Jejak Islam Kultural

OPINI KOMPAS CETAK
*Jejak Islam Kultural*

DAMHURI MUHAMMAD 
7 Juni 2018

”Hanya Indonesialah yang dapat diklaim sebagai tempat berlabuhnya agama-agama besar, dan mereka dapat hidup secara berdampingan.”

Parig Digan, 1977



Sinyalemen Parig Digan di atas, sebagaimana dikutip oleh A Bakir Ihsan dalam artikel ”Beragama Secara Kultural dan Struktural” (1996), memaklumatkan bahwa agama adalah bagian dari identitas yang melekat dalam tubuh bangsa Indonesia.

Sebagai agama besar, dalam rentang abad ke-13 hingga awal abad ke-19, Islam tumbuh secara kultural di bumi Nusantara. Inilah yang membedakan wajah Islam Indonesia dengan gelombang radikalisme yang sedang marak di masa kini.

Wajah yang terbuka

Apabila radikalisme bergerak dengan hasrat politik guna menggapai Negara Islam, formalisasi syariat, hingga tegaknya khilafah islamiyah, Islam berwajah Indonesia telah berabad-abad lamanya bernapas di medan kultural, yang tak menghancurkan ikon- ikon kultural di Nusantara. Menurut catatan Syaiful Arif dalam Deradikalisasi Islam (2010), kedatangan Islam di Nusantara bukan sebagai ”yang asing”, yang hendak menjajah, melainkan agama lentur yang hendak menyempurnakan proses kemanusiaan secara lebih paripurna.

Itu sebabnya terminologi ”konversi” yang kerap digunakan dalam menimbang denyut Islamisasi Nusantara kurang tepat. Sebab, konversi menandakan berlangsungnya penaklukan Islam atas agama lokal sehingga yang terjadi bukan dialog antarbudaya, melainkan ikonoklasme atau penghancuran ikon budaya lokal oleh apa saja yang datang dari luar.

Islamisasi di Nusantara berlangsung tanpa melukai, tanpa menghilangkan simbol-simbol agama dan kepercayaan pra-Islam. Menurut Arif, bahasa yang pantas adalah adhesi, bahwa Islam dan agama pra-Islam mengalami proses dialog dan karena itu orang Indonesia menjadi Muslim tanpa kehilangan akar tradisinya.

Hingga kini masih dapat disingkap wajah Islam Indonesia, yang mampu bersekutu dengan kearifan lokal, tanpa harus mengakibatkan gesekan, apalagi memicu berbagai kegentingan. Islam Indonesia yang tumbuh sejak berabad-abad silam adalah wajah yang terbuka, toleran, dan sadar kemajemukan. Islam tidak  memberangus wadah-wadah kebenaran dari kearifan lokal. Wadah itu tetap dijaga, hanya isinya yang diluruskan, searah jalan ketauhidan.

Praktik sesaji, misalnya, tidak dilarang oleh para wali. Hanya saja doa-doa yang pada zaman pra-Islam ditujukan kepada nenek moyang, dialihkan kepada pencipta nenek moyang. Lalu, lahirlah kenduri, saat berkat tidak hanya diperuntukkan bagi orang mati, tetapi juga orang hidup. Berkat akhirnya tak bermakna transenden, tapi juga sosial.

Begitu juga dengan epos Hindu Dewa Ruci. Oleh Kiai Mutamakkin tidak diharamkan, bahkan pada titik tertentu ia bisa jadi medium simbolik bagi perjalanan spiritual dalam Islam. Tatkala Bima Sakti bertemu dengan Dewa Ruci—yang tak lain adalah dirinya sendiri—Kiai Mutamakkin memaknainya sebagai pergulatan perang hawa nafsu sehingga seorang Muslim dapat menemukan ”diri alit” yang di dalamnya terdapat hakikat ilahiah.

Pidato Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam acara puncak Harlah Ke-91 NU (31/1/2017) mencontohkan proses akulturasi nilai-nilai Islam dengan budaya lokal dalam masyarakat Islam di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sampai kini, warga Muslim Kudus tidak mengonsumsi daging sapi demi menghormati para tetangganya yang beragama Hindu.

