1. Pengertian Tradisi, Budaya,
dan NU
a. Tradisi
Tradisi (Bahasa Latin:
tradition, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana
adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari
kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasannya dari suatu Negara, kebudayaan,
waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adanya
informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun
(sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tradisi adalah adat kebiasaan turun
temurun yang masih dijalankan dimasyarakat dengan anggapan tersebut bahwa
cara-cara yang ada merupakan yang paling baik dan benar.[2]
Menurut Hasan Hanafi (2004:5), tradisi adalah pertama, sesuatu yang
ditransferensikan kepada kita dan menjadi
ke pahaman kepada kita dan mengarahkan perilaku kehidupan kita. suatu
tradisi tertentu ditransformasikan menuju tradisi yang dinamis, menegakkan
kesadaran historis, kesadaran eidetis, dan kesadaran praksis.[3]
b. Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanksekerta yaitu buddayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
“Kultur adalah segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah
dan mengubah alam.” Koentjaraningrat (2003)
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi kegenerasi. Budaya terbentuk
dari banyak unsur yang rumit, sistem agama, dan politik adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seorang berusaha berkomunikasi
dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia.[4]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya adalah sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan dan sukar untuk dirubah.[5] “Kebudayaan adalah seluruh sistem
gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehldupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar” (Koentjaraningrat.
2003:72)
c. NU
Nahdlatul Ulama’ secara etimologis mempunyai arti “Kebangkitan Ulama’” atau
“Bangkitnya para Ulama’”, sebuah organisasi yang didirikan sebagai tempat
terhimpun seluruh Ulama’ dan umat Islam. Penggunaan istilah Ahlussunnah Wal
Jama’ah bila ditinjau dari sejarahnya (dan dari pengertian diatas), menurut sebagian
ahli sejarah keislaman seperti pernyataan Syeikh Muhammad Rasyid:
“Dan madzhab ahlussunnah wal jama’ah merupakan madzhab merupakan madzhab
lama yang sudah dikenal sebelum Allah menciptakan Imam Abu Hanifah, Malik,
Asy-Syafii dan Imam Ahmad. Karena sesungguhnya ia merupakan madzhab sahabat
dimana mereka menerima dari nabi mereka, dan barangsiapa menyalahinya maka
mereka merupakan orang yang melakukan bid’ah menurut Ahlussunnah wal
Jama’ah”.[6]
Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi
pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916.
Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul
Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum
dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar,
(Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian
rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil
sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat
pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi,
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini,
melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut
dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar
ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan
pembebasan.
hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih
mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka
setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk
membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16
Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari
sebagi Rais Akbar.
KH. Hasyim Asy'ari mengatakan: "Aswaja versi NU yaitu golongan
orang-orang yang mengikuti 4 imam madzab di bidang fiqih, sedangkan di bidang
teologi mengikuti pendapat Abu Hasan Al-Asy'ari atau Abu manshur al-murtidi,
dan mengikuti pendapat Imam al-Ghozali di bidang tasawuf."[7]
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari
merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab
I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan
dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
NU didirikan atas dasar kesadaran dan keinsyafan bahwa setiap manusia hanya
dapat memenuhi kebutuhannya bila bersedia hidup bermasyarakat.[8]
Sikap kemasyarakatan yang ditumbuhkan oleh NU adalah :
a. At-Tawasuth dan I’tidal,
yaitu sikap tengah dengan inti keadilan dalam kehidupan.
Berlandas Q.S. Al-Maidah ayat ke-8:
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan."[9]
b. At-Tasamuh, yaitu toleran
dalam perbedaan, toleran dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.
Berlandaskan QS. Al-Hujurot ayat ke-11: "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim"[10]
c. At-Tawazun, yaitu
keseimbangan beribadah kepada Allah swt dan berkhidmah kepada sesama manusia
serta keselarasan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar,
yaitu mendorong perbuatan baik dan mencegah hal-hal yang merendahkan
nilai-nilai kehidupan (mencegah kemungkaran).
2. Tradisi dan Budaya dalam NU
Sebelum hadirnya dakwah Islam yang
diusung para wali (walisongo), masyarakta Jawa adalah pemeluk taat agama Hindu
dan juga pelaku budaya Jawa yang kental dengan nuansa Hinduisme sampai sekarang
masih di-ugemi (pedomani) sebagian masayarakat Indonesia.[11]
Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Nusantara telah memiliki kekayaan budaya
dan tradisi. Oleh karena itu, Wali Songo menggunakan strategi lain dalam
berdakwah. Pendekatan yang dilakukan adalah berperadaban dengan tradisi yang
sudah ada. Sehingga Islam yg dibawa Wali Songo bisa menyatu dengan budaya.
Karena kearifan para ulama atau wali yang datang ke wilayah ini, yang
sangat menghormati tradisi, adat istiadat, bahkan agama setempat. Islam dicoba
diselaraskan dengan ajaran setempat, karena itu tidak sedikit tradisi yang
kemudian dijadikan sarana penyiaran Islam.
KH. Said Aqil Siradj mengatakan dalam cramah nya wali songo berdakwah
dengan cara berangsur-angsur, Islam di sebarkan tanpa menyakiti siapapun, tidak
mengancam ataupun mengintimidasi. Bahkan wali songo tetap menjaga dengan tetua
adat. Para wali dalam dakwah nya selalu memperkecil perintah yang membebani
bagi umat hindu waktu itu dan selalu meminimalisir kewajiban.[12]
Sistem keberagamaan yang toleran dengan tradisi lokal ini berkembang luas
di kalangan Islam Nusantara yang dikenal dengan Islam Ahlussunnah wal Jamaah,.
Ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah begitu berakar dan membumi dalam tradisi,
budaya, dan kehidupan keseharian masyarakat muslim Indonesia.
Dengan kekuatan tradisi itu mereka bisa mendirikan pusat-pusat kebudayaan,
baik berupa kerajaan maupun lembaga pendidikan pesantren dan pusat perdagangan.
Dengan sarana itu Islam berkembang pesat di seluruh penjuru Nusantara lebih
intensif dan lebih langgeng ketimbang pengaruh agama lainnya yang pernah ada.
Menurut analils Dr. Zamakhsyari Dhofier, bahwa penyebaran Islam di Jawa tidak
mudah penuh tantangan, dan setahap demi tahap. Pada dasarnya ada dua tahap
yaitu; gelombang pertama ialah pengislaman orang Jawa menjadi orang Islam
sekedarnya, yang selesai pada pada abad ke-16. Gelombang kedua ialah pemantapan
mereka betul-betul menjadi orang Islam yang taat, yang secara pelan-pelan
menggantikan kehidupan keagamaan yang lama, hampir secara menyeluruh tetapi
tidak pernah disempurnakan misalnya syariah Islam belum secara menyeluruh
pernah diterapkan di Jawa.[13]
Ajaran-ajaran Aswaja bisa terwujud dalam manifestasi yang beragam
diberbagai belahan dunia Islam karena cara hidup, kebiasaan, dan adat istiadat
masing-masing kawasan dunia Islam yang berbeda. Namun, ada benang merah yang
menyatukan semua adat-adat yang berbeda itu. Ajaran Aswaja selalu menjiwai
berbagai tradisi-tradisi tersebut. Pasti ada ajaran-ajaran Aswaja yang menjadi
substansi dan penggeraknya. Bagi para Ulama’ dan kalangan terpelajar akan
dengan mudah menangkap ajaran-ajaran dibalik tradisi-tradisi keagamaan yang
berbeda-beda tersebut. Namun, bagi sebagian kalangan awam mungkin agak sulit,
mereka lebih memahami praktek dari pada aspek bathiniyyahnya. Dari sinilah
timbul kesalah pahaman terhadap sebagian tradisi-tradisi keagammaan yang
ada.[14]
Keutuhan dan keberagamaan masyarakat Nusantara ini mulai terusik ketika
muncul gerakan Wahabi yang puritan.
