Simbol Negara Oligarki Ekonomi


"Sri Mulyani", Simbol Negara Oligarkis

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A

Babak baru perjuangan Islam Nusantara, setelah melawan radikalisme dan intoleransi agama, adalah menantang “Negara Oligarkis”. Salah satunya sistem permodalan yang hanya bisa diakses oleh sekelompok kecil kapitalis. Sedangkan lagu lama untuk orang kecil adalah kendala persyaratan perbankan.
Pada 23 Februari 2017, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) AAGN Puspayoga, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara bersama Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siroj menandatangani sebuah MoU di Kantor Pusat PBNU.
Di dalam MoU tersebut, terdapat alokasi anggaran dari pemerintah sebesar 1.5 triliun untuk program investasi, kredit ultra mikro, atau apa pun di bawah size Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang senilai Rp. 100 triliun.
Dari total Rp. 1.5 triliun itu, menurut Sri Mulyani, jaringan usaha PBNU sudah menerima Rp. 211 miliar. Sebab, jaringan usaha yang terafiliasi dengan PBNU sangat banyak, yakni sekitar 5-10 juta.
Dari 10 juta unit usaha terafiliasi NU itu baru 5 koperasi saja yang MT Nusa Umat Sejahtera senilai Rp100 miliar; KSPPS BMT El Anugerah senilai Rp8 miliar; KSPPS BMT Nuansa Umat Jatim senilai Rp50 miliar dan KSPPS BMT Ummat Sejahtera Abadi senilai Rp3 miliar.
Persoalan sebenarnya, seperti yang penulis dengar langsung dari Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, ketika bersilaturahmi ke Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, adalah soal sistem dan mekanisme yang kapitalistik.
Bantuan dari pemerintah tidak menolong rakyat kecil dari situasi perekonomian negara yang dikuasai kaum kapitalis.
Akses pada sumber permodalan pemerintah hanya bisa dilakukan oleh sekelompok kecil orang-orang kaya. Bahkan, dana pinjaman disodor-sodorkan hanya pada orang kaya.
Bagaimana nasib orang kecil? Nasib orang kecil akan terus dipersulit oleh negara dengan banyak alasan.
Sri Mulyani sendiri mengatakan, tidak semua unit usaha (NU) memiliki kualitas baik, dan pondok pesantren bukan unit kegiatan ekonomi, sehingga beberapa individu tidak bisa pick up, dan kreditnya tidak membantu.
Beginilah negara bila dikuasai oleh sekelompok oligarkis, sehingga sistem sepenuhnya kapitalistik.
Penulis jadi ingat Surya Paloh, Pimpinan Nasdem, yang menyebut Indonesia sebagai negara dengan sistem kapitalis, tetapi pemerintah malu mengakuinya.
Bahkan, tidak heran jika kemudian ada politisi dari fraksi PDI Perjuangan sendiri, Effendi Simbolon, bersuara sama.
Bagi Effendi, visi misi nawacita Jokowi dipraktikkan dalam wajah dan rupa yang bercita rasa liberalis-kapitalis.
Ini semua bukti bahwa ucapan Kiai Said Aqil Siroj ada benarnya, yaitu negara ingin menarik suku bunga 9% dari dana pinjaman/kredit yang diberikan.
Ketua I Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Zaenal Effendi membenarkan adanya suku bunga tinggi tersebut, yakni 8% atau 1% lebih rendah dari klaim Kiai Said Aqil Siroj.
Sri Mulyani tidak paham ekonomi Islam. Caranya dalam memaknai ekonomi Islam adalah perspektif kapitalisme.
Padahal, Islam Nusantara yang digagas oleh Walisongo, sejak dahulu kala, melawan sistem feodalisme-oligarkis-kapitalistik semacam itu.
Ustad Ahmad Baso, budayawan dan filolog NU, mengungkapkan bahwa teks-teks Nusantara warisan Walisongo adalah bukti Islamisasi yang berpijak pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
Dengan sistem musyarakah (bagi hasil), Walisongo ingin menghapus sistem upah yang kapitalistik. Bagi Walisongo, kesejahteraan tidak boleh berputar di kalangan kelompok kecil, tetapi harus didistribusikan secara adil kepada rakyat kecil yang lebih luas (Ahmad Baso, Islamisasi Nusantara, 2018).
Sampai kapanpun, pemerintah akan melihat negatif ekonomi pesantren jika pendekatannya kapitalistik.
Hal itu akan menjurus pada pengkhianatan Kemenkeu atas Pancasila, yakni sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan keberpihakannya pada kapitalisme.
Sri Mulyani tahu bahwa periode kedua pemerintahan Jokowi berorientasi pada persaingan global. Bahkan, Jokowi tunjuk Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan visi mendorong dunia pendidikan terintegrasi dengan dunia industri.
Jika visi ini tidak ditopang oleh dukungan pemerintah terhadap usaha rakyat kecil, menurut Kiai Said saat ceramah di PP Bina Insan Mulia, Cirebon, maka persaingan global tersebut hanya akan dimainkan oleh sekelompok kecil, para konglomerat.
Konsekuensinya, rakyat kecil hanya akan jadi korban dan buruh di negeri sendiri. Bisnis Online pun, yang digembar-gemborkan sebagai andalan di masa depan, hanya akan dimainkan oleh orang-orang kelas elite.
Kita tahu, per 2018, perusahaan Gojek, milik Nadiem Makarim, memiliki 1.7 juta pengemudi, dan masih membayangkan akan menggaet 3.4 juta pengemudi. Pada tahun 2019, baru tercapai 2 juta lebih pengemudi.
Artinya, kaum konglomerat ini berhasil menciptakan kelas-kelas buruh dan pekerja dari pada kelas-kelas sosial yang kreatif, inovatif, dan menjadi tuan di negeri sendiri.
PBNU membuat nota kesepahaman dengan Kemenkeu, sejatinya, ingin mewujudkan amanah sila ke-5 Pancasila tentang keadilan sosial, terlebih keadilan bagi “Wong Cilik”, rakyat jelata.
PBNU tidak bangga rakyat jelata mendapat pekerjaan sebagai buruh, pekerja upahan. Tetapi, jauh lebih bangga jika rakyat kecil ini jadi aktor dan pemain utama ekonomi yang dijalankan oleh negara.
Jangan berikan pekerjaan, tetapi berikanlah modal usaha agar mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
Hak untuk menciptakan lapangan pekerjaan bukan saja ada di tangan para pemodal, tetapi rakyat miskin juga berhak untuk itu.
Karenanya, prinsip PBNU sangat jelas, menurut Kiai Said, yaitu tidak anti-konglomerasi selama kaum konglomerat mau menolong orang lemah, rakyat jelata, kelas menengah, atau wong cilik.
Jika kaum konglomerat itu tutup mata, maka itulah yang disebut intoleransi ekonomi. Dosanya sama dengan perbuatan intoleransi dalam beragama.
Intoleransi ekonomi ini dilarang oleh agama karena tidak ada keadilan distributif di sana. Orang kaya dan miskin mestinya punya hak akses yang sama atas sumber-sumber ekonomi. Sebuah riwayat hadits berbunyi:



