doktrin Ahlus-sunnah wal Jama'ah:

*1.Fikrah tawassuthiyyah*
(pola pikir moderat), artinya senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan iktidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Tidak berlebih-lebihan.

*2.Fikrah tasamuhiyah*
(pola pikir toleran), artinya dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun akidah, cara pikir, dan budayanya berbeda

*3.Fikrah Ishlahiyyah*
(pola pikir reformatif), artinya senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah)

*4.Fikrah tathowwuriyah* (pola pikir dinamis), artinya senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan

*5.Fikrah manhajiyah*
(pola pikir metodologis), artinya  senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhajiyah yang telah ditetapkan oleh ulama salafus sholihin.

NGUDHI SUSILA

“NGUDHI SUSILA” SYAIR KARYA BISRI MUSTHOFA¹ DALAM BAHASA JAWA

بسم الله الرحمن الرحيم
صلاة الله مالاحت كواكب
علي احمد خير من ركب النجاءب
(Shalaatullaahi maa laahat kawaakib
  ‘alaa Ahmad khoiri mar-rakiban-najaa-ib).
1. Iki syiir kanggo bocah lanang wadon
Nebihaken tingkah laku ingkang awon
2. Serta nerangake budi kang prayoga
Kanggo dalan padha mlebu ing suwarga
3. Bocah iku wiwit umur pitung tahun
Kudu ajar thatha keben ora getun
4. Kudu tresna maring ibune kang ngrumati
Kawit cilik marang bapa kang gemati
5. Ibu bapa rewangana lamon repot
Aja kaya wong gemagus ingkang wangkot
6. Lamon ibu bapa prentah enggal tandang
Aja bantah aja sengol aja mampang
7. Andap asor ing wong tua najan liya
Tetepana aja kaya raja kaya
8. Gunem alus alon lirih ingkang terang
Aja kasar aja misuh kaya bujang
9. Yen wong tua lenggah ngisor sira aja
Pisan lungguh duwur kaya jama juja
10. Yen wong tua sare aja geger guyon
Lamon sira nuju maca kudu alon
11. Lamon sira liwat ana ing ngarepe
Kudu nyuwun amit serta depe depe
12. Lamon ibu bapa duka becik meneng
Aja melu padon uga aja nggreneng
A. Bab Ambagi Wektu
13. Dadi bocah kudu ajar bagi Zaman
Aja pijer dolan nganti lali mangan
14. Yen wayahe Shalat aja tunggu prentah
Enggal tandang cekat ceket aja wegah
15. Wayah ngaji wayah sekolah sinau
Kabeh mau gathekake kelawan tuhu
16. Kenthong subuh enggal tangi nuli adus
Wudhu nuli shalat khusyuk ingkang bagus
17. Rampung shalat tandang gawe apa bae
Kang prayoga kaya nyaponi umahe
18. Lamon ora iya maca-maca Qur’an
Najan namung sitik dadiya wiridan
19. Budal ngaji awan bengi sekabehe
Thatha krama lan adabe padha bae
B. Bab Ing pamulangan
20. Lamon arep budal menyang pamulangan
Thatha-thatha ingkang rajin kang resikan
21. Nuli pamit ibu bapa kanthi salam
Jawab ibu bapa ‘alaikum salam
22. Disangoni akeh sithik kudu trima
Supaya ing tembe dadi wong utama
23. Ana pamulangan kudu tansah gathi
Nampa pawulangan ilmu kang wigati
24. Ana kelas aja ngantuk aja guyon
Wayah ngaso kena aja nemen guyon
25. Karo kanca aja bengis aja judes
Mundak diwadani kanca ora waras
C. Mulih saking Pamulangan
26. Bubar saking pamulangan enggal mulih
Aja mumpar-mampir dolan selak ngelih
27. Tekan omah nuli salin sandangane
Kudu pernah rajin rapi aturane
D. Ono ing ngomah
28. Karo dulur kanca ingkang rukun bagus
Aja kaya kucing belang rebut tikus
29. Dadi tua kudu weruha ing sepuhe
Dadi enom kudu rumangsa bocahe
30. Lamon bapa alim pangkat sugih jaya
Sira aja kumalungkung maring wong liya
31. Pangkat gampang minggat sugih kena mulih
Alim iku gampang uwah molah-malih
32. Arikala sira madhep ring wong liya
Kudu ajer aja mrengut kaya baya
E. Karo Guru
33. Marang guru kudu tuhu lan ngebakti
Sekabehe printah bagus dituruti
