Mengapa Islam Indonesia Moderat ?


Ini Alasan Mengapa Islam di Indonesia Moderat
Syaifullah, NU Online | Sabtu, 24 Maret 2018
Surabaya, NU Online
Bagi intelektual muda NU, Ulil Abshar Abdalla, ada banyak manfaat dan pengaruh kitab Ihya Ulumuddin(Ihya) bagi model Islam di belahan dunia, termasuk Indonesia. Perpaduan antara syariah dan tasawuf, menjadikan Islam di Nusantara sangat akomodatif dengan tradisi yang ada. 
Penjelasan ini disampaikannya pada kegiatan Kopdar Ngaji Ihya bareng Ulil Abshar Abdalla di Fastron Café, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Jumat (23/3). 
Ulil menjalaskan mengapa hingga kini Islam yang berkembang di Indonesia adalah moderat. “Saya berkeyakinan salah satunya adalah pengaruh kitab Ihya Ulumuddin,” katanya pada pengajian yang juga disiarkan secara langsung di media sosial tersebut.

Baginya, pengaruh kitab tersebut luar biasa besar bagi kejiwaan orang Indonesia. “Ronggowarsito yakni pujangga Jawa besar terakhir pada puisinya banyak diinspirasi dari kitab Ihya. Demikian pula Serat Centini yang dimiliki pujangga Keraton Jawa juga banyak terinspirasi dari kitab Ihya,” jelasnya. 
Lantas apa pengaruh kitab Ihya yang paling penting? “Yakni menggabungkan dengan cara yang pas dan tepat antara syariat dengan tarekat, demikian pula antara syariat dengan tasawuf,” ungkapnya. 
Menurut Ulil, dulu hubungan antara syariat dengan tasawuf kurang pas. Ada ketegangan dan sedikit kecurigaan. “Akan tetapi melalui Imam Ghazali, yang juga didahului oleh imam sebelumnya. bisa menggabungkan antara syariat dan tasawuf dengan sangat luar biasa,” katanya. Sehingga cara beragama umat Islam di Indonesia itu dibentuk oleh sintesis atau gabungan yang berhasil dilakukan oleh Imam Al-Ghazali ini, lanjutnya. 
Dalam pandangan Ulil, pengaruh yang sangat terasa adalah bahwa orang beragam itu ada unsur syariat yakni fikih, akan tetapi juga ada tarekatnya. “Inilah sumber yang membuat Islam di Indonesia moderat. Perpaduan ini juga yang membuat ulama dalam memutuskan sebuah hukum, memperhatikan konteks,” urainya. 
Ulil kemudian memberikan contoh para santri yang belajar tentang materi jihad. Karena semua santri yang belajar kitab kuning di pesantren dari mulai kitabTaqrib, Fathul Muin, Fathul Wahab, Iqna’ Nihayatuz Zein, Kifayatul Akhyar, dan yang lainnya pasti akan sampai kepada kajian kitabul jihad atau bab tentang jihad. 
“Masalahnya, mengapa para santri NU ternyata tidak menjadi jihadis? Pertanyaannnya, mengapa tidak ada satu santri NU pun yang ikut ISIS? Padahal semua ngaji jihad?” katanya dengan nada bertanya.
“Saya menduga, antara lain alasannya adalah kiai di Nusantara ini mengerti bagaimana yang disebut dengan fiqh tahqiq atau bagaimana menerapkan syariat dalam konteks tertentu,” kata menantu KH Mustofa Bisri ini. 
Jadi, ada ajaran tentang jihad, tetapi penerapan jihad ini harus hati-hati. “Bukan berarti kitabul jihad itu tidak relevan, bahkan dalam Fathul Muin dikatakan bahwa jihad itu hukumnya fardu kifayah dan wajib dilakulkan minimal setahun sekali,” urainya. 
Yang harus dipahami bahwa makna jihad di sini adalah jihad yang sebenarnya yakni perang, bukan belajar dan sejenisnya. Sehingga apabila tidak melakukan jihad yakni perang apakah berdosa? 
“Kiai-kiai sangat mengerti bagaimana cara menerapkan perintah jihad ini,” sergah Ulil. Para kiai memahami bagaimana konteks, bagaimana situasi, bagaimana kondisi, sehingga penerapan syariat itu bisa sesuai dengan konteks tertentu. 
“Dan itu menurut saya tidak bisa terjadi kalau orang tidak memiliki kebijaksanaan, hikmah yang lahir dari belajar tasawuf. 
Ulil kemudian memberikan contoh yakni Sunan Kudus. Bagaimana juga memahami Sunan Kudus yang mendirikan masjid Menara Kudus dengan arsitektur seperti orang Hindu. 
“Kalau Sunan Kudus mendirikan menara seperti itu sekarang, pasti akan kena tuduhan penodaan agama. Karena tasyabbuh bil kuffar atau menyerupai orang kafir,” kata Ulil. 
Sunan Kudus juga melarang orang muslim di sekitarnya untuk makan daging sapi. Bahkan ini lestari sampai sekarang bahwa tidak ada yang menjual sate sapi, yang ada adalah sate kerbau. 
Bagi Ulil, ulama Nusantara memiliki ilmu yang membuat mereka saat akan menerapkan sebuah ajaran agama sadar konteks, sadar kondisi lokal, sehingga tidak sembarangan. “Inilah yang saya sebut dengan hasil sintesis atau gabungan antara syariat dengan hakikat, serta tasawuf,” katanya.
Pada kesempatan tersebut, Ulil sampai kepada kesimpulan. “Kesimpulan saya, orang yang pernah belajar kitab Ihya tidak mungkin menjadi muslim radikal,” tegasnya. (Ibnu Nawawi)