JEJAK KH AHMAD SIRADJ SOLO
Selama ini, tokoh yang akrab dengan panggilan Mbah Siradj (baca : Siroj) dari Kota Solo, dikenal sebagai seorang waliyullah
yang memiliki berbagai kisah penuh karomah. Semisal, ia memiliki ilmu
“melipat bumi”, sehingga perjalanan yang ia tempuh menjadi lebih singkat
atau cerita tentang berbagai kekeramatan lainnya.
Namun, pada tulisan kali ini, sengaja
penulis tidak paparkan berbagai kisah kekeramatan yang
dimiliki Kiai Siradj, akan tetapi lebih pada kepribadian serta kisah perjuangannya, agar selalu dikenang dan dapat diteladani oleh para generasi sesudahnya.
dimiliki Kiai Siradj, akan tetapi lebih pada kepribadian serta kisah perjuangannya, agar selalu dikenang dan dapat diteladani oleh para generasi sesudahnya.
Dari buku Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj Sala (1989), diperoleh keterangan ayah Kiai Siradj bernama Kiai Umar atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Pura, salah seorang Waliyullah.
Makam Kiai Imam Pura berada di Susukan, Kabupaten Semarang. Kiai Imam
Pura ini bila ditarik lebih adalah memiliki garis keturunan dengan
Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman R. Fatah yang ditugaskan
mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara, atau sekarang
dikenal sebagai Desa Nyatnyono.
Selain Kiai Siraj, Kiai Imam Pura ini
memiliki beberapa keturunan, di antaranya adalah Kyai Kholil yang
bermukim di Kauman, Solo, dan Kyai Djuwaidi yang bertempat tinggal di
Tengaran, Kabupaten Semarang.
Sosok yang Inklusif
Kiai Siradj dilahirkan pada tahun 1878
M. Secara fisik, penampilan Mbah Siradj cukup mudah untuk dikenali,
sebab dalam sehari-hari maupun saat bepergian jauh, ia sering
berpakaian khas dengan memakai iket (semacam kain batik yang digunakan untuk menutupi kepala), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ dan memakai ‘gamparan’ tinggi.
Model pakaian ini agak mirip dengan
pakaian yang dikenakan para ulama lain di lingkup Keraton Surakarta,
semisal guru Mamba’ul Ulum yang memakai kain batik panjang, baju jas
dengan leher tinggi (jas tutup) warna putih, dan memakai blangkon.
Namun, tidak hanya kekhasan dalam
berpakaian semata, Mbah Siradj juga dikenal sebagai seorang ulama yang
alim, bijaksana dan kharismatik. Setiap ucapannya, konon memiliki
sejumlah sasmita (isyarat). Bahkan di wilayah Solo dan sekitarnya, banyak yang menyebutnya sebagai seorang Waliyullah, dengan ilmu dan beberapa karomah yang dimilikinya.
Salah satu cicit Mbah Siradj, Agus
Taufik, menjelaskan kakek buyutnya dikenal banyak orang karena sosoknya
yang inklusif, dan pendekatannya dalam menyebarkan agama Islam dengan
cara humanis.
“Mbah Siradj tidak pernah
membedakan agama atau suku saat bergaul. Ajaran beliau untuk
mempersatukan umat dan pluralisme, mungkin mirip dengan ajaran Gus Dur,” jelasnya.
Bahkan, karena sifatnya yang sangat
terbuka terhadap segala macam lapisan masyarakat ini, hingga sekarang
setiap diperingati haulnya, seorang penjual bakso di Notosuman yang
beragama Khatolik dan seorang Tionghoa, berkenan mengirim tiga kambing
serta beberapa kuintal beras untuk menyukseskan acara haul tersebut.
Berawal dari Gedhek
Semasa muda, Kiai Siradj pernah
berguru kepada sejumlah ulama besar. Di antaranya di Pesantren
Mangunsari yang berada di Nganjuk, Jawa Timur, Siradj muda menimba ilmu
kepada Kyai Bahri (ayah Kiai Ibnu Mundhir). Kemudian di Pesantren
Tremas, ia berguru kepada K.H. Dimyati At-Tirmizi, dan di Semarang, ia
menjadi santri Kiai Sholeh Darat.
Setelah menimba ilmu dari berbagai
pesantren, ia kemudian mendirikan pesantren (kelak dikenal dengan nama
Pesantren As-Siroj) di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan Panularan,
Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah di atas tanah
seluas 200 m².
