Islam Nusantara, Karakter Islam Damai

Pesantren merupakan basis historis serta akar filosofis pendidikan di Indonesia, dalam penyelenggaraan pendidikan, hanya pesantren yang sampai saat ini berpegang teguh dan sangat memahami makna pendidikan secara etiko-filosofis. Sementara, jika dibandingkan dengan lembaga “semi” pendidikan-pengajaran, pesantrenlah yang memenuhi kriteria change of behavior-nya pemikir pendidikan Paolo Freire.
Akhir-akhir ini sangat santer gerakan “Back to Pesantren” sebagai gerakan kembali memahami
nilai-nilai keislaman yang ramah serta pendidikan yang berbudaya, jadi tidak salah jika pada saat ini banyak sekali kajian-kajian berupa diskusi, seminar, dialog publik, simposium yang menyinggung tema Islam yang ramah, Islam Nusantara.
Muktamar Nahdlatul Ulama’ (selanjutnya disebut NU) ke-33 Agustus 2015 di Jombang yang mengambil tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, menjadikan istilah Islam Nusantara semakin populer. Meski menuai banyak perdebatan di kalangan para intelektual muslim, Islam Nusantara tetap menarik untuk dikaji.
Islam Nusantara di Mata Quraish Shihab, dalam seminar nasional di UBAYA Jum’at, 05 Desember 2015 mengatakan jika ada budaya yang bertentangan dengan Islam maka ditolak atau direvisi, dan jika Pada mulanya, Islam di Makkah bertemu dengan budaya Makkah. Akulturasi antara budaya dan agama kemudian oleh Islam dibagi menjadi tiga. Pertama, adakalanya Islam menolak budaya setempat. Kedua, Islam merevisi budaya yang telah ada. Ketiga, Islam hadir untuk menyetujui budaya yang telah ada tanpa menolak dan tanpa merevisinya.
Kesimpulannya, jika sejalan maka akan diterima. Inilah prinsip Islam dalam beradaptasi dengan budaya. Jadi Islam bermacam-macam akibat keragaman budaya setempat.
Islam Pribumi dimaksudkan untuk menggerakkan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktek kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan mejemuk. Ridak ada lagi anggapan bahwa Islam yang berada di Timur Tengah sebagai Islam yang paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historitas yang terus berlanjut.
Untuk itu karakter yang melekat pada Islam Indonesia yaitu pertama, kontekstual yakni Islam yang dipahamai sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tepat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk penafsiran dan ijtihad. Dengan demikian, Islam akan terus mampu memperbarui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam dengan lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda, dengan kemampuan beradaptasi inilah Islam sesungguhnya benar-benar shahih li kulli zaman wa makan (relevan dengan semua zaman dan tempat manapun).
Kedua, toleran. Kontekstualitas Islam ini pada gilirannya menyadarkan kita bahwa penafsiran dan pemahaman terhadap Islam yang beragam bukan hal yang menyimpang ketika ijtihad dilakukan dengan tenggung jawab. Sikap ini akan melahirkan sikap toleran terhadap berbagai perbedaan tafsir Islam. Lebih jauh lagi, kesadaran akan realitas konteks keindonesiaan yang plural menuntut pula pengakuan bagi kesederajatan agama-agama dengan segala konsekuensinya. Semangat keberagaman inilah yang menjadi pilar lahirnya Indonesia.
Ketiga, menghargai tradisi. Ketika menyadari bahwa Islam dibangun atas dasar tradisi lama yang baik, hal ini menjadi bukti bahwa Islam tak selamanya memusuhi tradisi lokal. Islam tidak memusuhi, tetapi justru menjadi sarana vitalisasi nilai-nilai Islam, sebab nilai-nilai Islam perlu kerangka yang akrab dengan kehidupan pemeluknya.
Keempat, progresif. Yakni dengan perubahan praktek keagamaan (Islam) menerima aspek progresif dari ajaran dan realitas yang dihadapinya. Kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap ajaran dasar agama Islam tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Dengan cara ini Islam bisa dengan lapang dada berdialog dengan tradisi pemikiran orang lain termasuk orang Barat.
Kelima, membebaskan. Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik.[1]
Sementara pada dekade 1980-an K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tampil dengan idenya tentang Pribumisasi Islam. Disini Gus Dur dengan tegas menyatakan bahwa Pribumisasi Islam tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Selain itu, Pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau Singkritisme. Tujuannya adalah bagaimana agar Islam dipahami dengan mempertimbangakn faktor-faktor kontekstual, dan juga bagaimana agar kebutuhan-kebutuhan lokal dipertimbangkan dalam merumuskan hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.
Apa yang telah menjadi ide terbesar yang dicetuskan oleh Prof. Habi tentang Fikih Indonesia dan Gus Dur tentang Pribumisasi Islam pada dasarnya menekankkan pentingnya menjadikan ‘urf (adat atau budaya) dan kebutuhan lokal sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam. Dan ini merupakan elemen utama dalam konsepsi Islam Nusantara. Keharusan mempertimbangkan ‘urf, tradisi dan budaya setempat dalam menerapkan hukum Islam dirumuskan dengan baik.[2]
[1] Pengantar Imaduddin Rahmad, Islam Pribumi, Islam Indonesia Mendialogkan Agama Membaca Realitas oleh Ahmad Baso, ed, (Jakarta: Erlangga, 2003), xxi.
[2] Skripsi, Queen Fannis Listia, Islam Nusantara: Upaya Pribumisasi Islam Menurut NU, 2015

By on    
https://suarapesantren.net/2016/11/30/islam-nusantara-karakter-islam-damai/