Syariah, Fiqih, Budaya Arab

Copas: Perbedaan Syari'ah, Fikih dan Budaya Arab

Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar.

(Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta)

Syari'ah dan Fikih

Syari'ah merupakan ajaraan Islam yang bersifat permanen, fundamental, dan universal. Dasarnya diperoleh dari Al-Qur'an dan hadis. Sedangkan Fikih adalah ajaran yang Islam yang bersifat interpretasi daripara ulama, terutama ulama mujtahid. Ajaran Fikih bersifat kontemporer, tidak permanen, bisa berubah berdasarkan perubahan illat dan sebab. Jika suatu keadaan berubah maka hukum lama yang pernah ditetapkan para ulama juga berubah. Antara keduanya sesungguhnya memiliki persamaan sebagai pegangan umat Islam di dalam menjalani kehidupannya. Contohnya ialah hukum shalat lima waktu yang wajib ditegakkan sesui dengan firman Allah swt:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ…

Dirikanlah kalian shalat...(Q.S. al-Baqarah/2: 43)

Tidak ada perselisihan tentang wajibnya shalat lima waktu. Ini adalah Syari'ah. Sedangkan Fikih ialah pemahaman dari Syari'ah, tentang bagaimana melakukan shalat secara teknis. Ada orang yang shalat subuh tidak pakai qunut, sedangkan yang lain pakai qunut. Ada orang melipat tangannya di pusar dan ada di dada. Ada yang membaca basmalah secara keras saat membaca surah al-Fatihah dan ada yang tidak. Contoh lain, Syari'ah menganjurkan musyawarah dalam menyelesaikan setiap urusan, tetapi bagaimana cara bermusyawarah merupakan wilayah Fikih. Syari'ah melarang kita memakan riba, sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur'an:

…لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً…

…Jangan memakan riba yang berlipat ganda… (Q.S. Ali ‘Imraan/3: 130).

Substansi syari'ahnya kita dilarang makan riba, tetapi kriteria riba dan yang bukan riba masuk wilayah fikih. Singkatnya, Syari'ah adalah sesuatu yang sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Sedangkan Fikih selalu ada potensi untuk dipermasalahkan. Syari'ah bersumber dari Allah swt. sedangkan Fikih bersumber dari pikiran-pikiran cerdas manusia, khususnya para ulama.

Syari'ah lebih banyak berbicara tentang sesuatu yang bersifat dasar (ushul/basics) sedangkan Fikih lebih banyak berbicara tentang sesuatu yang bersifat cabang (furu'/branch). Jika kita meninggalkan Syari'ah, persoalan dan urusannya berat, bisa mempengaruhi keabsahan suatu ibadah, bahkan bisa menimbulkan kekufuran. Sedangkan jika meninggalkan Fikih, kita hanya akan berhadapan dengan kesulitan dan tidak membawa kepada kekufuran. Meninggalkan Syari'ah analoginya sama dengan meninggalkan kewajiban. Sedangkan meninggalkan Fikih dapat dianalogikan sama dengan meninggalkan ibadah sunnat.

Persoalan di dalam masyarakat sering muncul karena perbedaan antara Syari'ah dan Fikih yang masih rancu. Terkadang ada orang menempatkan Fikih setara dan sejajar dengan Syariah. Sebaliknya, ada yang menurunkan Syari'ah setara dan sejajar Fikih. Untuk membedakan seara tegas antara Syari'ah dan Fikih kita memang dituntut untuk banyak belajar. Kita diminta memahami seluk beluk ayat dan hadis, mamahami substansi persoalan lalu memahami dasar-dasar bahasa Arab dan kaidah-kaidah ushul Fikih, kaidah-kaidah sabab Nuzul ayat dan sabab Wurud Hadis. Kita juga dituntut untuk lebih arif memahami kondisi objektif di mana hukum itu diterapkan (diistinbath). Semua ilmu-ilmu yang diperlukan dalam proses ijtihad sangat penting, termasuk memahami situasi berat yang dihadapi oleh setiap subjek hukum.