Di pesantren tersebut, Kiai Siradj
mengajarkan berbagai pelajaran, antara lain Sullamut Taufiq,
Safinatun-Najah, Duratul-bahiyyah dan Fathul Qorib.
Menurut penuturan dari keturunannya, salah satunya Mujab Shoimuri (74), mengungkapkan bangunan pondok dulunya hanya sebuah gedhek (rumah sederhana). “Bangunan ini, dibangun Mbah Siradj, pada awalnya hanya sebuah gedhek.
Kemudian setelah Mbah Siraj wafat tahun 1961, pesantren diasuh oleh
ayah saya Kiai Shoimuri,” kenang Mujab, kala penulis menyambanginya
tahun 2014 lalu.
Pada zaman dulu, Pesantren As-Siraj
sangatlah ramai, begitu pula dengan lingkungan di sekitar pesantren.
Sebab, selain karena ketokohan Kiai Siraj, di sekitarnya juga terdapat
berbagai lembaga pendidikan terkenal seperti Pesantren Jamsaren,
Al-Islam, Mamba’ul Ulum dan lain sebagainya.
Mujab juga mengisahkan, ketika ia
masih kecil ia bersama santri lainnya, mengikuti pelajaran yang
diajarkan Mbah Siradj, yakni belajar membaca surah al-fatihah dan
tasyahud.
“Sesudah KH Shoimuri wafat, pondok
diasuh oleh adik saya, KH Mubin Shoimuri. Saat dipegang Mubin kemudian
tempat ini dibangun rumah dan pondok yang bagus. Santri lambat laun
juga bertambah banyak, kalau bulan puasa bahkan ada sekitar 200 santri
yang ikut mengaji di sini. Semuanya dicukupi mulai dari makan, pakaian
dan lain-lain,” terang dia.
Kiai Mubin, yang juga pernah mengemban
amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Surakarta 2003-2008, mengasuh
pondok sampai akhirnya dia wafat pada tahun 2007.
Mbah Siradj juga dikenal khalayak
sebagai seorang guru Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah. Setiap hari, ia
senantiasa istiqamah melaksanakan shalat berjamaah lima waktu dan
shalat sunnah rawatib, yang selalu dijalankannya secara lengkap.
Doa yang banyak dipanjatkan olehnya adalah “Ya
Allah, Tuhan kami, Engkaulah yang kami tuju dan ridha-Mu yang kami
cari. Berilah kepada kami ridha-Mu dan kecintaan-Mu serta ma’rifat-Mu.”
Ikut Barisan Kiai
Saat masa perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia dari cengkraman penjajah,
Mbah Siradj juga ikut berjuang dalam kelompok “Barisan Kiai”. Barisan
Kiai yang dibentuk pada akhir tahun 1945 ini berisi para kiai sepuh,
yang diharapkan nasihat-nasihatnya dalam peperangan juga untuk membakar
semangat para pejuang. Beberapa dari mereka juga ada yang memanggul
senjata, ikut berperang di front terdepan.
Ulama lain yang tergabung dalam
Barisan Kiai ini antara lain KH R M Adnan, Kiai Abdurrahman, Kiai
Ma’ruf Mangunwiyoto, Kiai Abdul Karim Tasyrif, Kiai Martoikoro, dan
Kiai Amir Thohar.
Sebagai salah satu anggota Barisan
Kiai, Mbah Siradj sering didatangkan di hadapan para pejuang Laskar
Hizbullah untuk memberikan pengarahan dan penggembelengan, baik jasmani
maupun rohani.
H. Abdullah Adnan, veteran pejuang RI
eks Laskar Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa”, mengenang pernah suatu
ketika ia dan pasukan lainnya yang tergabung dalam Hizbullah berkumpul
di Begalon Solo. Ketika itu, tentara Belanda sudah mulai memasuki Kota
Solo untuk mengadakan Agresi Militer II tahun 1948.
Saat itulah, Mbah Siradj bersama
anggota Barisan Kiai mengadakan inspeksi kepada pasukan Hizbullah yang
berjumlah sekitar 50 orang. Tiba-tiba seorang anggota Hizbullah bernama
Hayyun, 25 tahun, didekati lalu dipeluknya seraya berucap : “ahlul jannah … ahlul jannah!”.
Tak lama kemudian, datang tentara
Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar Kembang ke arah
selatan. Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa granat
nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah
tank. Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di
dalam tank juga termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.