وعنْ رجُلٍ مِن الصحابةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قالَ: غَزَوْتُ معَ رسولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فسَمِعْتُهُ يقولُ: النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْكَلَأِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ (رواهُ أحمدُ وأبو داودَ).
Salah seorang sahabat berkata: aku berperang bersama Rasulullah saw., lalu mendengar beliau bersabda, “manusia itu bersekutu dalam tiga hal: rumput, air dan api,” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj menerjemahkan api dalam hadits sebagai energi, sumber energi, seperti gas, minyak, batu bara.
Pertamina dan seluruh anak perusahaannya, seharusnya, menjadi milik rakyat. Sebagai perusahaan BUMN, Pertamina harusnya menjadi milik rakyat, bukan sekelompok konglomerat.
Sebelum tiba era Jokowi, Blok Mahakam dikuasai Perancis dan Jepang. Blok Rokan dikuasai Chevron, perusahaan asal Amerika. Sejak 2018, Pertamina sudah berkuasa.
Tetapi, apakah rakyat kecil sudah berkuasa atas kekayaan alam Indonesia? Atau, tetap hanya segelintir elite saja?
Ternyata, Kita masih dibuat sedih hati, mendengar berita adanya para cukong-cukong dan segelintir elite kaya berebut menjadi pengelola Blok Rokan milik negara itu.
Islam Nusantara, Islam yang dicontohkan Walisongo, akan melawan sistem negara yang oligarkis-kapitalistik. PBNU kecewa dengan sikap Kemenkeu yang mengkhianati MoU dan kesepakatan bersama.
Tidak mungkin rakyat kecil diberi pinjaman modal usaha dengan suku bunga 8-9%, jika bukan karena negara ini memang dijalankan dengan sistem kapitalistik dan dikuasai kaum oligarkis. Islam akan selamanya menentang sistem pinjaman dana usaha yang kapitalistik seperti ini (Muhammad Ismail Abduh, al-Iqtishad fi Dhau’ al-Islam, 2018).
Kedua, prinsip ekonomi Islam adalah menghormati ajaran-ajaran Allah dan mencintai umat manusia. Sedangkan kepentingan kapitalis bertujuan meningkatkan perdagangan demi surplus keuntungan dan penumpukan modal, seperti tawaran kredit Sri Mulyani dengan bunga 8-9% itu (Muhammadi Ziyad Hamdan, Luzum al-Islam al-Madani wa ad-Dawlah al-Wathaniyah, 2015: 85).
Akhir kata, jika negara ini masih dikuasai oleh orang-orang yang jebolan Barat, berpikir ala Barat, menerapkan sistem Barat, maka hilang sudah kearifan Nusantara kita. Hanya kaum oligarkis yang berkuasa, dan berjaya dengan sistem kapitalisme mereka. Sementara cita-cita luhur para founding-fathers kita, yang diperas dari sejarah leluhur Nusantara, lalu tertuang dalam Pancasila, luntur terkikis zaman.

Penulis adalah Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010.-2015

sumber : www.bangkitmedia.com