Islam Nusantara

Islam Nusantara 

 

Dalam diskusi bedah buku rutin dwimingguan hari selasa di Griya Kwaron Jombang yang didirikan teman-teman Unit PenerbiIslam Nusantaratan Pesantren Tebuireng dari lininya, Balitbang, memilih “Islam Nusantara” karya Ahmad Baso untuk dikuliti.
Peserta yang antusias, tidak hadir dengan pikiran kosong, tapi sudah dengan bekal bacaan yang sudah
dikenyam jauh-jauh hari sebelumnya. Diskusi Griya Kwaron memang terbuka untuk siapapun yang berminat untuk mengembangkan wacana keilmuan terkhususnya mahasiswa.
Dari fasilitator menyampaikan isi buku dimulai dari pengantar yang dituliskan oleh KH. Afifuddin Muhajir bahwa “Islam Nusantara” itu bukan mengkrucutkan definisi Islam dengan wadah Nusantara atau penyempalan sehingga melahirkan Islam-islam yang lain seperti Islam Arab Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya.
Secara Universal, Islam memang mempunyai satu kesatuan ikatan dengan Nash (teks) al-Qur’an dan al-Hadits yang dimiliki oleh keseluruhan umat Islam di belahan dunia manapun. Akan tetapi sumber penggalian penerjemahan teks itu tidak berhenti pada itu, karena kita mengenal ilmu keislaman untuk melahirkan inovasi-inovasi baru. Maka diperlukanlah Maqasid Syari’ah (tujuan syariah) untuk memahami secara mendalam tentan Islam.
Apa itu tujuan dari Syari’ah? Tiada lain adalah keselamatan dunia dan akhirat. Damai, rukun, guyub antar sesama tanpa ada anarkisme. Caranya adalah dengan memahami kultur suatu daerah. Oleh karenanya kita diharuskan mengkaji kaidah-kaidah fiqh, ushul fiqh, dan keilmuan syari’ah lainnya untuk bisa bersifat lebih lentur dan eklektik seperti yang telah dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu (Walisongo misalnya).
Bahkan, Kiai Afid lebih radikal lagi menyuplik kaidah fiqh “ats-Tsabit bil ‘urfi kats-Tsabit binnash”, yang ditetapkan oleh ‘urf (budaya) sama dengan yang ditetapkan oleh Nash. Jadi lokalitas Islam menjadi penting di sini, jika mengacu pada kaidah paparan itu. Asalkan, masih selaras dengan tujuan syari’ah secara universal, menyelematkan manusia di dunia dan akhirat. Membuat rukun tanpa anarkis.
*
Dari pengantar itu, Ahmad Baso menawarkan tiga terobosan strategi “Islam Nusantara” yang ia gali dari sejarah ulama-ulama terdahulu. Yang pertama adalah al-mukhafadha wal akhdzu, menjaga dan mengambil. Maksudnya, tetap menjaga tradisi-tradisi luhur peninggalan seperti imsak, model tempat beribadah, ta’liq tholaq, halal-bihalal, dan seterusnya.
Ulama Nusantara tidak serta merta mengenyam ajaran-ajaran Islam Arab, tapi juga memilih dan memilah, mana yang cocok dengan tradisi budaya Nusantara dan mana yang tidak. Seperti tradisi halal-bihalal yang Baso ambil, tradisi itu tidak akan kita temukan di daerah Arab, itu khas nusantara. Hakikat silaturim Islam tetap terjaga sebagai nilai ajaran Islam, tapi wadahnya dibentuk oleh Ulama Nusantara. Mengambil tradisi “nilai-nilai” bagus tentang silaturahim Islam sebagai isi, dan menjaga tradisi kumpul-kumpul di Nusantara sebagai wadah. Sehingga yang awalnya hanya kumpul tanpa makna, menjadi bernuansa Islam, guyub dengan keilmuan dan seterusnya.
Strategi kedua adalah maqashid (tujuan syariah). Tujuan syariah adalah rahmatan lil alamin, anugerah bagi seluruh umat, jangan sampai menjadi malapetaka. Oleh karenanya kenapa Sunan Kalijogo tetap mempertahankan kemenyan misalnya, Sunan Bonan mengikatkan sapi depan masjid untuk mengundang masyarakat dan menyodorkan dakwahnya. Sunan Kudus tetap mempertahankan corak masjid dengan kultur budaya yang ada. Karena esensi Islam lah yang perlu ditanamkan, bukan terpaku pada wadah yang nantinya akan menjadikan Islam terlihat kaku.