Menurut KH Wazir Ali dalam pertemuan rutin Rais Syuriah MWCNU se Jombang
mengatakan: "Wahabi tidak menggunakan ta’wil (akal) dalam meengartikan
nash al-Qur’an dan Hadist, Sehingga mereka dalam megartikan ayat yadullah fauqo
aidihim, akan mengartikan yadullah, tangan Allah SWT (dalam arti seperti
makhluq), karena itu mereka dikatakan juga berpaham mujassimah (men-jisim-kan
Allah SWT)”[15]
Semua tata nilai yang telah dikembangkan untuk mendukung sarana dakwah dan
ibadah itu dicap sebagai tahayul, bid’ah, dan khurafat.
Selama beberapa dasawarsa mereka menyerang dengan sengit kelompok
ahlussunnah yang bermazhab dan kaum tarekat, karena dianggap telah menyimpang
dari ajaran Islam. Mereka ini tidak menghendaki adanya percampuran antara Islam
dengan budaya Nusantara, mereka ingin mengembalikan Islam pada budaya Arab,
yang hanya mengenal Al-Qur’an dan Hadits. Karena cara penyiaran ajaran baru itu
demikian kasar, penuh kontroversi akhirnya, tidak diterima secara penuh oleh
masyarakat.
Gelombang serangan terhadap eksistensi Islam Nusantara itu terus
berdatangan dalam setiap dasawarsa, dengan datangnya gerakan Islam puritan yang
radikal. Bahkan serangan juga datang dari kebudayaan Barat, yang menuduh Islam
ini sebagai Islam sinkretis, yang konservatif yang tidak sesuai denagn kemajuan
zaman. Bahkan saat ini sistem kapitalisme global yang manawarkan budaya sekular
dan hedonis juga memberika ancaman tersendiri bagi keutuhan kamunitas Islam
Nusantara yang dengan gigih mempertahankan moral dan tradisi.[16]
Menurut cerita sejarah, budaya mengadakan kenduri atau selametan kematian
yang juga merupakan budaya mereka tidak serta merta beliau hapus. Budaya
selametan yang semula dipenuhi dengan ajaran kufur, wadahnya dibiarkan, tetapi
isinnya yang sarat dengan kekufuran dan bid’ah diganti dengan ajaran yang
bernuansa Islami, atau minimal jauh dari kemusyrikan.[17]
Mengenai tuduhan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir dalam budaya
lokal dilestarikan walisongo tersebut, tentu dengan mudah kami dapat mendebat.
Upacara ala Hindu dalam selametan hari kematian, misalnya, seperti hari ke-7,
ke-40, ke-100 dan lain-lain sama sekali telah diganti dengan sedekah karena
Allah, membawa Al-Qur.an, shalawat, dzikir, dan do’a.
3. Tradisi dan Budaya di
Indonesia
Berikut ini Tradisi yang ada di Indonesia:
a. Tahlilan
Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca
kalimat La Ilaha Illallah.
Tahlil berarti rangkaian acara yang terdiri dari membaca beberapa ayat dan
surat dari al-Qur’an seperti al-khlas, al-Falaq, an-Naas, ayat kursi, awal dan
ahir surat al-Baqarah, membaca dzikir-dzikir seperti tahlil, tasbih, tahmid,
shalawat dan semacamnya, kemudian diakhiri dengan do’a dan hidangan makan.
Semua rangkain acara ini dilakukan secara berjama’ah dengan suara yang keras.
Hukum tahlil adalah boleh dalam syari’at Islam, karena semua acara yang ada
dalam rangkaian tahlil boleh dilakukan dan tidak satupun yang terlarang.
Adapun dalam HR. Ahmad: Nabi Muhammad saw. menyuruh sahabat untuk
memperbaiki iman dengan memperbanyaklah mengucapkan La Ilaha Illallah.[18]
b. Membaca Istighfar
Dari HR. Al-Hakim dan Baihaqi bahwa pahala bagi orang yang memperbanyak
istighfar adalah Allah menjadikan untuknya kebahagiaan dari setiap kesusahan,
menjadikan jalan keluar dari setiap kesempitan dan memberikan rizki dari Allah
yang tak terduga.[19]
c. Berzanzi, Diba’an, Burdahan
dan manaqiban
Kalau kita melihat lirik sya’ir maupun prosa yang terdapat dalam kitab
al-Barzanji seratus persen isinya memuat biografi, sejarah hidup, dan kehidupan
Rasulullah. Demikian pula yang ada didalam kitab Diba’ dan Burdah.
Kitab ini yang berlaku bagi orang-orang NU dalam melakukan ritual
Mauludiyyah atau menyambut kelahiran Rasulullah. Dalam acara Gebyar Maulid Nabi
SAW Habib Luthfi bin Yahya menyampaikan:
"Maulid adalah ungkapan terimakasih kita kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Lalu sudah sejauh mana terimakasih kita kepada beliau Kanjeng Nabi SAW? Karena
beliau SAW lah kita bisa menjadi Muslim yang mengenal al-Quran, tidak menjadi
anak-anak yang haram karena kedua orang tua kita adalah Muslim"
Yang satunya khusus puji-pujian untuk Sulthanul Auliya, Syaikh Abdul Qodir
al-Jilany. Akan tetai, dalam praktiknya, al-Barzanji, ad-Diba’i, kasidah Burdah
dan Manaqib (Syaikh Abdul Qadir Jilany) sering dibaca ketika ada hajat anak
lahir, hajat menantu, khitanan, tingkeban, masalah yang sulit terpecahkan,
musibah yang berlarut-larut, dan lain-lain. Yang tak ada maksud lain mohon
berkah Rasulullah akan terkabul semua yang dihajatkan.
Umumnya, acara berzanji/Diba’an/Burdahan/Manaqiban dilakukan pada malam
hari sehabis shalat isay’. Akan tetapi, banyak juga warga NU yang mempunyai
tradisi kalau acara anak lahir disore hari, habis shalat ashar, dan bahkan ada
berzanjen di siang hari.[20]
d. Suwuk atau Mantra
e. Tawassul
Tawassul itu artinya perantaraan. Kalau kita tak sanggup menghadap
langsung, kita perlu seorang perantara.[21]
Imam Syaukani mengatakan tawassul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik
pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para
sahabat tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi
berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada
Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang
telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau
mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka
dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.[22]
f. Tabarruk,
yaitu mengharap berkah contoh bahwa seorang sahabat ingin mengaharap berkah
dengan meminta burdah yaitu selimut yang dibordir bagian tepinnya.[23]
Saat Kajian Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang digelar Pengurus Pusat
Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) KH Zakky Mubarak mengatakan bahwa para
sahabat dan ulama-ulama terkemuka, lanjutnya, juga turut memeragakan tabarruk,
seperti mencium tangan, ziarah, menghormati tempat dan barang-barang khusus,
bahkan menggunakannya sebagai sarana (wasilah) untuk tujuan-tujuan tertentu,
agar mendap kan berkah dari yang di lakukan nya.[24]
g. Membaca shalawat
Dari HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan Ibn Hibban bahwa keutamaan atau pahala
bagi orang yang bershalawat adalah akan bersama nabi Muhammad di hari kiamat.
Di terangkan dalam surat Al-Ahzab ayat ke-56: "Sesungguhnya Allah dan
Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya
dengan sungguh-sungguh"[25]
h. Membaca ayat ahir al-Baqarah
Perintah untuk mengajar dan belajar 2 ayat ahir surat al-Baqarah kepada
istri-istri dan anak-anakmu, bahwa sesungguhnya ayat itu adalah shalat (rahmat)
Qur’an dan doa.
i. Mencium Tangan Orang Shalih
Mencium tangan orang shaleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang
saleh adalah perkara yang mustahabb (sunah) yang disukai Allah, berdasarkan
hadist-hadist nabi atsar para sahabat. Teknik mencium tangan tidak boleh
melebihi posisi orang yang sedang rukuk.[26]
j. Dzikir berjama’ah
Dari HR. Muslim bahwa orang yang apabila berdzikir berjama’ah akan dikerumuni
oleh malaikat, diliputi rahmat dan ketentraman, dan Allah akan
menyebut-menyebut mereka kepada para malaikat disisinya.
Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab)
menjelaskan bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang
menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir. bahwa memelankan suara dalam
berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang
yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam
berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan
yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa
memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati
orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan
terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir terebut,
menghilankan kantuk dan menambah semangatnya. (Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh
al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306)
k. Membaca surat al-Ikhlas itu
setara dengan membaca sepertiga al-Qur’an.
l. Membaca tasbih dan tahmid
Bahwa 2 kalimat yang ringan dilisan, yang (namun) berat di mizan, yang
membuat senang ar-Rahman adalah lafadz atau membaca “subhanallahi wabihamdihi
subhanallahil ‘adzim”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan apabila membaca sebanyak 100
kali maka akan dihapuskan kesalahan-kesalahannya meskipun sebanyak buih lautan.
m. Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Seorang nabi yang diutus oleh Allah
dengan membaca sebagian ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat
nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh berkah dan kebaikan yang agung,
jika memang perayaan tersebut terhindar dari bid’ah sayyiah yang dicela oleh
syara.[27]
n. Istighasat dan Mujahadah
Istighasah artinya meminta pertolongan. Mujahadah artinya mencurahkan
segala kemampuan untuk mencapai sesuatu. Istighasah dan mujahadah bagi umat
Islam sudah ada sejak nabi ketika dia menghadapi perang Badar, juga musibah dan
bencana lainnya.[28]
o. Mengeraskan suara ketika
berdzikir
p. Ziarah kubur,
q. Dan lain-lain.
Berikut ini Budaya yang ada di Indonesia
a. Budaya melumuri bayi dengan
minyak Za’faran saat aqiqah pada hari ketujuh dan mencukur rambut bayi
b. Mengadakan Haflah (resepsi)
pernikahan, memainkan musik, dan menghias pengantin
c. Penyerahan Pengantin, baik
pria atau wanita, dengan nasehat-nasehat yang baik
d. Melamar wanita untuk dinikahi
e. Menyerahkan mahar nikah
f. Puasa Asyura penghitungan
kalender Masehi, dan lain-lain.
4. Tradisi dan Budaya Menurut Pandangan NU
Tradisi yang dimaksud tingkah laku (behavior), kebiasaan, dan aturan-aturan
tidak tertulis yang dipegang teguh oleh para kiai NU, naik dalam kehidupam
berorganisasi maupun bermasyarakat sebagai sebagai konsekuensi dari ajaran
Islam yang dipelajari dan diajarkannya. Dalam konteks ini, tradisi, meminjam
beberapa variabel yang digunakan sebagai kompleksitas ide, gagasan,
nilai-nilai, moral dan peraturan wujud ideal dari kebudayaan yang sifatnya
abstrak yang lokasinnya terletak dalam alam pikiran manusia warga
masyarakat.[29]
Tradisi menghormati dan menempatkan kedudukan ulama’ yang dianggap paling
senior pada posisi paling atas secara tidak disadari telah dirintis jauh
sebelum lahirnya NU. Tradisi semacam itu sangat memungkinkan terpeliharannya
kekompakan, keutuhan dan terhapusnya ancaman, perpecahan, serta kemungkinan
rebutan kedudukan. Misalnya, khusus jabatan Rais Am (jabatan tertinggi
dilingkungan NU).
Jelaslah bahwa aturan tidak tertulis yang diberlakukan bagi penempatan
seorang Rais Am memerlukan beberapa persyaratan, antara lain:
a.) ulama’ yang paling masyhur,
paling dalam ilmu agamannya, tingi derajat kemuliaannya, dan paling sepuh
usiannya,
b.) ulama’ yang memimpin pondok pesantren,
c.) ulama’ yang tidak ambisius, tetapi tidak menolak tanggung jawab. Inilah
salah satu tradisi yang menjadi kekuatan NU.[30]
Manusia adalah tradisi pembacaan sejarah (tarikh) Rasulullah saw, sahabat
dan ahli baitnya, serta diselingi pujian kepada mereka, shalawat dan do’a.
Adapun merayakannya tiap bulan Rabi’ul Awal, yakni bulan kelahirannya adalah
bertujuan memperlithatkan cinta kepada beliau dibulan kelahiranya. Dan yang
paling fundamental adalah dapat menambah rasa cinta kepada Rasulullah dan
diharapkan mendapat syafa’atnya kelak dihari kiamat.[31]
Para ulama’ NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah
(perbuatan yang dizaman Nabi tidak ada) namun, termasuk bid’ah hasanah (bid’ah
yang baik) yang diperbolehkan Islam. Banyak amalan seorang Muslim yang dizaman
nabi tidak ada dan sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjenan,
diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan tahlilnya tidak bid’ah, sebab Rasulullah
sendiri sering membacannya), mau’izah hasanah pada acara temanten dan
muludan.[32]
Budaya lokal tidak bisa saja ditolak tatkala kita membicarakan perkembangan
Islam di Indonesia sudah tidak lagi murni Islam, tetapi sudah berubah menjadi
Islam budaya. Menurut mereka Islam adalah Islam dan budaya adalah budaya dan
keduannya tidak bisa disatukan atau dicampur adukan. Dan mudah saja kita tebak,
mereka akan menunjuk budaya selametan atau kenduri sebagai contoh yang
terlarang, mencampur adukkan Islam dengan budaya. Islam dengan versi mereka
akan terlihat kaku dan sama sekali tidak fleksibel.
NU sebagai ormas Islam tradisionalis yang fleksibel dengan prinsip dan
semangat dakwah dengan hikmah yang menerima budaya tidak bisa saja di cap sesat
atau dianggap sebagai penolong tradisi Jahiliyyah seperti yang dituduhkan
orang-orang bodoh yang sok ahli tauhid was-sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.m.wikipedia.org/wiki/tradisi
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2007.
Hanafi Hasan, Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme. Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta. 2004.
Munthoha. Pemikiran dan Peradaban
Islam. Yogyakarta: UIII Press. 1998.
Syeikh Muhammad Rasyid, Kitab Minhajus Sunnatin Nabawiyah
Tim LTM-PBNU & LAKPESDAM, Pedoman Muhharik Masjid NU. Jakarta: PBNU
Lembaga Ta'mir Masjid. 2014.
SUNADI,dkk, Ahlussunnah Wal Jamaah Materi Dasar Nahdlatul ‘Ulama’(MDNU).
Jepara: Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU. 2011.
Nurhidayat Muhammad. Lebih Dalam
Tentang NU. Surabaya: Bina Aswaja. 2012.
http://www.nu.or.id/post/read/60389/kiai-said-dengan-budaya-islam-kuat.
http://www.mutiaraislam.web.id/2013/02/memahami-sejarah-tradisi-islam-di.html?m=1.
Abu Abdillah. Argumen Ahlussunnah Wal Jamaah. Tangerang Selatan: Pustaka
Ta’awun. 2011.
http://www.nu.or.id/post/read/64124/mengenal-manhaj-salafi-wahabi-untuk-bentengi-aswaja-an-nahdliyah
http://www.nu.or.id/post/read/11057/ahlussunnah-wal-jamaah-di-bumi-nusantara
A. Idris Marzuqi. Dali-dalil Aqidah
dan Amaliyah Nahdliyyah. Lirboyo:Tim
Kodifikasi LBM PPL. 2011.
http://www.nu.or.id/post/read/20279/tawassul-apakah-bukan-termasuk-syirik
http://www.nu.or.id/post/read/38189/tabarruk-dipraktikkan-sejak-zaman-nabi.
Abu al-Fida` Ismail Haqqi. Ruh al-Bayan. Bairut-Dar al-Fikr.
