Sejak kecil aku hidup di lingkungan yang sangat kental dengan
tradisi-tradisi budaya bernuansa islami seperti tahlilan, manakiban, maulidan dll.
Tradisi ini turun-temurun dari dahulu hingga sekarang. Namun, akhir-akhir ini banyak yang ingin
menghilangkan tradisi itu dengan berdalil tradisi tersebut tidak ada pada zaman
Rosulullah saw atau yang biasa disebut dengan bid'ah.
Aku termenung dengan keadaan seperti ini, Sepertinya zaman sekarang
cenderung berpikir sempit, akal tak
digunakan berpikir secara luas dan mencari kebenaran melalui ilmu yang mumpuni.
Tradisi menjadi sarana untuk berdakwah,
sehingga masyarakat menerima dakwah itu dengan senang hati karna tak
perlu untuk menyesuaikan diri dalam lingkup agama dan cepat untuk mencintai
agama islam. Toh sekarang telah ada
tradisi islam nusantara yang dimana tradisi tidak lari dari pakem al-qur'an dan
hadits Rasulullah saw. Semua tradisi
yang di kombinasi dengan ajaran agama
islam menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, dengan
niat untuk mencari ridha dari Allah hanya caranya di kolaborasikan dengan
tradisi.
Islam Nusantara adalah kolaborasi
agama dan budaya yang ciamik untuk mengikat masyarakat yang suka dengan
budaya-budaya mereka.
Penting untuk mengetahui batas-batas antara mana yang diperbolehkan dan
mana yang dilarang. Untuk kemudian bertransformasi dan membaur dengan budaya
yang berkembang. Jika budaya menabrak pakem maka tak ada alasan untuk
mempertahankannya. Namun masih ada solusi, mengubahnya agar berjalan sesuai
doktrin agama. Karena budaya adalah salah satu unsur terpenting dalam
masyarakat, dimana pilar-pilar keteguhan masyarakat terbangun dari keteraturan
yang biasanya mereka lakukan. Bahkan menjadi “berdosa” rasanya jika harus
meninggalkan tradisi bagi mereka.Tentu untuk mengenalkan islam yang hakiki
kepada mereka butuh strartegi.
Islam mentoleransi budaya setempat, negeri dimana dia lahir. Dalam tamsil
kasus berikut, islam mengenalkan pada dunia, bahwa ‘imamah, bersorban adalah
ciri khas bangsa Arab pada umumnya. Sayyidina ‘Ali KRW pernah berkata,
“’Imamah adalah mahkota bangsa Arab. Para malakikat memakai imamah berwarna
putih pada perang badr dan memakai ‘imamah merah pada perang hunain.”
Nabi Muhammad SAW tidak melarang orang bersorban, dan cenderung
mempertahankannya sebagi kesunahan. Budaya Arab ini, akan membuat pahala salat yang dilakukan
menjadi dilipat gandakan puluhan kali. Satu kali saja salat ber’imamah, akan
lebih baik dari pada melakukan hingga dua puluh lima kali salat tanpa ‘imamah.
Imamah dan jenggot dikenalkan oleh bangsa Arab kepada dunia berkurun-kurun
berikutnya. Ditiru, bahkan kemudian dilestarikan salah satunya sebagai upaya
menjalankan sunnah nabi.
Sudah menjadi fakta bahwa salah satu pilar kesuksesan dakwah nabi Muhammad
SAW dikalangan masyarakat Arab adalah strategi beliau dalam mendekati kaum Arab
lewat pendekatan seni dan budaya. Adanya kitab suci Al-Qur’an yang bernilai
sastra tinggi di lingkungan yang sangat menghargai sastra budaya pada saat itu
merupakan bukti bahwa melalui budaya masyarakat mudah menerima ajaran-ajaran
Islam. Begitu juga dalam menetapkan hukum atas sesuatu, beliau tidak
menghilangkan budaya yang ada, melainkan hanya meluruskan hingga sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam.
Rupanya, metode dakwah tersebut telah diterapkan oleh Walisongo dalam syiar
Islam di Jawa. Walisongo adalah sejumlah guru besar atau ulama’ yang berjumlah
sembilan yang diberi tugas untuk dakwah islamiyah di wilayah tertentu.
Walisongo mencapai sukses besar dalam syiar Islam di tanah Jawa ini. Selain
ahli dalam bidang keagamaan, Walisongo juga ahli dalam seni dan sastra budaya,
khususnya sastra pesantren. Dalam penyebaran agama Islam Walisongo juga
memasuki ranah-ranah seni dan budaya masyarakat. Mereka gemar dengan kebudayaan
dan sastra daerah. Walisongo menciptakan syair-syair atau puisi dan
tembang-tembang atau lagu dengan memasukkan ajaran Islam di dalamnya dalam
berdakwah.(irgi nf)
Sumber http://irginurfadil.blogspot.com/2018/03/perkembangan-islam-nusantara.html