34. Piwulange ngertenana kanthi ngudi
Nasihate tetepana ingkang merdi
35. Larangane tebihana kanthi yekti
Supaya ing tembe sira dadi mukti
F. Ana Tamu
36. Tatkalane ibu rama nampa tamu
Aja biyayakan tingkah polahamu.
37. Aja nyuwun duwit wedhang lan panganan
Rewel beka kaya ora tau mangan
38. Lamon butuh kudu sabar dhisik
Nganti tamu mundur dadi sira becik
39. Arikala padha bubaran tamune
Aja nuli rerebutan turahane
40. Kaya keting rerebutan najis tiba
Gawe malu lamon dideleng wong jaba
41. Kejaba yen bapa dhawuh he anakku
Iku turahe wong ngalim kiyai-ku
42. Bagi rata sakdulurmu keben kabeh
Ketularan Alim, sugih bangha akeh
43. Niat ira nuprih berkahe wong mulya
Ora niat rebut turahe wong liya
G. Sikap lan lagak
44. Anak Islam iki mangsa kudu awas.
Aja nganthi lena mengko mundak tiwas
45. Luru ilmu iku perlu nanging budi
Adab Islam kudu tansah dipersudi
46. Akeh bocah pinter nanging ora bagus
Budhi pekertine sebab da gembagus
47. Ring wong tua gak ngergani gak ngajeni
Sajak pinter dewe langka kang madhani
48. Jare iku caranepun sak punika
Ora ngana dudu antelik merdeka
49. Ngagem blangkon serban sarung dadi gujeng
Jare ora kebangsaan ingkang majeng
50. Sawang iku pengeran Dipanegara
Imam bonjol Tengku Umar kang kuncara
51. Kabeh padha bela bangsa lan negara
Padha ngagem destar pantes yen perwira
52. Gujeng serban sasat gujeng Imam bonjol
Sak kancane he anakku aja tolol
53. Timbang gundhul apa ora luwih apik bagus
Ngagem tutup sirah kaya raden bagus
54. Kala-kala pamer rambut sak karepmu
Nanging kudu eling papan sesrawunganmu
55. kumpul mudha beda karo pul Kyai-ne
Nuju shalat gak padha mlancong nujune
56. Ora nuli mlancong gundhul shalat gundhul
Sowan mara tuwa gundhul nguyuh gundhul
H. Cita-cita luhur.
57. Anak Islam kudu cita-cita luhur
Keben dunya akhirate bisa makmur
58. Cukup ilmu umume lan agamane
Cukup dunya kanthi bekti pangerane
59. Bisa mimpin sakdulure lan bangsane
Tumuju ring raharja lan kamulyane
60. Iku kabeh ora gampang leksanane
Lamon ora kawit cilik tak-citane
61. Cita-cita kudu dikanthi gumergut
Ngudhi ilmu sarta pakerti kang patut
62. Kita iki bakal tininggal wong tuwa
Ora kena ora kita mesthi nuwa
63. Lamon kita padha katekan sejane
Ora liwat sira kabeh pemimpine
64. Negaramu butuh menteri butuh mufti
Butuh kadi, patih, setten lan bupati
65. Butuh dokter, butuh Mister ingkang pinter
ilmu agama kang nuntun laku bener
66. Butuh guru lan Kyai kang linangkung
Melu ngatur negarane ora ketung
67. Iku kabeh sapa maneh kang ngayai
Lamon ora anak kita kang nyaguhi
68. Kejaba yen sira kabeh ridho mbuntut
Selawase angon wedhus nyekel pecut
69. Sira ridho nggocik cikar selamine
Kafir ira mentul-mentul lungguhane.
70. Ora sela angon wedhus numpak cikar
Asal cita-cita ilmu bisa nenggar
71. Nabi kita kala timur pangon mendha
Ing tembene pangon jalma kang sembada
72. Abu bakar sidik iku bakul masar
Nanging nata masyarakat ora sasar
73. Ali Abu Thalib bakul kayu bakar
Nanging tangkas yen dadi paglima besar
74. Wahid Hasyim santri pondok gak sekolah
Dadi mentri karo liyan ora kalah
75. Kabeh mau gumantung ing seja luhur
Kanthi ngudi ilmu sarta laku jujur
76. Tekan kene pungkasane Syi’ir iki
Larikane wolung puluh kurang siji
77. Muga-muga sejja kita sinembadan
Dening Allah ingkang nurunake udan
78. Pinaringan taufiq sarta hidayah
Dunya akhirate sehat wal ‘afiyah.
79. Amin amin amin amin amin amin
Falhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
آمين آمين آمين آمين آمين آمين
  فالحمد لله رب العالمين
___________

¹Bisri Musthofa, Syi’ir Ngudhi Susila, Rembang,

Cerita Traumatik


Sebuah ingatan buruk masa kecil, ketika takbir diteriakkan sambil mengintimidasi bahkan sambil membunuh meninggalkan kesan yang sangat mengerikan bagi saya.


Tahun 2000 adalah periode paling kelam di kampung saya, Kecamatan Tellulimpoe, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Saat itu jadi pemandangan biasa ketika takbir dipekikkan sembari menenteng parang dan tombak.

Saya yang masih kelas 3 SD saat itu, mengingat selalu dua truk melintas di depan sekolah saya. Truk-truk itu mengangkut penuh rombongan. Semuanya laki-laki. Di pinggangnya diselipkan parang panjang. Ada pula yang membawa tombak.
Di luar kelas, saya mendengar guru saya menyebut seseorang baru saja dibunuh tadi subuh. Cerita ini melengkapi cerita-cerita horor di kampung lain. Keluarga di kampung seberang mengungsi ke rumah saya. Mereka membawa ternak dan keluarganya.

Saya masih bocah dan satu-satunya yang saya ingat adalah situasi mencekam. Suatu waktu, saya lari ketakutan melewati hutan bersama sepupu saya saat pulang sekolah karena takut amukan massa. Sekolah sempat diliburkan karena konflik berdarah saat itu.

Dua buah paragraf di atas bukan cerita fiktif. Memang bukan cerita besar—karena tak berhasil membesar—yang patut ditulis di buku sejarah. Namun peristwa itu meninggalkan trauma di ingatan saya tentang orang-orang yang menyebut dirinya hendak menegakkan agama tauhid dengan parang dan tombak.

Warga menyebut mereka yang suka teriak takbir ketika melakukan aksinya ini dengan istilah “massa”, seperti sekumpulan orang yang merasa perlu untuk memberantas praktik-praktik yang disebutnya wujud kesyirikan dengan cara memaksa. Satu fenomena yang rupanya kini menjadi ramai kembali dan memaksa ingatan saya berkelebat ke peristiwa 18 tahun lalu itu.
Mereka—dengan membawa parang dan berteriak takbir—ingin memusnahkan tradisi orang-orang kampung. Tempat-tempat yang disakralkan atau tempat-tempat yang sering dijadikan tempat judi dan minum tuak disisir. Rumah-rumah yang dianggap di dalamnya terdapat benda-benda yang dianggap menyekutukan Allah didatangi dan dibongkar paksa. Bagi mereka kebiasaan itu adalah sikap jahiliyah yang harus dibinasakan.

Mereka dipimpin oleh ustaz-ustaz yang mengaku mewakili Allah dengan selalu meneriakkan takbir hendak menegakkan syariat di daerah saya. Rombongan mereka inilah yang disebut oleh orang-orang kampung saya dengan sebutan; “massa”. Saya tidak tahu kalau mereka punya nama sendiri secara spesifik—saya tidak begitu ingat.

Pada akhirnya, mereka yang masih suka bawa makanan ke sungai, ke pohon besar, menaruh benda-benda aneh di rumah jadi sasaran. Selain itu mereka menyasar penjudi, peminum ballo atau tuak, dan pencuri.

Tersebutlah seorang di kampung—sebut saja Pung Ck—yang disebut-sebut sebagai pimpinan pencuri.
Pencuri bagi mereka ya juga penjudi dan peminum ballo/tuak. Pung Ck dipanggil menghadap. Namun pada suatu hari rombongan massa mendatangi rumahnya. Pung Ck dikepung di rumah panggungnya. Massa menombaknya dari kolong rumah. Tak kena. Pung Ck naik ke timpa’ laja’ (Bugis Sinjai: bagian atas rumah kayu) dan masih belum roboh.