Tradisi unik itu adalah warisan turun-temurun yang dilestarikan oleh Sunan Kudus. Ia sangat menghormati tradisi masyarakat Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Dalam istilah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Islam Indonesia telah mengalami pribumisasi. Gus Dur memastikan Islam telah membumi dalam kultur Indonesia. Monumentasi dari wajah Islam yang mengalami keberpaduan dengan kebudayaan itu dipancangkan oleh Wali Sanga melalui pelembagaan pesantren.

Menurut peneliti Islam Nusantara, Zastrouw al-Ngatawi (2018), pesantren adalah bukti peninggalan yang telah menjadi cagar budaya atas keberhasilan Wali Sanga dalam merancang strategi kebudayaan Islam Nusantara. Wali Sanga mengubah lembaga pendidikan Syiwa-Buddha yang sebelumnya bernama asrama menjadi pesantren. Di sana terjadi formulasi ketauhidan Syiwa-Buddha  (Adwayasashtra) dengan tauhid Islam yang dianut para guru sufi.

Pola ini mula-mula dilakukan oleh Sunan Ampel dengan mendirikan lembaga pesantren di Ampel Denta (Agus Sunyoto, 2011). Lalu, disusul oleh wali lain, dan hampir semua Wali Sanga memiliki padepokan tempat menuntut ilmu bagi para santrinya.

Menurut Effendi Zarkasi (1977), ada tiga hal pokok yang diubah oleh Wali Sanga di pesantren; (1) kebiasaan samadhi sebagai puji mengheningkan cipta menjadi shalat wajib; (2) kebiasaan sesaji dan tetutug diubah menjadi pemberian sedekah; (3) adat kebiasaan meniru dewa dihilangkan dengan jalan kebijaksanaan. Transformasi itu berjalan tanpa guncangan kultural yang berarti. Para penganut Hindu-Buddha tidak merasa terancam. Mereka justru merasa ajaran Islam relevan dengan keyakinan mereka.

*Rekonstruksi budaya*

Di pesantren, terjadi proses rekonstruksi kebudayaan yang bersumber dari ajaran Islam dan tradisi lokal Nusantara. Para wali membuka wawasan masyarakat mengenai keislaman dan kenusantaraan sehingga terjadi integrasi di antara keduanya. Rekonstruksi itu dilakukan dengan membangun tradisi tulis-menulis tanpa mengabaikan tradisi lisan yang sudah berkembang.

Dari sanalah  kemudian lahir berbagai karya sastra dalam bentuk babad, serat, dan suluk. Dalam catatan Drewes (1968), salah satu wali yang tekun menulis kitab—baik dalam prosa, tembang, atau suluk—adalah Sunan Bonang. Beberapa suluk karya Sunan Bonang di antaranya Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, dan Suluk Bentur. Sementara  karya monumental Sunan Bonang adalah Serat Bonang, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh BJO Schrieke menjadi  Het book van Bonang.

Karya-karya para wali itu mencerminkan terjadinya reinterpretasi dan reaktualisasi tradisi Nusantara dan ajaran Islam sehingga ajaran Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat Nusantara. Untuk merekonstruksikan kisah-kisah pewayangan dari Mahabarata dan Ramayana yang sarat dengan ajaran Hindu-Buddha, diperlukan sebuah korpus yang bisa memaktubkan nilai-nilai Islam dalam alur ceritanya. Lalu, lahirlah sejumlah lakon dalam dunia pewayangan, seperti Dewa Ruci dengan kandungan ajaran tasawuf, Jimat Kalimasodo tentang penanaman tauhid, di mana tokoh-tokoh punakawan tampil dalam karakter yang egaliter (Ahmad Baso, 2013).

Narasi baru dalam lakon pewayangan itu bertujuan untuk membangun kesadaran teologis Islami dan mewujudkan tradisi kerakyatan dalam dunia pewayangan yang sebelumnya bercorak elitis. Para wali yang berperan dalam rekonstruksi dunia pewayangan itu adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus.

Jejak Islam kultural yang mengejawantah dalam tradisi kesusastraan Nusantara, pelembagaan Islam kultural di pesantren, hingga arsitektur masjid yang masih berdiri di berbagai belahan Indonesia tak menyisakan puing- puing bekas pertempuran, nihil aroma kebencian, jauh dari hasrat permusuhan. Islam kultural ibarat tanah yang lapang tempat bernaungnya setiap perbedaan di bawah panji-panji persaudaraan.
-----

Damhuri Muhammad, Esais dan Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta