Sisi “Baik” Fir’aun

# Awy A. Q.
Jika kita memperhatikan dan mempelajari kehidupan ini dengan baik, maka kita akan menemukan bahwa pada dasarnya tiap manusia itu pasti memiliki dua (atau beberapa) sisi sifat yang tak sama. Meski tingkat dominasi sifat itu juga berbeda-beda.
Tidak ada ceritanya manusia itu seluruh sifatnya lembut. Tidak ada juga manusia yang seluruh sifatnya kasar/keras. Pasti ada keduanya. Hanya saja di antara kedua sifat yang bertolak belakang itu, salah satunya pasti ada yang lebih dominan dalam pribadi tiap-tiap manusia.
Sebelum penulis masuk pada hal yang ingin penulis bicarakan, sedikit penulis akan bercerita. Beberapa waktu lalu penulis membaca beberapa hadits menarik di kitab “Syu’abul Iman”. Kita tak usah membicarakan bagaimana status hadits yang akan penulis ampaikan, itu persoalan teknis. Yang penting adalah pelajaran besarnya.
Hadits unik ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi, salah satu pionir dalam dunia ilmu hadits.
Penulis yakin bahwa setiap orang Islam pasti tahu siapa sosok antagonis yang tersebut abadi dalam al-Qur’an dengan segala kesombongan dan kejumawaannya, Fir’aun. Dan jika disebutkan kata Fir’aun, maka segera terlintas dalam benak kita segala predikat dan track record buruk. Ikon kejahatan dalam sejarah.
Segala sepak terjang kesombongannya yang luar biasa terekam dalam al-Qur’an. Bagaimana juga cara Nabi Musa menghadapinya. Hingga kematiannya yang tragis di telan oleh Laut Merah setelah laut itu terbelah oleh mukjizat pukulan tongkat Nabi Musa.
Hadits yang aku maksud tadi, berkenaan dengan Fir’aun. Sebelum Nabi Musa diutus untuk menghadapi Fir’aun, beliau sempat bertanya kepada Allah bahwa kenapa Fir’aun dibiarkan hidup begitu lama dengan segala kesombongannya, perilakunya yang memperbudak bangsa Israel, membunuh bayi-bayi laki-laki Israel, bahkan mengaku Tuhan.
Oleh Allah Ta’ala Nabi Musa diberitahu, bahwa meski Fir’aun seperti itu, dia tetap mempunyai sisi kehidupan yang lain, terutama kepada sesama bangsanya. Yaitu dia punya kebaikan perangai dan bersikap jika pada bangsanya sendiri dan sebagai raja dia tak mempersulit siapapun yang ingin menemuinya.
Maka oleh Allah, sisi kebaikan Fir’aun itu dibalas oleh-Nya dengan usia panjang dan tak pernah mengalami sakit. Versi hadits itu, Fir’aun hidup 400 tahun.
Makanya oleh Allah, Nabi Musa dan Nabi Harun diarahkan untuk bertutur kata yang baik meskipun tetap tajam, siapa tahu Fir’aun mau bertaubat. Apalagi Nabi Musa pernah juga merasakan kebaikan Fir’aun yaitu dirawat sampai dewasa.
“Fa qulaa lahu qoulan layyinan la’allahu yatadzakkaru aw yakhsya”. Begitu di al-Qur’an, sebab Fir’aun juga tetap manusia yang punya sisi baik. Dan seperti yang terekam di al-Qur’an pula diceritakan bagaimana Fir’aun membesarkan Musa kecil dalam asuhannya dengan penuh kasih sayang. Meskipun kekejamannya pada rakyatnya (khususnya yang non koptik) sangat luar biasa. Bahkan dengan kearoganannya dia mengaku tuhan.
Pelajaran moral apa yang bisa kita ambil? Bahwa mungkin kita tidak suka seseorang akan kekerasannya, keburukan perangainya. Namun bagaimanapun jangan tutup mata jika -bisa jadi- dia punya sisi kebaikan yang lain.
Begitu pula dengan seseorang yang dominan bersifat baik, pasti ada sisi jelek yang tidak kita suka. Maka semisal kita respek dengan seseorang sebab dia selalu bertutur kata sejuk, lalu tiba-tiba dalam satu tempo dia berubah tegas dan tajam yang bahkan membuat kita sendiri gerah atau bahkan tidak suka, maka kita tidak perlu heran dengan perubahan-perubahan sejenak itu, namanya manusia.
Mungkin hanya para Nabi saja yang tidak punya sisi menyebalkan sebab mereka punya kemampuan super tinggi mengontrol perilakunya. Khususnya Nabi yang sangat kita cinta, Rasulullah S.a.w.
Itupun mereka yang kebaikannya tak terilustrasi itu saja masih banyak yang benci. Apalagi kita yang tidak pernah stabil antara sifat baik dan sifat buruk kita.
Alhasil dengan pelajaran-pelajaran semisal Fir’aun ini kita bisa belajar bagaimana bersikap ke sesama manusia, khususnya ke sesama muslim. Sebab banyak sekali di antara kita yang kerap merasa paling benar.
Kita juga tak perlu heran saat lihat orang marah-marah dalam mengingatkan orang lain. Saat sekolah saja jika kita salah menjawab, dimarahi guru apalagi ini kesalahan level akidah misalkan.
Cuma memang caranya saja yang perlu dimanajemen dengan baik. Karena pada dasarnya, semelenceng apapun pemikiran dan ideologi, ia tetap bermula dari satu titik kebenaran, hanya salah penafsiran saja dan dalam cara mengingatkan, cara menjewer, keras lembutnya tergantung level kesalahan. Hal yang sangat maklum sekali dalam dunia pendidikan.
Bukan lantas misalkan perintah Allah pada Nabi Musa untuk menasihati dengan lembut itu diartikan sebagai bentuk toleransi. Tak ada yang memaknai seperti itu. Karena toleransi itu hal, dan mengingatkan, menasihati juga hal yang lain.
Tempatkanlah segala sesuatu pada tempatnya masing-masing. Sebab seseorang (apalagi jika dia muslim) yang tidak pandai menempatkan sesuatu pada tempatnya, artinya dia belum bijak dan juga belum adil. Dan kata lain belum bisa adil artinya seseorang itu masih pada wilayah dzalim. Perlu segera mengkoreksi diri untuk beranjak dari situ.
Semoga mencerahkan dan semoga kita bisa terus menaikkan kualitas kepribadian kita dengan belajar bersikap sesuai keharusan masing-masing (*)


Sumber : 
https://fachruddien.wordpress.com