Singkat cerita, massa berhasil membunuhnya di samping rumah. Pekik takbir menggema, seperti sebuah teriakan kemenangan.
Usai meninggalnya Pung Ck dengan pekik takbir itu, massa makin gencar mendatangi satu per satu rumah warga. Setiap warga disisir untuk diceramahi dan tentu tak boleh membantah. Mereka mengajak (kalau tak mau pakai kata “memaksa”) bergabung, orang-orang yang diajak ini kemudian diklaim telah “diinsyafkannya”. Dan berhasil. Beberapa orang bergabung dan kekuatan mereka makin besar. Mereka pun semakin percaya diri untuk bertindak.
Merasa sudah di atas angin, mereka makin sewenang-sewenang. Mereka datang ke pasar-pasar. Sasaran mereka adalah ibu-ibu yang tidak berjilbab. Saat itu jilbab belum seheboh sekarang. Yah, namanya ibu-ibu di kampung-kampung, tentu kamu juga tahu kalau nggak semua dari mereka pakai jilbab.

Sayangnya, massa yang makin merasa berkuasa ini tak hanya mengajak, tapi memaksa bahkan memukul. Ya, mereka sampai berani memukul perempuan karena persoalan jilbab. Maka ketika hari pasar tiba dan para perempuan menyadari kedatangan mereka, sudah jadi pemandangan biasa kalau siapa pun yang perempuan akan lari terbirit-birit. Yang tidak berjilbab mengambil begitu saja jilbab yang sedang dipajang penjualnya.
Namun tidak semua rela menerima perlakuan seperti itu. Di Lambari, warga yang marah dan tidak terima perlakuan massa mengepung rumah seorang warga yang bergabung dengan massa. Lalu parang tertebas, jari-jari anggota massa itu dipotong, isi perutnya terburai. Beruntung istri dan anaknya masih sempat melarikan diri dari amukan warga saat itu.
Kalau pulang kampung, saya biasa melewati rumahnya yang kini tak berpenghuni. Ingatan saya selalu mengenang peristiwa itu. Dan saya menjadi mual dan ngeri sendiri.

Massa juga mendapat perlawanan di kampung sebelahnya, Kampung Pakokko namanya. Di sana mereka tertahan oleh warga yang sudah siaga. Salah seorang di antara massa terkena tebasan parang. Situasinya benar-benar seperti perang.
“Beruntung mereka tidak menghadapi tentara yang sudah bersiaga,” kata kakak saya ketika saya mencoba menanyakan detail peristiwa belasan tahun lalu itu.
Tentara tentu punya berhak mengambil tindakan ketika menghadapi kelompok yang suka memaksa dan bertindak kelewat batas.

Konflik akhirnya mereda setelah Brimob diterjunkan. Masing-masing ada satu korban dari massa dan warga yang tewas karena konflik berdarah atas nama penegakan syariat ini. Setelahnya tak lagi pernah terjadi konflik serupa sampai kini—semoga sampai seterusnya.
Kampung saya mulai kondusif. Massa mulai pergi tetapi tidak dengan trauma. Sebuah ingatan buruk bagaimana nama-nama Tuhan diteriakkan sambil mengintimidasi, menakut-nakuti, dan bahkan membunuh benar-benar jadi kenangan buruk bagi saya.
Setelah mereka membuat kekacauan, beberapa tahun sesudahnya ya sama saja. Kembali seperti dahulu: yang judi tetap judi, yang minum tetap minum, yang korupsi ya tetap korupsi, yang bawa sesajen ke tempat-tempat tertentu kembali lagi.
Hal seperti ini sebenarnya menunjukkan sesuatu: seorang mungkin bisa diubah penampilan dan kebiasannya, namun dalam jika perubahan itu bentuknya paksaan maka tidak akan ada hati yang tergerak berubah. Karena semua berubah cuma satu alasan saja, yakni takut.
Sampai sekarang masih ada yang tetap selamatan. Apakah mereka benar-benar menyekutukan Allah? Saya tak tahu pasti. Namun yang ingin saya tanyakan, apakah orang-orang ini pernah mencoba dialog langsung terlebih dahulu sebelum memaksakan kehendaknya?

Saat ini tak sedikit anak muda yang datang ke kota untuk kuliah. Tak sedikit tentu yang ikut kajian entah di teras masjid, di kelas, atau di beranda Facebook. Beberapa di antaranya menjadi suka mudah menuduh sesat, syirik, dan bidah. Mereka pun pulang kampung dengan perasaan telah menemukan kebenaran Islam yang murni lalu mencoba membenarkan kampung mereka.

