Pernyataan MUI Sumatera Barat tertanggal 25 Juli 2018 bahwa
“Islam Nusantara” dalam definisi apapun tidak dibutuhkan di tanah Minang
menambah satu lagi gejala sulit fokus terhadap Islam Nusantara. Tujuh point
putusan yang telah tersebar luas di media sosial itu adalah yang paling komplit
mem-pretheli sekaligus mengkritik anasir-anasir Islam Nusantara. Masalahnya,
sangking banyaknya anasir yang muncul, tidak mudah memilah-milah antara yang
substansial dan yang elementer.
Dua tahun lalu, Luthfi mencatat, paling tidak ada delapan
rumusan mengenai Islam Nusantara yang bermunculan di laman resmi NU mulai Maret
hingga Agustus 2015 (Luthfi 2016, 4-6). Kedelapan rumusan tersebut bisa
dipadatkan ke dalam narasi berikut: “Bahwa (1) Islam Nusantara adalah (hanya)
sebuah sistem nilai yang sudah berlangsung sekian lama di bumi Nusantara (baca:
sejak zaman Wali Songo) dan merupa dalam wujud keberislaman yang khas. Tanpa
disadari, (2) Islam Nusantara memiliki corak hukumnya sendiri yang cenderung
moderat, akomodatif terhadap kemaslahatan umum di satu sisi dan terhadap budaya
lokal di sisi lain. Dengan sifatnya yang demikian, (3) aktualisasi Islam
Nusantara di Indonesia di wilayah esoteris bersifat heterogen sesuai dengan
ciri khas masing-masing daerah dalam mengejawantahkan Islam sebagai sebuah
agama”.
Kompleksitas narasi di atas membuatnya rawan digagal-fokusi,
apalagi jika dibaca secara skimming sehingga keywords yang dijadikan tolak ukur
penilaian kurang tepat. Gambaran dari gabungan kata-kata kunci seperti “sistem
nilai”, ”Wali Songo”, “moderat“, ”maslahat“, ”budaya”, ”esoteris”, “Rahmatan
Lil ‘alamin”, “pendekatan kultural”, “toleransi” dan “anti-radikalisme”, jika
tidak diikat secara koheren, berpotensi mengaburkan apa yang seharusnya
dibicarakan dan dinilai dari “Islam Nusantara”, sebagai sebuah wacana keilmuan.
Milik Siapa?
Menggaris-bawahi “moderasi” dalam berdakwah yang tidak
seharusnya dijadikan kambing hitam, MUI Sumbar menyangsikan apakah pengusungan
Islam Nusantara yang toleran sebagai konsep tandingan atas radikalisme yang
mengatas-namakan Islam dalam konflik berkepanjangan di Timur Tengah sudah tepat
sasaran (point 7). Lebih penting lagi, MUI Sumbar secara tersirat mempersoalkan
“Javasentrisme” dalam pencatutan Wali Songo yang diklaim sebagai role model
penyebar Islam Nusantara di satu sisi serta dalam penunjukan “Islam di Jawa”
sebagai contoh ideal sinkretisasi Agama dan budaya di sisi lain (point 5 dan
6).
Cara MUI Sumbar memosisikan Islam Nusantara sebagai ekspresi
sosio-keagamaan khusus dari Nahdhatul Ulama, yang basis masanya berada di Jawa,
sudah sejak setahun lalu dikritik oleh Shohibuddin. Menurutnya, Islam Nusantara
seyogyanya dipahami sebagai “identitas terbuka” yang sejarah intelektualnya
bersinggungan dengan orang-orang Melayu dan secara geopolitik mencakup
negara-negara di kawasan Asia Tenggara (Shohibuddin 2017). “Keterbukaan“ status
Islam Nusantara ini juga yang ditekankan oleh tulisan-tulisan tentangnya sejak
ia, sebagai sebuah wacana, mulai diperbincangkan secara masif (Sahal and Aziz
2015; Qomar 2015; Romli 2016).
Namun sejujurnya, anggapan bahwa Islam Nusantara adalah
“dagangan“ kaum Nahdhiyyin sangat sulit dibantah, apalagi jika sinyal yang
merujuk pada klaim tersebut terlalu jelas. Sebut saja diusungnya Islam
Nusantara dalam Muktamar NU tahun 2015, munculnya nama Walisongo, pembelaan
terhadap tradisi, serta yang paling sederhana, dimulainya kata Nusantara dengan
dua huruf sakral: NU. Dari titik ini, pembacaan Najib bahwa Islam Nusantara
adalah sebuah ekspresi exceptionalism warga Nahdhiyyin (Burhani 2017a) bisa
dibenarkan.
Tidak ada yang menyangkal bahwa penelitian Azra yang versi
aslinya ditulis hampir tiga dekade lalu berhasil mengungkap peta keilmuan ulama
Melayu-Nusantara abad ke-17 dan 18. Sebagai dijelaskan oleh Fathurrahman, saat
itu para pelajar Muslim dari Asia Tenggara baik Jawa, Sumatra, Semenanjung
Malaka, Thailand Selatan dan Filipina Selatan disebut di Haramain sebagai
“ashab al-Jawiyyin“ (Fathurrahman 2004, 370). Secara khusus, Azra juga mengupas
kemunculan kesarjanaan Islam di Pattani (Thailand Selatan) dan hubungannya
dengan tokoh-tokoh Melayu-Nusantara (Azra 2004, 120).
Klaim kesejarahan tentang adanya hubungan yang kuat antara
umat Islam di Bumi Nusantara memang tidak terbantahkan. Sayangnya, klaim
tersebut belum cukup kuat untuk menjadikan semua pihak merasa memiliki “Islam
Nusantara“. Dominasi Jawa dan NU ditambah dengan ditarik-tariknya Muhammadiyyah
ke dalam poros Islam Nusantara (Mustofa 2015), membuatnya semakin eksklusif dan
semakin rawan digagal-fokusi.
Mencari yang Substansial
Dua isu yang belakangan digoreng hingga hampir gosong adalah
pembenturan Islam Nusantara terhadap segala yang berbau “Arab” dan
didomplenginya Islam Nusantara oleh tokoh-tokoh yang kadung dicap liberal. Lagi-lagi,
para pengggoreng dua isupun memahami Islam Nusantara hanya dari melihat
casing-nya saja.
Bahwa Islam Nusantara menuntut sikap hati-hati terhadap
pemakaian simbol-simbol keagamaan berbau Arab, jangan diartikan bahwa yang
pertama membenci dan menentang keberadaan yang kedua di Indonesia secara
membabi-buta. Sebagaimana ditunjukkan Najib, konfrontasi antara Islam Nusantara
dan Islam Arab memang niscaya dalam konteks penguatan identitas Islam Nusantara
sebagai yang indigenous dari Indonesia (Burhani 2017b). Islam Nusantara hanya
ingin diakui sama otentiknya dengan Islam Arab (Bruinessen 2018, 5). Dengan
kata lain, membaca pembenturan keduanya secara ketakutan, apalagi dikaitkan
dengan slogan “anti-Arab”, adalah terlalu berlebihan.
Di saat yang sama, bahwa dalam beberapa titik Islam
Nusantara berjumpa dengan Islam Liberal jangan juga diartikan bahwa yang
pertama adalah kepanjangan tangan dari yang kedua. Tulisan Najih jelas
menunjukkan kekhawatiran jika islam Nusantara akan menyemai benih-benih “pluralisme
agama” di satu sisi, sekaligus “budaya abangan” di sisi lain (Maimoen 2018),
ide-ide yang menurut Najih sudah mengakar pada figur-figur liberal. Acapkali,
nama-nama terkait justru yang dijadikan pertimbangan utama untuk terburu-buru
menilai Islam Nusantara, alih-alih mencernanya pelan-pelan. Tulisan-tulisan
Sjafril misalnya menggambarkan ketergesa-gesaan itu lewat kritiknya yang
mencoba menembak dua sasaran sekaligus (Islam Nusantara dan Islam Liberal)
(Sjafril 2015).
Sementara itu, pendekatan sumber pengetahuan terhadap Islam
Nusantara terlihat seperti wacana yang bertepuk sebelah tangan. Penelitian di
wilayah ini sudah banyak dilakukan. Di antaranya ada yang masuk lewat
“Pribumisasi Islam”ala Gus Dur (Fitriah 2013; Abdullah 2014), lewat dialog
antara Islam dan budaya lokal(Alma’arif 2015; Achmad 2016; Yayah and Sumadi
2017; Tungkagi 2017), atau lewat sejarah masuknya Islam di Indonesia (Syafrizal
2015; Astuti 2017). Penelitian semacam ini memang penting untuk memperkeras
gema Islam Nusantara, tetapi tidak cukup signifikan untuk menambah jangkauan
aseptabilitasnya karena konten penelitian yang rawan repetisi dan terkesan
apologis.
Bisa jadi, kesalahan utama memahami Islam Nusantara lewat
penampakan-penampakannya yang muncul di permukaaan adalah terlalu ideal dan
sempurnanya gambaran yang dihasilkan. Klaim bahwa Islam Nusantara adalah solusi
taktis atas krisis Timur Tengah, nampaknya juga harus lebih hati-hati dipakai
karena klaim ini sudah sejak dulu dikritisi (Hoesterey 2013) dan tentu saja
belum terbukti benar.
Sebaliknya, kadar kesempurnaan itu akan berkurang jika Islam
Nusantara ditempatkan sebagai produk dari sebuah upaya tafsir kontekstual dari
teks suci agama Islam yang juga memiliki batasan-batasan metodologis, di
antaranya adalah batasan historis dalam melacak sejarah Islam yang otentik,
batasan interpretasi ketika merumuskan nilai Islam yang universal, serta
batasan subyektifitas dalam mengaktualisasikan nilai tersebut secara
kontekstual di Indonesia, di Arab dan di belahan dunia manapun.
Mu'ammar Zayn Qadafy
Mahasiswa S3 di Universitas Freiburg Jerman
Artikel yang sama telah dipublikasikan di
https://artikula.id/qadafy/gagal-fokus-islam-nusantara/
—
Referensi
Abdullah, Mudhofir. 2014. “Pribumisasi Islamdalam Konteks
Budaya Jawa Dan Integrasi Bangsa.” Indo-Islamika 4 (1): 67–90.
Achmad, Ubaidillah. 2016. “Islam Formalis Versus Islam
Lokalis: Studi Pribumisasi Islam Walisongo Dan Kiai Ciganjur.” ADDIN 10 (1):
233–62.
Alma’arif, Alma’arif. 2015. “Islam Nusantara: Studi
Epistemologis Dan Kritis.” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 15 (2): 265–91.
Astuti, Hanum Jazimah Puji. 2017. “Islam Nusantara: Sebuah
Argumentasi Beragama Dalam Bingkai Kultural.” Interdisciplinary Journal of
Communication 2 (1): 27–51.
Azra, Azyumardi. 2004. The Origins of Islamic Reformism in
Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern “Ulamā” in the
Seventeenth and Eighteenth Centuries. Southeast Asia Publications Series. Crows
Nest, NSW: Asian Studies Assoc. of Australia in assoc. with Allen & Unwin.
Bruinessen, Martin Van. 2018. “Indonesian Muslims in a
GLobalisation World: Westernisation, Arabisation, and Indigenising Responses.”
S. Rajaratnam School of International Studies Working Paper, no. 311.
Burhani, Ahmad Najib. 2017a. “Genealogi Islam Nusantara.”
Koran Sindo, January 19, 2017, sec. Opini.
———. 2017b. “Islam Arab Dan Islam Nusantara.” Koran Sindo,
October 3, 2017.
Fathurrahman, Oman. 2004. “Book Review: Jaringan Ulama:
Pembaharuan Dan Rekonsiliasi Dalam Tradisi Intelektual Di Dunia
Melayu-Indonesia.” Studia Islamika 11 (2): 361–85.
Fitriah, Ainul. 2013. “Pemikiran Abdurahman Wahid Tentang
Pribumisasi Islam.” Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam 3 (1): 39–59.
Hoesterey, James B. 2013. “Is Indonesia a Model for The Arab
Spring? Islam, Democracy and Diplomacy.” Review of Middle East Studies 47 (1):
56–62.
Luthfi, Khabibi Muhammad. 2016. “Islam Nusantara: Relasi
Islam Dan Budaya Lokal.” Shahih 1 (1): 1–12.
Maimoen, Muhammad Najih. 2018. “Islam Nusantara Dan
Konspirasi Kaum Liberal Di Dalamnya.” Www.Portal-Islam.Id (blog). September 7,
2018.
http://www.portal-islam.id/2018/07/islam-nusantara-dan-konspirasi-kaum.html.
Mustofa, Saiful. 2015. “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk
Islam Berkemajuan: Melacak Akar Epistemologis Dan Historis Islam (Di)
Nusantara.” Episteme 10 (2): 405–34.
Qomar, Mujamil. 2015. “Islam Nusantara: Sebuah Alternatif
Model Pemikiran, Pemahaman Dan Pengamalan Islam.” El Harakah 17 (2): 198–217.
Romli, Mohammad Guntur. 2016. Islam Kita Islam Nusantara:
Lima Nilai Dasar Islam Nusantara. Jakarta: Ciputat School.
Sahal, Akhmad, and Munawir Aziz, eds. 2015. Islam Nusantara
Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan. Bandung: Mizan.
Shohibuddin, Mohammad. 2017. “Mewujudkan (Kembali) Islam
Nusantara Sebagai Identitas Terbuka.” Parstoday.Com (blog). January 24, 2017.
http://parstoday.com/id/news/indonesia-i31673-mewujudkan_(kembali)_islam_nusantara_sebagai_identitas_terbuka.
Sjafril, Akmal. 2015. “Selintas Wacana Islam Nusantara:
Kisah Pengkhianatan Sebuah Konsep ATas Dirinya Sendiri.” Malakmalakmal.Com
(blog). January 30, 2015.
http://malakmalakmal.com/selintas-wacana-islam-nusantara-kisah-pengkhianatan-sebuah-konsep-atas-dirinya-sendiri/.
Syafrizal, Achmad. 2015. “Sejarah Islam Nusantara.” Islamuna
2 (2): 235–53.
Tungkagi, Donald Qomaidiansyah. 2017. “Varian Islam
Nusantara: Jawa, Minangkabau Dan Gorontalo.” Jurnal Lektur Keagamaan 15 (2):
273–94.
Yayah, Yayah, and Sumadi Sumadi. 2017. “Nilai-Nilai Pendidikan
Dalam Tradisi Islam Nusantara.” Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 5 (1):
67–86.
sumber http://www.pcinu.de/post/gagal-fokus-islam-nusantara
sumber http://www.pcinu.de/post/gagal-fokus-islam-nusantara