Syariah dan Budaya Arab

Syari'ah secara harfiah berarti jalan, kemudian digunakan sebagai nama dari ajaran Islam yang berisi ketentuan Allah swt. yang berisi perintah dan larangan. Syari'ah bersifat suci dan luhur, karena itu di dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya, balasannya adalah surga. Sebaliknya, meninggalkan perintah dan melanggar larangannya tanpa alasan yang diukur oleh Syara' akan mendapatkan balasan neraka. Dasar-dasar Syari'ah ditentukan oleh Al-Qur'an dan hadis Nabi saw.. Tujuan Syari'ah selain untuk menciptakan ketertiban, ketenangan, dan kedamaian di dunia juga untuk mengembalikan manusia ke kampung halaman aslinya di surga.

Sedangkan budaya Arab ialah sebuah tata nilai budaya yang pertama kali mewadahi kedatangan Syari'ah. Budaya Arablah yang pertama kali melakukan interpretasi secara kultural terhadap ajaran Syari'ah yang terkandung di dalam Al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu, budaya Arab sangat penting dan besar peranannya di dalam Islam, karena budaya inilah yang pertama kali menjembatani ajaran Syari'ah dan manusia. Budaya Arab menjadi mulia karena bahasanya digunakan Tuhan untuk mengartikulasikan Kitab Suci-Nya. Siapapun umat Islam, baik Arab maupun non Arab harus menggunakan Al-Qur'an yang berbahasa Arab. Seseorang tidak bisa membaca terjemahan surah Al-Fatihah di dalam shalatnya tetapi harus seutuhnya menggunakan bahasa Arab.

Namun demikian, budaya Arab dan Syari'ah Islam tidak identik. Budaya Arab adalah sekumpulan nilai-nilai luhur (profane) dari manusia. Sedangkan Syari'ah adalah sekumpulan nilai-nilia luhur dan suci (sacral) dari Tuhan. Kehadiran budaya lokal non Arab di samping Syari'ah tidak mesti harus diperhadap-hadapkan. Bahkan budaya-budaya lokal non-Arab pun punya hak kultural (cultural right) untuk menafsikan Al-Qur'an dan hadis. Dengan demikian, tidak mesti harus menjadi atau menyerupakan diri sebagai "orang Arab" untuk menjadi the best muslim. Kita bisa tetap menjadi orang Indonesia, bahkan orang Jawa, Bugis, Batak, Dayak, Papua, dan budaya lokal lainnya, tetapi saat bersamaan juga tetap menjadi the best muslim. Allah swt. menjamin hal ini di dalam Al-Qur'an, bahwa:

…إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ …(13)

“…Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisih Allah ialah orang-orang yang bertaqwa…”(Q.S. al-Hujurat/49: 13).

Dalam hadis Nabi saw. berkali-kali disampaikan dengan redaksi yang berbeda yang intinya bahwa tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non Arab, yang menentukan kemuliaan-kemuliaan itu ialah kualitas iman dan taqwa. Allah swt. sendiri menegaskan:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ…

”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam...”. (Q.S. Al-Isra'/17: 70).

Dengan demikian, Syari'ah Islam bisa diterima di mana-mana. Inilah yang membuat Islam sebagai agama universal yang di dalam Al-Qur'an disebut sebagai Rahmatan lil 'Alamin,agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Jika ada orang yang berusaha memaksakan kehendak untuk menyatukan Islam dengan menenggelamkan kehadiran budaya lokal, dengan alasan tidak sesuai dengan Syari'ah Islam, maka sesungguhnya anggapan itu perlu dipertanyakan. Kehadiran unsur lokal di dalam Islam diapresiasi di dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an itu sendiri berarti menghimpun atau menyatukan (al-jam'), yakni menghimpun yang berserakan dan menyatukan yang berbeda. Inilah makna pernyataan ayat:

…لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ…

“…untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...” (Q.S. al-Maidah/5: 48).Allahu a'lam.