Wariskan Perjuangan NU
Tidak banyak yang dapat diceritakan
dari kisah perjuangan Mbah Siradj bersama NU, mengingat keterbatasan
data dan narasumber. Namun, dari satu fakta penting yang penulis
temukan pada catatan dari Kongres ke Kongres (Muktamar) Nahdlatul Ulama
(NU), nama KH Siradj tercatat pernah mengikuti Kongres I NU yang
diadakan pada bulan Rabi’ul Awwal 1345 H/ 21-23 September 1926 di Hotel
Muslimin Peneleh Kota Surabaya. Ketika itu ia datang bersama KH
Mawardi (ayah KH Chalid Mawardi) sebagai utusan golongan ulama muda
dari Kota Solo.
Melalui fakta tersebut, dapat penulis asumsikan, pertama,
sosok bernama lengkap KH Ahmad Siradj ini merupakan salah satu tokoh
generasi pertama yang ikut mendirikan NU di lingkup daerah Karesidenan
Surakarta, khususnya di Kota Solo.
Kedua, ini berarti NU di Kota
Solo juga sudah ada sejak tahun 1926, tahun awal berdirinya NU, meski
baru dalam lingkup kecil. Sampai sekarang, Kota Solo sebagai sebuah
kota pergerakan yang terdapat berbagai macam aliran ideologi,
keberadaan NU di daerah itu, tentu menjadi pilihan warna dan wadah
tersendiri bagi para kaum santri.
Perjuangan Mbah Siradj bersama NU
kemudian diteruskan oleh anak keturunannya hingga sekarang. Semisal
puteranya yang bernama KH Shoimuri (wafat tahun 1983) pernah menjadi
Rais Syuriyah PCNU Boyolali. Kemudian dilanjutkan oleh para cucunya
antara lain KH Tamam Shoimuri (Rais Syuriyah PCNU Boyolali/ wafat tahun
2014), KH Mubin Shoimuri (Ketua PCNU Surakarta/ wafat tahun 2007), KH
Makin Shoimuri (Pengasuh Pesantren Putri Raudhatut Thalibin Leteh
Rembang), Nyai Hj. Basyiroh Shoimuri (Ketua PP IPPNU periode kedua) dan
lain sebagainya.
Kabar Kematian
Menjelang kematiannya, Mbah Siradj hadir dalam mimpi beberapa sahabatnya, antara lain KH Zaenal Makarim (Karang Gede).
“Mengapa saya sakit tak kau jenguk?”
Tanya Mbah Siradj kepada KH Zaenal Makarim dalam mimpi. Terperanjatlah
Kiai Zaenal Makarim, lalu seketika beliau berangkat ke Solo untuk
menjenguk Kyai Ahmad Siroj. Sesampai di Solo, ternyata jenazah telah
diberangkatkan sampai di Jalan Rajiman, Kadipolo.
Kejadian serupa juga dialami oleh
Habib Abdullah di Kepatihan, Solo. Pada pagi hari itu, ia bermimpi
didatangi Mbah Siradj, dan membangunkannya seraya berucap : “Sampun nggih Bib, kula rumiyin, sampeyan kantun.” (Sudah ya, Bib! saya duluan, anda menyusul).
Alangkah terkejutnya Sang Habib.
Seketika itu pula, Sayyid Abdullah pergi ke Panularan di mana rumah
Kyai Ahmad Siroj. Ternyata dapat berita, bahwa Kyai Ahmad Siroj telah
meninggal dunia pada pukul 04.00 pagi hari itu.
Kyai Ahmad Siroj wafat pada hari Senin
Pahing, 27 Muharram 1381 H atau 10 Juni 1961 M. Jenazahnya dikebumikan
di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo.
(Ajie Najmuddin)
Daftar Pustaka :
Hakim, Adnan. 1989. Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj Sala. Solo: Pesantren As-Siroj.
Aboebakar, Atjeh. Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim. Jombang: Pesantren Tebuireng.
Abdul Basit, Adnan. 2003. Prof. KHR Mohammad Adnan, Untuk Islam dan Indonesia. Solo: Yayasan Mardikontoko Surakarta.
Aboebakar, Atjeh. Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim. Jombang: Pesantren Tebuireng.
Abdul Basit, Adnan. 2003. Prof. KHR Mohammad Adnan, Untuk Islam dan Indonesia. Solo: Yayasan Mardikontoko Surakarta.
Sumber : NU Online
sumber http://rizalubis.id/jejak-kh-ahmad-siradj-solo/