Tanpa petantang-petenteng, mereka langsung mencap orang lain musik eh musyrik, kafir, calon penghuni kerak neraka tanpa mau lebih dulu untuk berdialog mendekati warga yang kadung dianggap musyrik itu.
Saya jadi bertanya, bukankah para Wali Songo dahulu tidak melakukan praktik demikian? Yang namanya tradisi akan sulit mereka ubah. Kalaupun berhasil diubah secara kasat mata, belum tentu berubah hatinya. Seperti di daerah saya, para ulama biasanya dengan sabar mengubah maksud sesajen dari dalam, niatnya yang diluruskan, bukan wujud kasatnya.

Jika sesaji tadinya untuk jin atau makhluk gaib, diubah jadi diniatkan untuk Allah, lalu hasilnya dimakan bersama-sama. Tentu tidak semua langsung berhasil, hasilnya pun tidak instan, tapi itu jauh lebih bisa menyentuh hati ketimbang memaksakan perilaku yang cuma tampak di permukaan.

Lagian, sejauh sepengetahuan agama saya yang dangkal, dakwah memiliki metode-metode tersendiri. Tak langsung main hantam kiri kanan depan belakang apalagi menuduh musyrik dan kafir begitu saja tanpa ada dialog terlebih dulu.
Bukankah tugas kita menyampaikan dengan cara-cara yang baik? Soal perubahan hati, itu sudah sebenar-benarnya urusan Allah. Sebab bagi saya, mana bisa hidayah dipaksakan?

Jika menyebut asma Allah seharusnya saya tertunduk kagum dan haru, tapi ketika belakangan mulai banyak yang berteriak lantang sambil bawa parang lagi, entah kenapa yang saya rasakan malah takut. Seolah ingatan 18 tahun silam mendadak hadir kembali dan membukakan kembali luka trauma masa kecil saya.


Arief Bala
Mojok.co
# cerita

Khitah Islam Nusantara

*Khitah Islam Nusantara*

Oleh
*Kyai Haji Ma'ruf Amin*
.
Akhir-akhir ini Islam Nusantara jadi wacana publik. Tak hanya di kalangan warga Nahdlatul Ulama (nahdliyin), tetapi seluruh masyarakat Indonesia ikut memperbincangkannya.
Seolah-olah ada anggapan bahwa Islam Nusantara adalah hal baru. Hal ini wajar karena Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas terbesar bangsa ini. Jika terjadi perubahan di dalam organisasi ini, pengaruhnya segera dirasakan oleh seluruh negeri. Karena itu, bentuk apresiasi publik seperti ini sangatlah positif, baik bagi NU maupun bagi negeri ini.

Sebagai tema Muktamar NU 2015 di Jombang, Islam Nusantara memang baru dideklarasikan. Namun, sebagai pemikiran, gerakan, dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi kita. Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah al-Nadliyyah. Mengapa di sini perlu penyifatan al-Nahdliyyah? Jawabnya adalah karena banyak kalangan lain di luar NU yang juga mengklaim sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah (disingkat Aswaja), tetapi memiliki cara pikir, gerakan, dan amalan yang berbeda dengan NU.

Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pun mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah, tetapi sepak terjang mereka selama ini sangat ditentang NU. Karena itu, Islam Nusantara adalah cara dan sekaligus identitas Aswaja yang dipahami dan dipraktikkan para mua'sis (pendiri) dan ulama NU. Islam Nusantara adalah cara proaktif warga NU dalam mengidentifikasi kekhususan-kekhususan yang ada pada diri mereka guna mengiktibarkan karakteristik-karakteristik ke-NU-an. Karakteristik-karakteristik ini bersifat peneguhan identitas yang distingtif, tetapi demokratis, toleran, dan moderat.

Tiga pilar

Pada dasarnya ada tiga pilar atau rukun penting di dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyyah/amaliah).

Pilar pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash (al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di dalam memahami teks-teks Al Quran. Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, menyatakan jika "al-jumûd 'alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi", pembacaan yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.

Pilar kedua adalah gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jamiah (perkumpulan) dan jemaah (warga) yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik. Prosesnya terus-menerus. Inovasi pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap aktif dan kritis.

