PENGKOLABORASIAN ISLAM PRIBUMI YANG MENGHASILKAN ISLAM NUSANTARA
May 30, 2018
Islam Nusantara sesungguhnya hanya penyerdehanaan dari tipologi Islam
Indonesia hasil perpaduan anatara Islam dengan kebudayaan Nusantara. Nusantara
dalam prespektif ini bukanlah hanya pada konsep geografis, lebih jauh dari itu
Nusantara merupakan encounter culture (pusat pertemuan budaya) dari seluruh
dunia. Mulai dari budaya Arab, India, Turki, Persia termasuk adri budaya Barat
yang melahirkan budaya dan tata nilai yang sangat khas. Oleh karena itu,
Nusantara bukan sebuah konsep geografis melainkan sebuah konsep filosofis dan
menjadi prespektif atau wawasan sebuah pola pikir, tata nilai dan cara pandang
dalam melihat dan menghadapi budaya yang datang.
Kajian Islam Nusantara bukan
sekedar kajian terhadap kawasan Islam, tetapi lebih penting lagi merupakan kajian
terhadap tata nilai Islam yang ada di kawasan Nusantara yang telah tumbuh dan
berkembangkan oleh para wali dan ulama sepanjang sejarahnya, mulai dari
Samudera Pasai, Malaka, Palembang, Banten, Jawa. Islam yang datang ke Nusantara
merupakan Islam yang sudah paripurna karena telah mengalami dialog intensif
dengan berbagaii peradaban besar dunia seperti Persia, Turki, India sehingga
ketika samapai ke Nusantara telah tampil dalam kondisi yang paling paripurna.
Islam model seperti itulah yang kemudian diajarkan di berbagai pesantren.[1]
Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di Nusantara
dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Islam
di Nusantara di dakwahkan dengan cara merangkul budaya, meyelaraskan budaya,
menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya. Dari pijakan itulah NU akan
bertekad mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu Islam yang ramah, damai,
terbuka dan toleran. Memaknai Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala
Indonesia yang merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai
tradisi lokal, budaya dan adat istiadat di Nusantara.3 Karakter Islam Nusantara
menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran
Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang
banyak tersebar di wilayah Nusantara. Pertemuan Islam dengan tradisi Nusantara
itu kemudian membentuk sistem
sosial, lembaga pendidikan (seperi pesantren). Tradisi itulah yang kemudian
disebut dengan Islam Nusantara, yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi
budaya Nusantara.
B. UPAYA PRIBUMISASI ISLAM
Syaiful arif , seorang “mutarjim” pemikiran Gus Dur mengatakan bahwa
gagasan Gus Dur yang paling populer lahir dari keprihatinannya atas kebudayaan
islam di indonesia ditengah ancaman arabisasi tapi, Islam Nusantara tidaklah
anti budaya Arab, Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah dan tauhid
sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. [2]
Dengan demikian pribumisasi islam boleh dikatakan sebagai cita-cita untuk
melanjutkan kebijakan penyebar agama islam di masa lalu yang bijaksana dalam
berdakwah dan ber-islam. Keberadaan islam nusantara, atau yang dikenal islam
ala Nu yang merupakan cita-cita pribumisasi islam diakui sebagai islam yang
dibutuhkan oleh masyarakat indonesia timur dan kawasan yang jauh dari daerah
jawa. Untuk memperkuat nasionalisme dan merekatkan keutuhan NKRI. Mengenai apa
yang disebut tentang Islam Nusantara, pandangan Islam Nusantra ini perlu
dijelaskan. Pertama ingin penulis sampaikan bahwa jauh sebelum mencuatnya ide
Islam Nusantara, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah lebih dahulu muncul
dengan konsep keislaman yang “membudaya” atau kita kenal dengan konsep
Pribumisasi Islam. Islam bersifat shalihun li kulli zaman wa makan. Artinya
adalah “relevan untuk segala zaman dan tempat”. Keislaman yang mengakomodasi
dan dapat diserap oleh budaya lokal, tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman
itu sendiri. [3]
Kedua, bahwa Islam memang secara de facto turun di tanah Arab, tetapi yang
perlu digarisbawahi adalah bukan “Arabnya” yang terpenting melainkan nilai
keislamannya yang perlu dikaji lebih mendalam seperti apa yang tertulis pada
ungkapan di atas. Ketiga, munculnya ide Islam Nusantara sendiri bertitik tolak
dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman sejarah berkembangnya Islam di
Nusantara sebagian masyarakat. Hingga mengakibatkan munculnya gerakan Islam
radikal di Nusantara ini. Islam mampu berkembang dan tersebar luas di tanah Nusantara
tentu tidak dengan pedang, parang, amarah dan marah-marah. Islam mampu bertahan
sampai detik ini di Nusantara justru karena adanya sinergi positif antara
budaya dan agama, bukan malah menyalahkan dan mendustakan budaya sebagai biang
keladi kekufuran dan kekafiran. Interaksi antara agama dan kebudayaan, masih
menurut Kuntowijoyo dapat terjadi dengan, pertama agama mempengaruhi kebudayaan
dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah
kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua,
agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia
mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan. Baik
agama dan budaya, keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol yang saling
keterkaitan. Di Indonesia agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan,
sedangkan kebudayaan memberikan kekayaan terhadap agama. [4]
Konsepsi Islam Nusantara dikatakan sebagai sebuah model penyebaran Islam
yang telah dilakukan oleh Walisongo, para kiai/ulama terdahulu tidak dengan
jalan peperangan, tapi bil himah wal mau’idhatil hasanah. Islam Nusantara
merupakan proses islamisasi di Indonesia dengan jalan merangkul, melestarikan
dan menghormati serta tidak memberangus budaya dan tradisi yang sudah ada
sebelumnya. Proses Islamisasi seperti inilah yang sekarang kita nikmati, dimana
penduduk Indonesia yang paling besar adalah beragama Islam.