Ali Anwar. “ADVONTURISME” NU. Bandung: Humaniora Utama Press (HUP). 2014.
[1] Anonim, “Tradisi”, http://id.m.wikipedia.org/wiki/tradisi, (di akses 20
november 2016).
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm.
1208.
[3] Hasan Hanafi, Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme, (
Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004). Cet. 1.hlm. 5.
[4] Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: UIII Press,
1998).cet.1.hlm.7.
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit.hlm.169.
[6] Syeikh Muhammad Rasyid, Kitab Minhajus Sunnatin Nabawiyah (Juz 2 :
Shohifah 487)
[7] Tim LTM-PBNU & LAKPESDAM, Pedoman Muhharik Masjid NU (Jakarta: PBNU
Lembaga Ta'mir Masjid, 2014), hlm. 7.
[8] SUNADI,dkk, Ahlussunnah Wal Jamaah Materi Dasar Nahdlatul
‘Ulama’(MDNU), (Jepara: Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU,
2011).hlm.2.
[9] Q.S. Al-Maidah: 8.
[10] QS. Al-Hujurot: 11.
[11] Nurhidayat Muhammad, Lebih Dalam Tentang NU, (Surabaya: Bina
Aswaja,2012). Cet.I. hlm. 2.
[12] Mahbib, “Dengan Budaya Islam Kuat”,
http://www.nu.or.id/post/read/60389/kiai-said-dengan-budaya-islam-kuat. (di
akses 21 november 2016).
[13] Waluyo Al-Fadhil, ”Memahami sejarah tradisi islam “,
http://www.mutiaraislam.web.id/2013/02/memahami-sejarah-tradisi-islam-di.html?m=1.
(di akses 21 november 2016).
[14] Abu Abdillah, Argumen Ahlussunnah Wal Jamaah, (Tangerang Selatan:
Pustaka Ta’awun, 2011).cet,II. Hlm.v.
[15] Syamsul, “Mengenal manhaj salafi wahabi untuk bentengi aswaja
an-nahdliyah”,
http://www.nu.or.id/post/read/64124/mengenal-manhaj-salafi-wahabi-untuk-bentengi-aswaja-an-nahdliyah.
(di akses 21 november 2016).
[16] Abdul Mu’in, “Ahlusunnah wal jamaah di bumi nusantara “,
http://www.nu.or.id/post/read/11057/ahlussunnah-wal-jamaah-di-bumi-nusantara, (
di akses 20 november 2016 ).
[17] Op.cit, Hlm.3.
[18] A. Idris Marzuqi, Dali-dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdliyyah,
(Lirboyo:Tim Kodifikasi LBM PPL,2011). Cet, 3.hlm.56.
[19] Op.cit. hlm.57.
[20] Munawir Abdul Fattah, Op.cit.hlm. 236-237.
[21] Ibid.hlm. 247.
[22] H M. Cholil Nafis, “Tawasul apakah bukan termasuk syirik”,
http://www.nu.or.id/post/read/20279/tawassul-apakah-bukan-termasuk-syirik, ( di
akses 20 november 2016 ).
[23] A. Idris Marzuqi, op.cit.hlm.83.
[24]Mahbib Khoiron, “Tabaruk di praktikan sejak zaman nabi”,
http://www.nu.or.id/post/read/38189/tabarruk-dipraktikkan-sejak-zaman-nabi,
( di akses 20 november 2016 ).
[25] Q.S. Al-Ahzab: 56.
[26] Munawir Abdul Fattah, Op.cit. hlm 263.
[27] Abu Abdillah, Op.cit. hlm.320.
[28] Munawir Abdul Fattah, Op.cit. hlm 226.
[29] Ali Anwar, “ADVONTURISME” NU, (Bandung: Humaniora Utama Press (HUP),
2014),hlm.134.
[30] Ibid. Hlm. 135.
[31] Nurhidayat Muhammad, Op.cit. hlm. 50.
[32] Munawir Abdul Fattah. Op.cit. hlm. 231.
Sumber http://irginurfadil.blogspot.com/2018/03/perkembangan-islam-nusantara.html