Strategi terakhir adalah bermadzhab. Sekaliber ulama nusantara, mereka masih mempertahankan etika bermadzhab untuk menjaga kesinambungan transmisi keilmuan tetap orisinil. Sekaliber Imam al-Ghazali juga masih bermadzhab Syafi’i yang Baso contohkan.
Selebihnya, paparan-paparan dalam buku memberikan contoh riil dalam ranah politik, ekonomi, dan fiqh. Bagaimana ketiga strategi di atas berjalan dalam ranah-ranah parsial. Begitu juga empat tokoh yang dicontohkan seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH. Usman Syarif Yahya. Bagaimana mereka menerapkan ketiga strategi itu dalam kesehariannya dan perjuangannya.
**
Data-data dan contoh-contoh yang dipaparkan buku ini sangat menarik, perlu diapresiasi. Tapi penggalian “ide” atau “konsep” dari sejarah dan data yang ada, masih perlu pendalaman. Seperti strategi pertama, jauh-jauh hari Gus Dur sudah menambahkan tawaran “al-ijad”, progresifitas dan inovasi.
Jadi, Islam (NU) tidak hanya bersifat konsumeris dengan al-mukhafadho wal akhdzu-nya. Tapi juga menawarkan tradisi yang dipunyai atau diciptakan. Baso sudah memberikan contoh dengan adanya Undang-Undang Malaka tentang fiqh pelayaran. Tapi mengambil “ide” bahwa contoh tersebut adalah sebuah progres dan inovatif, Baso tidak melihat serta menuangkannya dalam buku itu.
Sebagai generasi muda NU yang cerdas, kita yakin bahwa Baso juga sudah membaca tentang tawaran al-ijad tulisan Gus Dur tersebut. Ntah kenapa dia tidak menambahkan dalam buku tersebut dalam pengambilan “konsep/ide”. Padahal dari banyak cerita yang dipaparkan, masih bisa diuraikan dengan pengambilan “konsep” darinya.
Pengklaiman tentang tokoh bahwa seorang itu A, maka semua jalurnya pasti A dalam buku Islam Nusantara ini, tidak seharusnya dilancarkan oleh seorang akademisi sekaliber Ahmad Baso. Seperti yang dicontohkan tentang Ibnu Taimiyah, bahwa dia adalah tokoh yang menggaungkan Islam normatif (kaku) asli Arab. Padahal, tidak serta merta seorang Ibnu Taimiyah itu tokoh yang kaku.
Yang paling penting, tanggapan teman-teman diskusi, bahwa pelabelan “Islam Nusantara” itu sendiri yang melahirkan gegeran. Kang Rahmat, salah satu peserta diskusi dan Staf Divisi Pustaka mengambilkan contoh pengalaman dengan Abahnya ketika datang takziyah ke salah satu teman Abahnya. Abahnya mengusulkan tahlil setelah pemakaman, tapi ada orang yang protes bahwa itu bukanlah ajaran Islam. Lantas Abahnya menimpali “ya sudah, kalau begitu kita baca kalimat-kalimat thoyyibah”, serentak kemudian masyarakat setuju dan membaca bareng dengan dipimpin Abahnya. Padahal, yang dibaca Abah adalah tahlil.
Efek pelabelan itu yang menjadi gegeran, padahal isinya, kita sudah sepakat. Islam Nusantara, dengan pelabelan buku ini, orang menjadi menjaga jarak. Padahal, secara realita, kita sudah memahami bersama bahwa Islam datangnya ke daearah kita itu bagaimana.
Oleh karenanya, pembahasan Islam Nusantara dalam buku Ahmad Baso menjadi tidak fair kata Ahmad Faozan selaku Direktur Penerbitan. Karena Baso secara tidak langsung, tidak memuat organisasi-organisasi lain selain NU (dengan pengistilahan Islam Nusantara).
Ahmad Fao menambahi diakhir diskusi, sebenarnya kalau mau jujur, kita ini adalah muslim beologis. Keberuntungan kita terlahir Islam.

oleh Yayan Musthofa
https://yayanmusthofa.wordpress.com/2015/09/29/islam-nusantara/