C. RESPONS TERHADAP ISLAM
NUSANTARA
Istilah Islam Nusantara yang menjadi tema besar muktamar NU ke-33 sontak
memberikan banyak respon dari kalangan muslim sendiri. Ada dua respons dalam
garis besar ini yaitu respons secara konseptual Menariknya, walaupun gagasan
Islam Nusantara ini dikumandangkan oleh Nahdlatul Ulama’ (selanjutnya disebut
NU) namun di sebagian internal komunitas Nahdliyin masih menuai kritikan dan
penolakan. Sejumlah kiai/ulama NU, pesantren NU serta warga NU lainnya terkesan
masih kurang menerima dengan pengistilahan Islam Nusantara tersebut. Akibatnya,
sikap pro kontra tidak hanya terjadi di komunitas di luar NU namun juga terjadi
di internal NU sendiri. Di tengah hingar bingar sikap pro kontra di internal NU
terkait gagasan Islam Nusantara tersebut, tak ada salahnya untuk sejenak
menengok respon dan sikap warga Nahdliyin.
Menyimak wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara sangat dibutuhkan,
karena ciri khasnya mengedepankan jalan tengah karena bersifat tawasut
(moderat), tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan
bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa
menerima demokrasi dengan baik. Oleh karena itu, sudah selayaknya Islam
Nusantara dijadikan alternatif untuk membangun peradaban dunia Islam yang damai
dan penuh harmoni di negeri mana pun, namun tidak harus bernama dan berbentuk seperti
Islam Nusantara karena dalam Islam Nusantara tidak mengenal menusantarakan
Islam atau nusantarasasi budaya lain. Dalam konteks ini, budaya suatu daerah
atau negara tertentu menempati posisi yang setara dengan budaya Arab dalam
menyerap dan menjalankan ajaran Islam. Suatu tradisi Islam Nusantara
menunjukkan suatu tradisi Islam dari berbagai daerah di Indonesia yang
melambangkan kebudayaan Islam dari daerah tersebut. Dengan demikian, corak
Islam Nusantara tidaklah homogen karena satu daerah dengan daerah lainnya
memiliki ciri khasnya masing-masing tetapi memiliki nafas yang sama. Selain
mendapatkan respons secara konseptual, Islam Nusantara juga mendapat respons
secara aplikasinya. Penerapan Islam Nusanatara mendapat respons tersendiri oleh
para Intelektual Muslim di Indonesia sejak saat perbincangan Islam Nusantara
menghangat. Pertama, para pengusung dan pendukung ide Islam Nusantara ini
menggunakan berbagai argumentasi untuk meyakinkan masyarakat. Banyak media
massa memberikan ruang yang cukup luas bagi mereka untuk menyampaikan idenya
tersebut. Karena itu perlu ada sikap kritis terhadap argumentasi yang mereka
kemukakan. Konsep Islam Nusantara dianggap sebagai wujud kearifan lokal
Indonesia.
Terkait hal ini, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memperkenalkan pada kita
tentang pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam merupakan proses perwujudan
nilai-nilai Islam melalui bentuk budaya lokal. Ini dilakukan baik melalui
kaidah fikih (al-adah al-muhakkamah: adat bisa menjadi hukum) maupun
pengembangan aplikasi nas (teks suci). Karenanya, penting sekali melanjutkan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id rintisan Gus Dur terkait pribumisasi Islam menjadi suatu kerangka
manhaj atau metodologi dalam perumusan Islam Nusantara.
[1] http://digilib.uinsby.ac.id
[2] Yusqi, M. Isom, Dkk. Mengenal Konsep Nusantara, Jakarta,Pustaka Stainu
Jakarta. 2005
[3] Ibid.,
[4] Ibid,.hal 1
sumber http://irginurfadil.blogspot.com/2018/05/pengkolaborasian-islam-pribumi-yang.html