Islam Nusantara yang disalahmengertikan

Serangan terhadap Islam Nusantara sebenarnya sudah lama terjadi, hanya saja belakangan ini serangan tersebut kian masif. Di berbagai forum, khususnya di media-media sosial, hampir setiap waktu ditemukan serangan dengan berbagai bentuknya. Agaknya serangan-serangan itu tidak akan mereda dalam waktu dekat ini.
Kalau kita teliti, banyak sekali kekeliruan-kekeliruan -atau mungkin upaya sengaja untuk mengelirukan-pemahaman atas konseptualisasi Islam Nusantara. Ironisnya, hal itulah yang terus menerus disuarakan akhir-akhir ini.

Agama dan ekspresi keagamaan

Kegagalan memahami istilah Islam Nusantara terjadi karena tidak bisa membedakan agama dan ekspresi keagamaan. Bagi mereka yang gagal memahami istilah Islam Nusantara, agama ya agama; tidak ada istilah ekspresi keagamaan.
Padahal dalam kenyataannya, agama berbeda dengan ekspresi keagamaan. Agama (Islam) bersifat universal; di Indonesia, Malaysia, Cina, Afrika dan di tanah kelahirannya, Arab, di mana pun sama. Orang Indonesia melaksanakan salat seperti halnya orang Malaysia dan lainnya. Tidak ada yang membantah dalam hal ini.
Tetapi ekspresi keagamaan bersifat partikular. Ia bisa berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain; antar satu negara dengan negara lain. Ekspresi keagamaan lebih bersifat budaya. Misalnya orang Indonesia kalau salat umumnya pakai sarung; di negara lain tidak karena tidak mengenal sarung. Tetapi hal ini tidak masalah, bukan?
Orang-orang Islam Indonesia mengenal tradisi tahlilan, shalawatan, asyraqalan, dan sebagainya. Semuanya itu merupakan ekspresi keagamaan yang memiliki nilai kemaslahatan bagi masyarakat itu sendiri: selain memperkuat kecintaan kepada agama dan pembawanya -yakni Nabi Muhammad SAW, juga bisa menguatkan tali silaturahim, dan lain-lain.
Oleh karena itu, ekspresi keagamaan tidak akan mengurangi -apalagi merusak- nilai substansi agama itu sendiri. Sebaliknya, ia dapat memperkaya dan menambah kegairahan beribadah bagi masyarakat Islam.
Dalam konteks seperti inilah sebenarnya kita harus meletakkan Islam Nusantara. Ia sama sekali bukan merupakan "aliran keagamaan " atau bahkan "agama baru" di Indonesia seperti yang dituduhkan oleh para penggugatnya. Melainkan ia lebih merupakan Islam yang kaya dengan ekspresi keagamaan.
Itulah justru Islam yang banyak berkembang di kalangan masyarakat Indonesia selama ini. Karena itu, munculnya istilah Islam Nusantara hanyalah penegasan terhadap corak Islam yang sebenarnya sudah dipraktikkan atau yang sudah berlangsung sejak lama di negeri ini.

Watak Islam yang adaptif

Mengapa corak Islam yang seperti ini mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia? Tidak lain karena watak Islam itu sendiri memang adaptif terhadap budaya setempat.
Islam mudah menerima unsur-unsur budaya lokal, selama tidak mengurangi nilai-nilai Islam itu sendiri. Demikianlah dulu para juru dakwah Islam, khususnya di tanah Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, melakukan penyebaran ajaran Islam. Seperti yang dilakukan oleh salah seorang di antaranya, yaitu Sunan Kalijogo yang berdakwah melalui medium wayang, atau medium-medium lokal lainnya.
Model dakwah yang dikembangkan oleh para waliyullah tersebut sangat sesuai dengan tipikal masyarakat Indonesia yang ramah dan mudah menerima orang lain. Dalam derajat tertentu, kerap terjadi akulturasi budaya Islam dengan budaya Indonesia atau Nusantara yang pada gilirannya menjadi budaya Islam khas Indonesia.
Memang kemudian ada sekelompok orang Islam yang dengan semangatnya ingin melakukan puritanisasi dengan menganggap -atau tepatnya menuding- model dakwah seperti itu sebagai mencampuradukkan agama dan budaya. Bahkan ada yang menuduhnya sebagai sinkretisme Islam .
Mereka sangat alergi dengan istilah Islam Nusantara, yang dalam pandangannya mencerminkan Islam yang sinkretis atau Islam yang campur aduk. Mereka tidak segan-segan untuk menuduh Islam Nusantara sebagai Islam yang tidak murni atau Islam yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya.
Itulah kekeliruan fundamental yang digaungkan kelompok ini. Jika terus dipelihara, kekeliruan sikap dan pemahaman mereka tersebut sangat berbahaya bagi keluhuran nilai Islam itu sendiri. Karena dengan demikian, dalam pandangan mereka, pemahaman Islam yang benar hanyalah pemahaman versi mereka sendiri. Sementara pemahaman orang lain keliru.
Meskipun demikian, betapa pun kasarnya reaksi yang ditunjukkan kelompok anti Islam Nusantara, hemat saya, tidak perlu dilawan dengan reaksi yang serupa. Watak Islam Nusantara adalah Islam yang ramah dan toleran.

Beritagar.id
Iding Rosyidin, Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.