Tetap Santri

Seumur hidup tetap santri.

Membaca Majalah Tempo minggu ini, saya tertarik kolom wawancara dengan Menag Lukman Hakim. Ada 2 kalimat yang saya garis bawahi dari hasil wawancara itu. Bukan tema persoalan Radikalisme dan penambahan quota haji tahun ini, melainkan tentang akhlak sang menteri.

Kalimat pertama menyebutkan kalo sang menteri menolak berpose dengan memakai sorban yang akan dipakai sebagai cover halaman. Alasannya karena ia belum pantas menggenakan sorban yang biasa digunakan ulama.

Beberapa hari yang lalu, ketika sowan ke Gus mus, Lukman juga tidak segan menuangkan minuman ke gelas Gus Mus. Walaupun ia datang sebagai tamu.

Pada tahun 1999, ketika baru diangkat sebagai Presiden, Gus Dur sowan kepada MbahAbdullah salam Kajen. Tanpa sungkan, presiden saat itu lewat pintu samping yang biasa digunakan para santri untuk masuk ke ndalem Kyai.

Dari kisah diatas dapat disimpulkan bahwa setinggi apapun jabatan seseorang di negeri ini tidak akan melupakn takdir awalnya sebagai santri. Bahkan walaupun ketika santri itu sudah mempunyai pondok pesantren dan memiliki ribuan santri yang diasuhnya. Seperti KH Abdullah Kafabihi Mahrus salah satu pengasuh Ponpes Lirboyo yang dengan takdim mencium tangan gurunya KH Dimyati Rois Kaliwungu. Saat Mvah Dim berkunjung ke Liribyo beberapa waktu yang lalu.

Ia tetap tawaduk kepada guru yang pernah mengasuhnya, kepada mereka yang selalu mendoakan siang dan malam untuk keberhasilan santrinya. Kepada mereka inilah kita dapat mengambil hikmahnya, bukan ?