Pilar ketiga adalah amaliah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliah yang diperintah Al Quran dan Sunah Nabi. Dengan cara demikian, amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul fikih disebut dengan 'urf atau 'ãdat tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian inilah pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri NU kepada kita semua.

Penanda Islam Nusantara

Ada lima penanda Islam Nusantara. Pertama, reformasi (islahiyyah). Artinya, pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan para nahdliyin selalu berorientasi pada perbaikan. Pada aspek pemikiran, misalnya, selalu ada perkembangan di sana (tatwir al-fikrah), dan karena itu, pemikiran Islam Nusantara adalah pemikiran yang ditujukan untuk perbaikan terus. Cara berpikirnya adalah tidak statis dan juga tidak kelewat batas.

Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Jika sebuah gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan pertimbangan. Tawazunniyyah ini menimbang dengan keadilan.

Ketiga, tatawwu'iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Satu hal yang harus dipegang dalam kesukarelaan ini adalah dalam menjalankan pemikiran, gerakan dan amalan, nahdliyin tidak boleh memaksakan pada pihak lain (lã ijbãriyyah). Artinya, orang NU harus memperhatikan hak-hak orang di luar NU. Secara internal, warga NU juga tak boleh bersikap fatalistik (jabbãriyyah), harus senantiasa berusaha dan berinovasi menegakkan tiga pilar Islam Nusantara di atas. Dengan kata lain, tidak ada pemaksaan, tetapi bukan tidak berbuat apa-apa.

Keempat, santun (akhlaqiyyah), yaitu segala bentuk pemikiran, gerakan, dan amalan warga Islam Nusantara dilaksanakan dengan santun. Santun di sini berlaku sesuai dengan etika kemasyarakatan dan kenegaraan serta keagamaan.

Kelima, tasamuh, yang berarti bersikap toleran, respek kepada pihak lain. Sikap toleran ini tidak pasif, tetapi kritis dan inovatif. Dalam bahasa keseharian warga NU adalah sepakat untuk tidak sepakat.

Secara konseptual, kelima penanda Islam Nusantara tersebut mudah diucapkan, tetapi sulit direalisasikan. Sulit di sini berbeda dengan tidak bisa melaksanakan. Misalnya, sikap Islam Nusantara dalam menyikapi dua arus formalisme keagamaan dan substansialisasi keagamaan berada di tengah. Kedua arus boleh diperjuangkan selama tidak menimbulkan konflik. Prinsip yang harus dipegang dalam hal ini adalah kesepakatan (konsensus), demokratis, dan konstitusional.

Ijtihad

Hal penting lain yang ingin penulis sampaikan adalah persoalan ijtihad. Apakah model ijtihad Islam Nusantara? Ijtihad Islam Nusantara adalah ijtihad yang selama ini dipraktikkan oleh NU. Prinsipnya, Islam tak hanya terdiri pada aspek yang bersifat tekstual, tetapi juga aspek yang bersifat ijtihadiyah. Ketika kita menghadapi masalah yang tak ada di dalam teks, maka kita menganggap masalah selesai, artinya tidak dicarikan jawaban.

Islam Nusantara tidak berhenti di sini, tetapi melihat dan mengkajinya lebih dulu lewat mekanisme-mekanisme pengambilan hukum yang disepakati di kalangan nahdliyin. Hasil dari mekanisme metodologi hukum ini (proses istinbãt al-hukm) harus dibaca lagi dari perspektif Al Quran dan Sunah. Mekanisme metodologi hukum yang biasa dipakai nahdliyin di sini misalnya adalahmaãlahah (kebaikan).

Ilustrasinya, jika sebuah amalan tak ada di rujukan tekstualnya, tetapi ia membawa kebaikan di tengah masyarakat, hal itu justru harus dilestarikan: "idhã wujida nasssS fathamma masslahah, idhã wujida al-maslahah fathamma shar' al-Lãh—jika ditemukan teks, maka di sana ada kebaikan, dan jika ditemukan kebaikan, maka di sana adalah hukum Allah". Ini uraian singkat dan pokoknya saja. Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan di ruang yang lebih luas.

Pada akhir tulisan pendek ini saya ingin mengatakan Islam Nusantara harus lebih digali lagi sebagai perilaku bangsa agar tidak ada lagi hal-hal yang tidak kita inginkan justru terjadi.

*KH. Maruf Amin*
_Ketua Umum MUI_
_Rais Syuriyah Nahdlatul Ulama_